Empat Hari bersama Agus Theis (2)
(Percakapan Imajiner dengan Missionaris Pertama di Simalungun)
Chating dengan Agus Theis:
Hari Kedua
ebenezersiadari: Selamat malam Om. Sehat kan?
Agustheis1903: Puji Tuhan, Ben. Sehat selalu.
ebenezersiadari: Saya sudah gak sabar, nih Om, dengar lanjutan cerita kemarin. Tentang bagaimana Om memulai bekerja sebagai misionaris di Simalungun.
agustheis1903: Ok. Ini akan jadi percakapan yang panjang, Ben. Sebentar ya? Saya siapkan dulu air minum. Brb (be right back).
agustheis1903: Ok. Kita mulai ya?
ebenezersiadari: Siap Om.
agustheis1903: Saya berangkat dari Belanda ke Indonesia tanggal 23 Oktober 1902. Kami diberangkatkan oleh RMG yang berpusat di Barmen. Perjalanan dari Barmen ke Sumatra waktu itu makan waktu berbulan-bulan. Soalnya kami naik kapal laut. Kapal kami singgah pertama kali di Padang, baru kemudian saya diberangkatkan ke Sigumpar. Di sini lah saya tinggal selama belum mendapat keputusan kemana akan ditempatkan.
ebenezersiadari: Dan Om kemudian ditempatkan di Pematang Raya, Simalungun
agustheis1903: Ya. Saya masih ingat, saya dan rombongan tiba di Pamatang Raya pada 2 September 1903. Hari Rabu, tepatnya. Bersama saya kala itu adalah Gr Ambrocius dan Theopilus Pasaribu. Ketika tiba, saya langsung membacakan Joh 4:35 itu. Saya tidak bisa melupakan ayat ini karena dalam keyakinan saya, orang Simalungun harus mendapat Terang dan masuk ke dalam Kerajaan Allah.
ebenezersiadari: Tanggal itu pun secara resmi dianggap sebagai tanggal masuknya injil ke Simalungun.
agustheis1903: Puji Tuhan, kalau orang Simalungun menganggapnya demikian.
ebenezersiadari: Barangkali itu dianggap sebagai penghormatan karena Om lah misionaris pertama yang menetap di Tanah Simalungun…
agustheis1903: Memang benar, Ben. Sebelum saya, memang sudah ada misionaris yang berkunjung ke Simalungun. Seperti yang saya ceritakan kemarin, pada tanggal 3-3-1903 Nommensen telah pernah mengutus Pdt Guillaume, Pdt Simon dan Pdt Meisel ke Simalungun. Tak lama sesudah itu, rombongan kedua yang dipimpin Nommensen juga berangkat ke Simalungun. Saya termasuk di rombongan yang kedua ini. Kedua rombongan kami kemudian bertemu di Haranggaol. Nommensen malah berkhotbah di sana, mengambil nats dari Joh 3:16. Kemudian rombongan kami meneruskan perjalanan dan singgah antara lain di Pematang Purba, Raya, Pematang Panei dan banyak lagi. Sementara rombongan Pdt Guillaume meneruskan perjalanannya ke Medan.
Beberapa bulan kemudian, berangkat pula Pdt Simon dan Pdt Meisel bersama rombongannya ke Tigaras. Kalau tak salah tanggal 3 Juni 1903 dan mereka tiba tanggal 4 Juni. Di Tigaras pula didirikan semacam pos darurat bagi mereka. Tigaras lah kala itu dijadikan semacam serambi untuk masuk ke Simalungun. Tigaras pula yang jadi ‘pusat ni pardonganon Mission Batak’ untuk daerah Timur. Dari sana lah persinggahan semua pendeta yang akan bertugas ke daerah yang dinamakan Timur, yakni Raya, Bandar, Purba dan Pematang Siantar.
ebenezersiadari: Tapi penempatan Anda di Pematang Raya lah yang tampaknya dijadikan milestone, tonggak sejarah?
agustheis1903: Itu tergantung bagaimana orang Simalungun melihatnya. Saya sendiri sudah puas jika Simalungun dapat menerima Terang itu. Dan bahwa mereka mengingat saya sebagai orang yang dipakai menyampaikan Terang tersebut, saya anggap itu sebagai bonus.
ebenezersiadari: Saya sangat awam dalam pekerjaan zending Om. Bahkan ketika masih remaja di GKPS Sarimatondang dulu, saya tak sempat mengajar Sekolah Minggu karena keburu berangkat ke Jakarta. Jadi, jika saya membayangkan diri saya jadi Om yang harus mengajarkan Terang kepada orang Simalungun, saya pasti kebingungan bagaimana memulainya.
agustheis1903: Tentu saja ada kebingungan semacam itu, Ben. Saya sendiri juga masih muda ketika meninggalkan Jerman. Umur saya baru 28 tahun waktu itu dan baru saja menyelesaikan studi di sekolah seminari di Barmen. Jadi memang boleh dikatakan saya masih hijau. Namun salah satu cara yang kami pakai untuk membawa Terang itu adalah dengan mendirikan sekolah. Itu sebabnya, setahun setelah saya tiba di Pematang Raya, kami sudah mendirikan sekolah walau pun kami belum mendapatkan murid untuk dididik.
ebenezersiadari: Lalu, bagaimana Om ‘memasarkan’ sekolah Om? Maaf, saya pakai istilah memasarkan. Sebab, sekarang ini, banyak sekolah swasta juga terpaksa beriklan terselubung karena kekurangan murid….
agustheis1903: Hehehe, Eben bisa saja. Tapi masalahnya beda. Sekarang sekolah kekurangan murid karena supply sekolahnya yang berlebihan dan ada kompetisi mencari murid. Dulu, masalahnya lain. Masalahnya adalah karena mereka tidak tahu apa itu sekolah.
ebenezersiadari: Ya, ya, ya, saya cuma bercanda Om. Agar diskusi kita tidak terlalu serius betul..
agustheis 1903: Guru Ambrocius yang datang bersama saya ke Pamatang Raya adalah guru yang baik. Dan dia lah guru pertama yang bekerja di Simalungun. Saya dan kawan-kawan lainnya berusaha keras membujuk anak-anak supaya ikut bersekolah. Orang tuanya juga kami yakinkan. Guru Ambrosius dan saya memang merasa yakin bahwa bila mereka tahu apa manfaat sekolah, mereka akan mau. Sebab masalahnya hanya soal ketidaktahuan. Dan ini perlu waktu.
ebenezersiadari: Ingat nama Ambrocius, saja jadi ingat kakak senior saya di asrama yang orang Siantar. Namanya Ambrocius juga…
agustheis1903: Bisa jadi banyak orang Simalungun yang kagum pada guru pertama di Simalungun itu. Walau pun sangat mungkin juga Ambrocius yang mereka maksudkan adalah Ambrosius dari khasanah yang berbeda. Dan, rupanya pendidikan lewat sekolah-sekolah itu memperlihatkan sisi baiknya kepada para penduduk. Terbukti, kami selanjutnya terdorong untuk membangun sekolah-sekolah berikutnya di desa lain. Setelah di Pematang Raya, kami buka pula sekolah di Raya Usang, Buluraya, Sipoldas dan juga Raya Tongah.
ebenezersiadari: Bagaimana Om membangunnya? Apakah Om punya orang untuk dipekerjakan?
agustheis1903: Tentu harus bekerjasama masyarakat setempat. Ditambah pula dengan bantuan Pemerintah Belanda. Sebab, Pemerintah Belanda juga ingin agar anak-anak itu mendapat pendidikan yang layak. Karena itu, ketika kami meminta penduduk membantu kami bergotong-royong membangun sekolah, mereka mau. Di sisi lain Pemerintah pun aktif membantu kami.
ebenezersiadari: Kedengarannya mulus-mulus saja ….
agustheis1903: Ada juga satu-dua tantangan. Misalnya, pernah ada penghulu yang menyalahtafsirkan peraturan Pemerintah tentang kewajiban kerja rodi. Karena Pemerintah Belanda mengharuskan 40 hari dalam setahun rakyat harus bekerja rodi, maka sang penghulu mengatakan kalau sudah ikut bekerja rodi, tidak perlu lagi ikut membantu membangun sekolah. Akibat pernyataan ini, pekerjaan pembangunan sekolah sempat tersendat. Tapi beruntung lah Pemerintah mau ikut mengatasi persoalan ini. Pemerintah menganggap tafsiran semacam itu melawan peraturan dan menghambat upaya memajukan pendidikan.
Tantangan semacam ini saya anggap kecil saja. Sebab di sisi lain saya melihat animo masyarakat yang besar. Mereka selalu meminta kepada saya agar di daerah mereka dibangun pula sekolah. Ini merupakan pertanda bahwa pendirian sekolah itu mereka rasakan sangat bermanfaat.
ebenezersiadari: Saya bisa membayangkan, Om jadi semacam ‘sinterklas’ ketika itu ya….
agustheis1903: Saya tak bisa menyetujui pendapatmu itu, Ben. Yang saya bayangkan, mungkin mereka menyadari bahwa pendirian sekolah itu bermanfaat. Dan kebetulan penanggung jawab pendiriannya saya. Rumah saya memang sangat terbuka untuk umum. Biasanya pada hari Sabtu, ketika penduduk itu pergi ke pasar, mereka menyempatkan diri datang ke rumah saya. Macam-macam alasan mereka. Antara lain untuk meminta obat dan juga keperluan lain, yang mungkin mereka harapkan dapat saya berikan. Ada yang bisa saya berikan, ada yang tidak.
ebenezersiadari: Di saat seperti itu, Om pasti tidak lupa berkhotbah dong….
agustheis1903: Sebenarnya hal ini sempat menjadi pergumulan saya yang berat, Eben. Orang Simalungun sudah mempunyai tuhan mereka masing-masing. Mereka mempunyai sesembahan sendiri-sendiri. Itu sebabnya, walau pun sekolah-sekolah yang kami dirikan cukup bisa diterima, tetapi pada umumnya mereka belum mau mendengar pemberitaan Firman Tuhan.
ebenezersiadari: Pasti Om sedih ya?
agustheis1903: Sedih mungkin tidak, tetapi sedikit kecewa lah. Sambil menjenguk sekolah-sekolah yang kami dirikan, saya sering berkhotbah, menceritakan kisah-kisah di Alkitab. Tapi samasekali belum dapat menyentuh hati mereka. Kami juga menyelenggarakan ibadah minggu, tapi sampai beberapa tahun, hanya keluarga guru Ambrocius lah yang hadir dalam ibadah itu, ditambah dengan beberapa orang murid sekolah. Coba bayangkan, hingga empat tahun saya di sana, hanya 19 orang lah yang Kristen. Semuanya adalah keluarga guru-guru. Padahal, ada 8000 orang penduduk Raya. Dan sudah ada tujuh sekolah yang kami dirikan, ada 183 orang murid kami. Tetapi ternyata menerima pendidikan tidak otomatis juga menerima Terang Tuhan.
ebenezersiadari: Saya melihat ini positif, Om. Sebab, selama ini ada tuduhan, pengkristenan itu sepertinya identik dengan memancing ikan. Dipancing lewat pendidikan dulu, baru dijerat menjadi Kristen. Penjelasan Om itu bercerita sesuatu yang lain bagi saya. Artinya, kelihatannya orang Simalungun menjadi Kristen memerlukan pertimbangan yang matang….
agustheis1903: Barangkali bisa Eben katakan begitu. Maksudmu, mereka menjadi Kristen benar-benar dari hati, bukan? Bukan karena merasa berutang karena telah diberikan pendidikan dan gedung sekolah?
ebenezersiadari: Kira-kira begitu lah, Om.
agustheis1903: Memang benar, Eben. Walau pun sekolah-sekolah telah kami bangun, penerimaan orang terhadap penginjilan yang saya sampaikan tidak terlalu menggembirakan. Saya sering berkeliling ke desa-desa di kawasan Raya dalam rangka meninjau sekolah yang telah dibangun. Saya biasanya bermalam di rumah penghulu. Dan mereka menerima saya dengan baik.
Pada malam-malam demikian, saya mengundang orang-orang untuk berkumpul dan saya memulai menceritakan apa yang dikatakan Alkitab tentang Tuhan. Tapi agaknya sulit bagi mereka menerimanya. Mereka mungkin satu-dua tertarik mendengar, tetapi belum ada yang tergerak menjadi kristen. Dalam arti ikut dibaptis.
ebenezersiadari: Om, apa sih yang Om khotbahkan waktu itu? Kok saya penasaran ingin tahu?
agustheis1903: Saya berkhotbah dalam Bahasa Batak Toba. Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba memang ada kemiripannya. Meskipun tak bisa diabaikan juga perbedaannya. Nah, mereka dapat mengerti.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menggambarkan siapa Tuhan itu kepada orang Simalungun kala itu. Sebab, dalam Bahasa Toba, kita menyebut Debata. Dan orang Simalungun juga sudah mengenal sesembahan mereka yang dinamai Naibata. Jadi tidak sulit menggambarkan kepada mereka siapa itu Debata, yang menciptakan langit dan bumi. Sebab mereka pun percaya bahwa Naibata mereka juga menciptakan langit dan bumi.Tetapi ketika saya mulai mengatakan bahwa Tuhan itu satu, yakni Yahweh, Tuhan orang Israel dan yang telah mengutus AnakNya ke dunia, mereka biasanya langsung terdiam. Sebab, dugaan saya dalam hati mereka tidak bisa menerima karena mereka akan langsung ingat tuhan yang mereka sembah. Biasanya masing-masing orang punya tuhan sendiri.
Itu sebabnya saya biasanya tidak selalu mengawali penginjilan saya dengan khotbah-khotbah bersifat teologis semacam ini. Justru saya banyak mengupas Firman Tuhan yang mengatur hubungan antarmanusia. Dan mereka kelihatannya senang.
ebenezersiadari: Misalnya?
agustheis1903: Misalnya, tentang hukum taurat kelima hingga ke delapan. Tentang bagaimana anak harus menghormati orang tua. Tidak boleh membunuh. Berbohong dan sebagainya. Ini menarik dan mereka setujui dalam hati, sebab, siapa pun tentu ingin dihormati oleh anak-anaknya. Tidak ada yang ingin dibunuh atau membunuh, dibohongi atau membohongi.
ebenezersiadari: Mereka dapat melihat terang, tetapi mereka belum menerima Terang yang jadi Sumber terang itu?
agustheis1903: Eben mungkin dapat mengatakannya begitu. Tetapi sesungguhnya tidak pula dapat dikatakan semuanya berita buruk. Ada satu kejadian yang bisa saya ingat. Suatu hari di tahun 1905 Pdt Simon dari Bandar datang berkhotbah. Ia mengambil nats khotbahnya dari Lukas 17:11-19 yang bercerita tentang 10 orang yang disebuhkan Yesus, namun hanya satu yang berterimakasih. Pada saat Simon tuntas menjelaskan cerita itu, salah seorang dukun yang sudah tua yang ikut mendengar khotbah itu, langsung berdiri menghadap kepada kawan-kawannya yang ikut berkumpul. Kelihatannya ia sangat terkesan dengan khotbah itu. Dan ia berujar: “Kelihatannya, kita lah yang dimaksud dengan sembilan orang (yang tidak berterimakasih itu) ya?”
Saya sendiri ketika itu berkhotbah tentang seorang pegawai yang tidak berbelas kasihan kepada pekerjanya, padahal sang pegawai itu telah diampuni oleh majikannya (Matius 18). Eh, tiba-tiba saja seorang penghulu berdiri dan berkata: “Ya, kalau begitu lah adanya, saya lah mungkin orang yang berdosa besar itu.”
Hal-hal semacam ini menjadi pendorong bangkitnya lagi semangat saya ketika itu.
ebenezersiadari: Barangkali memang diperlukan kehadiran tokoh-tokoh pemimpin diantara mereka untuk menjadi panutan dalam mengungkapkan penerimaan atas Terang itu…..
agustheis1903: Saya selalu mengusahakan hubungan yang baik dengan para raja dan penghulu. Saya sedikit banyak mengerti pengaruh besar dari raja kepada rakyatnya. Itu sebabnya, saya sangat senang ketika Raja Raya datang bertamu ke rumah kami pada hari Natal 24 Desember 1905. Saya senang karena saya berharap kunjungannya ini akan membawa perubahan besar bagi sikap rakyat terhadap misi yang saya lakukan.
Setelah kunjungan raja itu, saya memang makin sering mendengar orang-orang bertanya sesama mereka sendiri: “Apakah kamu masuk Kristen juga?” Atau, “Sudahkah kamu masuk Kristen?” Buat saya hal semacam ini adalah berita bagus. Sebab, sesungguhnya Raja Raya sangat kooperatif dalam mendorong para orang tua menyekolahkan anaknya. Jadi saya sebenarnya sangat berharap agar ia melakukan dorongan yang sama dalam menerima Terang itu.
Sayangnya, setelah kunjungan itu, raja tak pernah berkunjung lagi dalam tempo yang sangat lama. Rakyat tentu sangat menanti sinyal yang ditunjukkan raja. Sebab ada juga celetukan yang saya dengar, “Kalau raja kita sendiri tak kunjung datang, bagaimana pula kita bisa hadir.” Maksud mereka barangkali kalau raja sendiri tidak ikut menghadiri ibadah, menjadi Kristen, untuk apa pula rakyat ikut-ikutan.
ebenezersiadari: Agak rumit ya Om?
agustheis1903: Saya kira memang kerumitan semacam itu sangat wajar di periode-periode awal. Tapi saya tetap optimistis karena saya melihat, sebenarnya anak-anak sekolah yang kami didik, sangat ingin menerima Terang itu. Mereka sangat ingin dibaptis. Namun, orang tua mereka kebanyakan tidak mengizinkan. Ini juga jadi persoalan tersendiri. Dan ini saya sampaikan dalam sebuah rapat rutin mingguan di Pematang Raya, yang dihadiri oleh para penghulu. Dan rapat itu akhirnya memutuskan bahwa orang tua tidak berhak melarang anaknya yang ingin dibaptis.
Setelah itu, makin bertambah lah anak-anak yang dibaptis, walau pun orangtuanya belum mau ikut beribadah Minggu. Saya sering berbincang-bincang dengan para orang tua itu karena mereka sering datang ke rumah saya berobat. Kebetulan saya mempunyai pengetahuan secukupnya tentang pengobatan dan di rumah saya tersedia sejumlah obat untuk penyakit yang umum di Negara sedang berkembang.
Seingat saya, mereka menganggap Terang itu merupakan hal baru. Dan hal baru itu hanya cocok bagi anak-anak dan kaum muda. Tidak cocok untuk para orang tua. Saya tentu tak bisa segera membantahnya. Saya kira itu hak mereka berpendapat demikian. Tetapi saya juga tak ingin menyerah. Walau pun sampai enam tahun saya tinggal di Pamatang Raya belum juga ada yang sudi dibaptis. Saya tetap bekerja sungguh-sungguh.
Eh, sorry Eben. Saya kira kita sudah terlalu lama berbincang-bincang. Mata saya sudah agak pedih. Bolehkah kita sudahi dulu?
ebenezersiadari: Silakan Om. Tapi saya sesungguhnya masih mempunyai banyak yang ingin ditanyakan. Bisa kita sambung besok lagi? Di jam yang sama?
agustheis1903: Dengan senang hati. Sampai besok.
Link
Chating dengan Agus Theis:
Hari Kedua
ebenezersiadari: Selamat malam Om. Sehat kan?
Agustheis1903: Puji Tuhan, Ben. Sehat selalu.
ebenezersiadari: Saya sudah gak sabar, nih Om, dengar lanjutan cerita kemarin. Tentang bagaimana Om memulai bekerja sebagai misionaris di Simalungun.
agustheis1903: Ok. Ini akan jadi percakapan yang panjang, Ben. Sebentar ya? Saya siapkan dulu air minum. Brb (be right back).
agustheis1903: Ok. Kita mulai ya?
ebenezersiadari: Siap Om.
agustheis1903: Saya berangkat dari Belanda ke Indonesia tanggal 23 Oktober 1902. Kami diberangkatkan oleh RMG yang berpusat di Barmen. Perjalanan dari Barmen ke Sumatra waktu itu makan waktu berbulan-bulan. Soalnya kami naik kapal laut. Kapal kami singgah pertama kali di Padang, baru kemudian saya diberangkatkan ke Sigumpar. Di sini lah saya tinggal selama belum mendapat keputusan kemana akan ditempatkan.
ebenezersiadari: Dan Om kemudian ditempatkan di Pematang Raya, Simalungun
agustheis1903: Ya. Saya masih ingat, saya dan rombongan tiba di Pamatang Raya pada 2 September 1903. Hari Rabu, tepatnya. Bersama saya kala itu adalah Gr Ambrocius dan Theopilus Pasaribu. Ketika tiba, saya langsung membacakan Joh 4:35 itu. Saya tidak bisa melupakan ayat ini karena dalam keyakinan saya, orang Simalungun harus mendapat Terang dan masuk ke dalam Kerajaan Allah.
ebenezersiadari: Tanggal itu pun secara resmi dianggap sebagai tanggal masuknya injil ke Simalungun.
agustheis1903: Puji Tuhan, kalau orang Simalungun menganggapnya demikian.
ebenezersiadari: Barangkali itu dianggap sebagai penghormatan karena Om lah misionaris pertama yang menetap di Tanah Simalungun…
agustheis1903: Memang benar, Ben. Sebelum saya, memang sudah ada misionaris yang berkunjung ke Simalungun. Seperti yang saya ceritakan kemarin, pada tanggal 3-3-1903 Nommensen telah pernah mengutus Pdt Guillaume, Pdt Simon dan Pdt Meisel ke Simalungun. Tak lama sesudah itu, rombongan kedua yang dipimpin Nommensen juga berangkat ke Simalungun. Saya termasuk di rombongan yang kedua ini. Kedua rombongan kami kemudian bertemu di Haranggaol. Nommensen malah berkhotbah di sana, mengambil nats dari Joh 3:16. Kemudian rombongan kami meneruskan perjalanan dan singgah antara lain di Pematang Purba, Raya, Pematang Panei dan banyak lagi. Sementara rombongan Pdt Guillaume meneruskan perjalanannya ke Medan.
Beberapa bulan kemudian, berangkat pula Pdt Simon dan Pdt Meisel bersama rombongannya ke Tigaras. Kalau tak salah tanggal 3 Juni 1903 dan mereka tiba tanggal 4 Juni. Di Tigaras pula didirikan semacam pos darurat bagi mereka. Tigaras lah kala itu dijadikan semacam serambi untuk masuk ke Simalungun. Tigaras pula yang jadi ‘pusat ni pardonganon Mission Batak’ untuk daerah Timur. Dari sana lah persinggahan semua pendeta yang akan bertugas ke daerah yang dinamakan Timur, yakni Raya, Bandar, Purba dan Pematang Siantar.
ebenezersiadari: Tapi penempatan Anda di Pematang Raya lah yang tampaknya dijadikan milestone, tonggak sejarah?
agustheis1903: Itu tergantung bagaimana orang Simalungun melihatnya. Saya sendiri sudah puas jika Simalungun dapat menerima Terang itu. Dan bahwa mereka mengingat saya sebagai orang yang dipakai menyampaikan Terang tersebut, saya anggap itu sebagai bonus.
ebenezersiadari: Saya sangat awam dalam pekerjaan zending Om. Bahkan ketika masih remaja di GKPS Sarimatondang dulu, saya tak sempat mengajar Sekolah Minggu karena keburu berangkat ke Jakarta. Jadi, jika saya membayangkan diri saya jadi Om yang harus mengajarkan Terang kepada orang Simalungun, saya pasti kebingungan bagaimana memulainya.
agustheis1903: Tentu saja ada kebingungan semacam itu, Ben. Saya sendiri juga masih muda ketika meninggalkan Jerman. Umur saya baru 28 tahun waktu itu dan baru saja menyelesaikan studi di sekolah seminari di Barmen. Jadi memang boleh dikatakan saya masih hijau. Namun salah satu cara yang kami pakai untuk membawa Terang itu adalah dengan mendirikan sekolah. Itu sebabnya, setahun setelah saya tiba di Pematang Raya, kami sudah mendirikan sekolah walau pun kami belum mendapatkan murid untuk dididik.
ebenezersiadari: Lalu, bagaimana Om ‘memasarkan’ sekolah Om? Maaf, saya pakai istilah memasarkan. Sebab, sekarang ini, banyak sekolah swasta juga terpaksa beriklan terselubung karena kekurangan murid….
agustheis1903: Hehehe, Eben bisa saja. Tapi masalahnya beda. Sekarang sekolah kekurangan murid karena supply sekolahnya yang berlebihan dan ada kompetisi mencari murid. Dulu, masalahnya lain. Masalahnya adalah karena mereka tidak tahu apa itu sekolah.
ebenezersiadari: Ya, ya, ya, saya cuma bercanda Om. Agar diskusi kita tidak terlalu serius betul..
agustheis 1903: Guru Ambrocius yang datang bersama saya ke Pamatang Raya adalah guru yang baik. Dan dia lah guru pertama yang bekerja di Simalungun. Saya dan kawan-kawan lainnya berusaha keras membujuk anak-anak supaya ikut bersekolah. Orang tuanya juga kami yakinkan. Guru Ambrosius dan saya memang merasa yakin bahwa bila mereka tahu apa manfaat sekolah, mereka akan mau. Sebab masalahnya hanya soal ketidaktahuan. Dan ini perlu waktu.
ebenezersiadari: Ingat nama Ambrocius, saja jadi ingat kakak senior saya di asrama yang orang Siantar. Namanya Ambrocius juga…
agustheis1903: Bisa jadi banyak orang Simalungun yang kagum pada guru pertama di Simalungun itu. Walau pun sangat mungkin juga Ambrocius yang mereka maksudkan adalah Ambrosius dari khasanah yang berbeda. Dan, rupanya pendidikan lewat sekolah-sekolah itu memperlihatkan sisi baiknya kepada para penduduk. Terbukti, kami selanjutnya terdorong untuk membangun sekolah-sekolah berikutnya di desa lain. Setelah di Pematang Raya, kami buka pula sekolah di Raya Usang, Buluraya, Sipoldas dan juga Raya Tongah.
ebenezersiadari: Bagaimana Om membangunnya? Apakah Om punya orang untuk dipekerjakan?
agustheis1903: Tentu harus bekerjasama masyarakat setempat. Ditambah pula dengan bantuan Pemerintah Belanda. Sebab, Pemerintah Belanda juga ingin agar anak-anak itu mendapat pendidikan yang layak. Karena itu, ketika kami meminta penduduk membantu kami bergotong-royong membangun sekolah, mereka mau. Di sisi lain Pemerintah pun aktif membantu kami.
ebenezersiadari: Kedengarannya mulus-mulus saja ….
agustheis1903: Ada juga satu-dua tantangan. Misalnya, pernah ada penghulu yang menyalahtafsirkan peraturan Pemerintah tentang kewajiban kerja rodi. Karena Pemerintah Belanda mengharuskan 40 hari dalam setahun rakyat harus bekerja rodi, maka sang penghulu mengatakan kalau sudah ikut bekerja rodi, tidak perlu lagi ikut membantu membangun sekolah. Akibat pernyataan ini, pekerjaan pembangunan sekolah sempat tersendat. Tapi beruntung lah Pemerintah mau ikut mengatasi persoalan ini. Pemerintah menganggap tafsiran semacam itu melawan peraturan dan menghambat upaya memajukan pendidikan.
Tantangan semacam ini saya anggap kecil saja. Sebab di sisi lain saya melihat animo masyarakat yang besar. Mereka selalu meminta kepada saya agar di daerah mereka dibangun pula sekolah. Ini merupakan pertanda bahwa pendirian sekolah itu mereka rasakan sangat bermanfaat.
ebenezersiadari: Saya bisa membayangkan, Om jadi semacam ‘sinterklas’ ketika itu ya….
agustheis1903: Saya tak bisa menyetujui pendapatmu itu, Ben. Yang saya bayangkan, mungkin mereka menyadari bahwa pendirian sekolah itu bermanfaat. Dan kebetulan penanggung jawab pendiriannya saya. Rumah saya memang sangat terbuka untuk umum. Biasanya pada hari Sabtu, ketika penduduk itu pergi ke pasar, mereka menyempatkan diri datang ke rumah saya. Macam-macam alasan mereka. Antara lain untuk meminta obat dan juga keperluan lain, yang mungkin mereka harapkan dapat saya berikan. Ada yang bisa saya berikan, ada yang tidak.
ebenezersiadari: Di saat seperti itu, Om pasti tidak lupa berkhotbah dong….
agustheis1903: Sebenarnya hal ini sempat menjadi pergumulan saya yang berat, Eben. Orang Simalungun sudah mempunyai tuhan mereka masing-masing. Mereka mempunyai sesembahan sendiri-sendiri. Itu sebabnya, walau pun sekolah-sekolah yang kami dirikan cukup bisa diterima, tetapi pada umumnya mereka belum mau mendengar pemberitaan Firman Tuhan.
ebenezersiadari: Pasti Om sedih ya?
agustheis1903: Sedih mungkin tidak, tetapi sedikit kecewa lah. Sambil menjenguk sekolah-sekolah yang kami dirikan, saya sering berkhotbah, menceritakan kisah-kisah di Alkitab. Tapi samasekali belum dapat menyentuh hati mereka. Kami juga menyelenggarakan ibadah minggu, tapi sampai beberapa tahun, hanya keluarga guru Ambrocius lah yang hadir dalam ibadah itu, ditambah dengan beberapa orang murid sekolah. Coba bayangkan, hingga empat tahun saya di sana, hanya 19 orang lah yang Kristen. Semuanya adalah keluarga guru-guru. Padahal, ada 8000 orang penduduk Raya. Dan sudah ada tujuh sekolah yang kami dirikan, ada 183 orang murid kami. Tetapi ternyata menerima pendidikan tidak otomatis juga menerima Terang Tuhan.
ebenezersiadari: Saya melihat ini positif, Om. Sebab, selama ini ada tuduhan, pengkristenan itu sepertinya identik dengan memancing ikan. Dipancing lewat pendidikan dulu, baru dijerat menjadi Kristen. Penjelasan Om itu bercerita sesuatu yang lain bagi saya. Artinya, kelihatannya orang Simalungun menjadi Kristen memerlukan pertimbangan yang matang….
agustheis1903: Barangkali bisa Eben katakan begitu. Maksudmu, mereka menjadi Kristen benar-benar dari hati, bukan? Bukan karena merasa berutang karena telah diberikan pendidikan dan gedung sekolah?
ebenezersiadari: Kira-kira begitu lah, Om.
agustheis1903: Memang benar, Eben. Walau pun sekolah-sekolah telah kami bangun, penerimaan orang terhadap penginjilan yang saya sampaikan tidak terlalu menggembirakan. Saya sering berkeliling ke desa-desa di kawasan Raya dalam rangka meninjau sekolah yang telah dibangun. Saya biasanya bermalam di rumah penghulu. Dan mereka menerima saya dengan baik.
Pada malam-malam demikian, saya mengundang orang-orang untuk berkumpul dan saya memulai menceritakan apa yang dikatakan Alkitab tentang Tuhan. Tapi agaknya sulit bagi mereka menerimanya. Mereka mungkin satu-dua tertarik mendengar, tetapi belum ada yang tergerak menjadi kristen. Dalam arti ikut dibaptis.
ebenezersiadari: Om, apa sih yang Om khotbahkan waktu itu? Kok saya penasaran ingin tahu?
agustheis1903: Saya berkhotbah dalam Bahasa Batak Toba. Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba memang ada kemiripannya. Meskipun tak bisa diabaikan juga perbedaannya. Nah, mereka dapat mengerti.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menggambarkan siapa Tuhan itu kepada orang Simalungun kala itu. Sebab, dalam Bahasa Toba, kita menyebut Debata. Dan orang Simalungun juga sudah mengenal sesembahan mereka yang dinamai Naibata. Jadi tidak sulit menggambarkan kepada mereka siapa itu Debata, yang menciptakan langit dan bumi. Sebab mereka pun percaya bahwa Naibata mereka juga menciptakan langit dan bumi.Tetapi ketika saya mulai mengatakan bahwa Tuhan itu satu, yakni Yahweh, Tuhan orang Israel dan yang telah mengutus AnakNya ke dunia, mereka biasanya langsung terdiam. Sebab, dugaan saya dalam hati mereka tidak bisa menerima karena mereka akan langsung ingat tuhan yang mereka sembah. Biasanya masing-masing orang punya tuhan sendiri.
Itu sebabnya saya biasanya tidak selalu mengawali penginjilan saya dengan khotbah-khotbah bersifat teologis semacam ini. Justru saya banyak mengupas Firman Tuhan yang mengatur hubungan antarmanusia. Dan mereka kelihatannya senang.
ebenezersiadari: Misalnya?
agustheis1903: Misalnya, tentang hukum taurat kelima hingga ke delapan. Tentang bagaimana anak harus menghormati orang tua. Tidak boleh membunuh. Berbohong dan sebagainya. Ini menarik dan mereka setujui dalam hati, sebab, siapa pun tentu ingin dihormati oleh anak-anaknya. Tidak ada yang ingin dibunuh atau membunuh, dibohongi atau membohongi.
ebenezersiadari: Mereka dapat melihat terang, tetapi mereka belum menerima Terang yang jadi Sumber terang itu?
agustheis1903: Eben mungkin dapat mengatakannya begitu. Tetapi sesungguhnya tidak pula dapat dikatakan semuanya berita buruk. Ada satu kejadian yang bisa saya ingat. Suatu hari di tahun 1905 Pdt Simon dari Bandar datang berkhotbah. Ia mengambil nats khotbahnya dari Lukas 17:11-19 yang bercerita tentang 10 orang yang disebuhkan Yesus, namun hanya satu yang berterimakasih. Pada saat Simon tuntas menjelaskan cerita itu, salah seorang dukun yang sudah tua yang ikut mendengar khotbah itu, langsung berdiri menghadap kepada kawan-kawannya yang ikut berkumpul. Kelihatannya ia sangat terkesan dengan khotbah itu. Dan ia berujar: “Kelihatannya, kita lah yang dimaksud dengan sembilan orang (yang tidak berterimakasih itu) ya?”
Saya sendiri ketika itu berkhotbah tentang seorang pegawai yang tidak berbelas kasihan kepada pekerjanya, padahal sang pegawai itu telah diampuni oleh majikannya (Matius 18). Eh, tiba-tiba saja seorang penghulu berdiri dan berkata: “Ya, kalau begitu lah adanya, saya lah mungkin orang yang berdosa besar itu.”
Hal-hal semacam ini menjadi pendorong bangkitnya lagi semangat saya ketika itu.
ebenezersiadari: Barangkali memang diperlukan kehadiran tokoh-tokoh pemimpin diantara mereka untuk menjadi panutan dalam mengungkapkan penerimaan atas Terang itu…..
agustheis1903: Saya selalu mengusahakan hubungan yang baik dengan para raja dan penghulu. Saya sedikit banyak mengerti pengaruh besar dari raja kepada rakyatnya. Itu sebabnya, saya sangat senang ketika Raja Raya datang bertamu ke rumah kami pada hari Natal 24 Desember 1905. Saya senang karena saya berharap kunjungannya ini akan membawa perubahan besar bagi sikap rakyat terhadap misi yang saya lakukan.
Setelah kunjungan raja itu, saya memang makin sering mendengar orang-orang bertanya sesama mereka sendiri: “Apakah kamu masuk Kristen juga?” Atau, “Sudahkah kamu masuk Kristen?” Buat saya hal semacam ini adalah berita bagus. Sebab, sesungguhnya Raja Raya sangat kooperatif dalam mendorong para orang tua menyekolahkan anaknya. Jadi saya sebenarnya sangat berharap agar ia melakukan dorongan yang sama dalam menerima Terang itu.
Sayangnya, setelah kunjungan itu, raja tak pernah berkunjung lagi dalam tempo yang sangat lama. Rakyat tentu sangat menanti sinyal yang ditunjukkan raja. Sebab ada juga celetukan yang saya dengar, “Kalau raja kita sendiri tak kunjung datang, bagaimana pula kita bisa hadir.” Maksud mereka barangkali kalau raja sendiri tidak ikut menghadiri ibadah, menjadi Kristen, untuk apa pula rakyat ikut-ikutan.
ebenezersiadari: Agak rumit ya Om?
agustheis1903: Saya kira memang kerumitan semacam itu sangat wajar di periode-periode awal. Tapi saya tetap optimistis karena saya melihat, sebenarnya anak-anak sekolah yang kami didik, sangat ingin menerima Terang itu. Mereka sangat ingin dibaptis. Namun, orang tua mereka kebanyakan tidak mengizinkan. Ini juga jadi persoalan tersendiri. Dan ini saya sampaikan dalam sebuah rapat rutin mingguan di Pematang Raya, yang dihadiri oleh para penghulu. Dan rapat itu akhirnya memutuskan bahwa orang tua tidak berhak melarang anaknya yang ingin dibaptis.
Setelah itu, makin bertambah lah anak-anak yang dibaptis, walau pun orangtuanya belum mau ikut beribadah Minggu. Saya sering berbincang-bincang dengan para orang tua itu karena mereka sering datang ke rumah saya berobat. Kebetulan saya mempunyai pengetahuan secukupnya tentang pengobatan dan di rumah saya tersedia sejumlah obat untuk penyakit yang umum di Negara sedang berkembang.
Seingat saya, mereka menganggap Terang itu merupakan hal baru. Dan hal baru itu hanya cocok bagi anak-anak dan kaum muda. Tidak cocok untuk para orang tua. Saya tentu tak bisa segera membantahnya. Saya kira itu hak mereka berpendapat demikian. Tetapi saya juga tak ingin menyerah. Walau pun sampai enam tahun saya tinggal di Pamatang Raya belum juga ada yang sudi dibaptis. Saya tetap bekerja sungguh-sungguh.
Eh, sorry Eben. Saya kira kita sudah terlalu lama berbincang-bincang. Mata saya sudah agak pedih. Bolehkah kita sudahi dulu?
ebenezersiadari: Silakan Om. Tapi saya sesungguhnya masih mempunyai banyak yang ingin ditanyakan. Bisa kita sambung besok lagi? Di jam yang sama?
agustheis1903: Dengan senang hati. Sampai besok.
Link
0 Comments:
Post a Comment
<< Home