My Simalungun Idols

My Simalungun Idols adalah bagian dari blog THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG (http://sarimatondang.blogspot.com). My Simalungun Idols berisi refleksi tentang sejumlah tokoh Simalungun atau mereka yang berjasa kepada Simalungun.

My Photo
Name:
Location: jakarta, Indonesia

suami yang kampungan di mata istrinya, ayah yang sering disandera putrinya untuk mendongeng.

Sunday

Empat Hari bersama Agus Theis (3)

(Percakapan Imajiner dengan Missionaris Pertama di Simalungun)

Chating dengan Agus Theis:
Hari Ketiga



ebenezersiadari: Selamat malam Om. Tetap sehat kan?

agustheis1903: Puji Tuhan, Ben. Semuanya beres. Eben bagaimana? Eben seharusnya cerita juga dong, tentang cucu saya di rumah. Sudah bisa apa dia? Apa Eben membawanya juga ke sekolah minggu?

ebenezersiadari: Sehat semua Om. Ia setiap Minggu saya antarkan ke sekolah minggu. Mudah-mudahan ia juga kelak bisa menyelami apa yang Om sudah lakukan di Simalungun. Saya juga berharap kelak ia mengerti serba sedikit sejarah Terang masuk ke Simalungun, biar dia juga tahu bagaimana ayahnya dulu digembleng di sekolah minggu kampung . Tapi Om, kita nggak sedang bicara tentang anak saya kan? Saya masih banyak pertanyaan tentang Om dan pekerjaan Om waktu dulu.

Ny Theis (Mrs Henriette) sedang memberi makan ternak mereka, disaksikan putra-putrinya. Sumber: Riwayat Hidup Pandita August Theis, 1987, Kolportase GKPS, A. Munthe

agustheis1903
: Apa itu?

ebenezersiadari: Om sudah cerita bagian paling awal dari pekerjaan Om di Simalungun. Dalam enam tahun pertama, keadaan serba sulit kedengarannya. Belum ada yang dibaptis. Saya ingin dengar juga dong cerita Om yang lebih menyenangkan, yang menggembirakan.

agustheis1903:
Wah, Eben jangan terlalu mendramatisir. Tidak usah bayangkan semua yang suram-suram. Walau pekerjaan zending membutuhkan perhatian penuh saya, dan walau pun saya ada kesan jalan yang saya tempuh seperti buntu, bukan berarti saya dan keluarga tidak punya waktu senggang. Kami juga menikmati hidup.

ebenezersiadari: Misalnya?

agustheis1903:
Saya dan istri beserta keempat orang anak saya acap juga bepergian. Kami dulu mempunyai kereta kuda. Saya sering mengajak keluarga berkeliling kampung. Juga mengunjungi kampung-kampung tetangga. Anak-anak saya bisa menyaksikan hal-hal baru yang mungkin tidak mereka temukan di Pematang Raya. Pada pagi dan sore hari, istri saya menyempatkan juga memberi makan ayam peliharaan kami. Anak-anak saya menikmati hidup di kampung.

ebenezersiadari: Asyik tuh Om. Putri saya juga kalau pulang kampung senang sekali bermain-main dengan si Piggy di belakang rumah orang tua saya….

agustheis1903:
Memang begitu lah Eben. Saya juga di Jerman lahir di kampung dan dibesarkan sebagai anak kampung. Jadi masih ada pertautan lah dengan keadaan di Pematang Raya. Beternak dan bertani bukan hal yang aneh bagi saya. Sama halnya juga dengan bertukang. Jadi saya sangat menikmati pekerjaan membawa Terang itu Eben. Walau pun begitu, ada juga yang selalu membuat saya sedih, tiap kali ingat Pematang Raya….

ebenezersiadari: Apa itu Om?

agustheis1903
: Henriette dipanggil Tuhan pada tanggal 12 Juni 1909, hanya sembilan hari setelah melahirkan putri bungsu kami.

Ebenezersiadari: Henriette?
Agustheis1903:
Itu nama istri saya. Kalau Eben memanggil saya Om atau Tulang, dia bisa lah Eben sebut sebagai Tante atau Atturang. Setahun setelah saya berada di Pematang Raya saya memutuskan menikah. Saya dulu memang sudah berpacaran dengan dia kala masih di Jerman. Nama lengkapnya, Henriette Bannier. Dan saya senang ketika dia mau saya ajak ‘merantau’ ke Raya ini, sehingga ia datang menyusul saya. Dia sangat cantik lho. Perkawinan kami dianugerahi empat orang anak, Ernst, Paul, Johanna dan Maria…Tapi kami hanya sempat bersama selama enam tahun.

ebenezersiadari: Oh, sorry Om. Turut berdukacita.

agustheis1903
: Henriette sampai hari ini dimakamkan di Pematang Raya. Itu adalah salah satu kegetiran hidup yang saya alami, selama membawa Terang itu di Simalungun. Dan sebenarnya, banyak juga kepahitan-kepahitan lain. Misalnya, penyakit menular seperti Malaria dan Campak, sering berkecamuk kala itu. Di tahun 1907 kami sekeluarga pernah menderita penyakit kolera. Lama sekali baru sembuh karena obatnya susah. Saya kala itu sampai mengirimkan orang menemui Pdt Guillame di Purba Saribu. Pdt itu lah yang mengirimkan obat kepada kami, melalui seorang pendeta yang bertugas di Tigaras. Bahkan Dr. Schreiber yang bertugas di Toba akhirnya menyempatkan diri datang memeriksa kami, setelah berminggu-minggu kami sekeluarga dalam penderitaan.

ebenezersiadari: Sekali lagi, maafkan saya Om, mengingatkan Om akan masa yang pahit itu.

agustheis1903
: Tidak apa-apa, Eben. Karena dengan mengingat itu pula, saya merasakan bahwa Tuhan memberi kekuatan kepada saya. Dan, Puji TUhan setelah itu, kerja pelayanan saya dalam membawa Terang ke Simalungun justru bertambah baik.

ebenezersiadari: Maksud Om?

agustheis1903:Saya merasa saya seperti dibukakan jalan. Atau lebih tepatnya, tuaian itu bukan hanya sudah siap untuk dipanen tetapi kami malah sudah memulai panen. Pada hari Natal di tahun dimana istri saya dipanggil Bapa di Surga, akhirnya penghiburan tak ternilai datang kepada saya. Sebanyak 24 orang akhirnya mau menerima Terang itu dan mereka dibaptis. Saya menganggapnya merupakan jalan awal menuju panen yang lebih besar. Panen yang tak berkesudahan. Tanda-tandanya sangat banyak. Diantaranya, saya makin bisa melihat misi zendiring makin diterima, walau pun terutama masih dalam soal penyediaan sekolah.Dari berbagai tempat, datang permintaan agar dibangun sekolah di kampung mereka. Semua itu menambah semangat saya melayani.

ebenezersiadari: Itukah pembaptisan yang pertama yang Om lakukan?

agustheis1903
: Ya. Persis tanggal 26-12-1909. Mudah-mudahan Eben tak terpana pada tanggalnya dengan memakai kacamata Hong Sui. Melainkan karena itu adalah hari Natal.:-))

ebenezersiadari: Masih ingat siapa saja mereka Om?

agustheis1903:
Diantaranya Musa Damanik dan nyonya, Marianna Saragih, Sanna Damanik, Marinus Damanik, Hulda Damanik, Nonna Damanik, Petrus Damanik….

ebenezersiadari: Wah kelihatannya tulang dan pariban saya semua itu, Om. Ibu saya kan Damanik….:-))

agustheis1903:
Jangan ge-er dulu, Ben. Ada juga yang datang dari Raya Tongah dan bukan dari keluarga Damanik melainkan Sinaga. Yakni Salomo Sinaga, Abina Saragih, Hormainim Sinaga, Marthe Sinaga, Lamina Sinaga, Andreas Sinaga….ah, masih ada lagi yang lainnya. Nanti bisa saya kirim lewat email.

ebenezersiadari: Oke Om.

agustheis1903:
Selain itu, pada saat itu sudah ada 11 guru yang digaji zending kala itu. Mereka melayani di Pematang Raya, Bulu Raya, Huta Dolog, Raya Usang, Dolog Huluan, Sipoldas, Hite Urat, Dolog Saribu, Raya Tongah, Kariahan dan Janji Mauli. Gajinya berkisar f10 sampai f15.

ebenezersiadari: Om mungkin makin sibuk setelah tuaian pertama itu. Tapi pada saat yang sama, saya tidak bisa membayangkan, Anda sendirian mengasuh empat orang anak, termasuk si bungsu yang masih bayi. Sementara Anda juga harus bekerja….

agustheis1903:
Banyak yang ikut membantu. Baik kolega sesama misionaris, para tetangga dan juga kawan-kawan sekampung. Dan Puji Tuhan.

ebenezersiadari: Tetap saja saya merasa agak kurang lengkap jika seorang ayah mengasuh anak-anak yang masih sangat kecil itu, sendirian. Pendeta lagi.

agustheis1903
: Saya juga memikirkan itu Eben. Dan jalan juga terbuka pada saya. Sebab dua tahun kemudian, saya menemukan pengganti Henriette. Namanya Marie Sophie Langemann. Ia dulunya adalah zuster di Rumah Sakit Laguboti. Dia enam tahun lebih muda dari saya. Ia berasal dari Hildesheim.

ebenezersiadari: Oh, baru saya mengerti. Atturang (Tante) yang baru itu pasti memberikan sumbangan yang besar bagi pekerjaan Om sesudahnya.

agustheis1903
: Tentu saja. Saya merasa menjadi sebuah keluarga yang lengkap kembali. Apalagi beberapa tahun kemudian ia pun kemudian melahirkan seorang putri yang kami namai Emma. Dan kali ini ia melahirkan bukan lagi di Pematang Raya tetapi di P. Siantar.

Tambah tahun saya merasa makin dikuatkan. Saya melihat Terang Tuhan itu makin diterima masyarakat. Setiap tahun ada saja anak yang dibaptis.Bukan hanya di Pematang Raya, tetapi juga di desa lainnya.

Faktor lain yang perlu dicatat adalah seseorang harus sudah mendapat baptis baru bisa melanjutkan sekolahnya ke seminari. Bahkan seorang calon guru harus sudah dibaptis dulu baru bisa menjadi guru. Jika tidak, ia belum diizinkan mengajar. Ini tampaknya turut menjadi pendorong makin banyaknya yang bersedia dibaptis. Apalagi permintaan agar sekolah makin banyak di buka di desa-desa lain, mendorong pertambahan permintaan guru.

Maka Eben tak usah heran bila mengetahui bahwa J. Wismar Saragih baru dibaptis pada 11-9-1910, setahun sebelum ia kami kirimkan ke Narumonda untuk bersekolah di seminari. Juga Jason Saragih yang kami kirimkan ke Depok bersamaan dengan Wismar Saragih, dibaptis pada tanggal 4-6-1911.

ebenezersiadari: Bagaimana dengan para keluarga mereka. Apakah ada yang tergerak untuk dibaptis juga?

agustheis1903:
Ada satu peristiwa yang saya tak bisa lupa. Pada hari Natal 1911, setahun setelah saya membaptis J. Wismar Saragih, saya membaptis pula Djaudin Saragih. Dia ini adalah pangulu balei, yakni jabatan pemerintahan di Raya kala itu. Djaudin adalah kakak dari J. Wismar Saragih. Ia dibaptis bersama Jonatan Sinaga. Djaudin lah orang Pemerintahan Kerajaan pertama yang mau menerima Kristus. Saya sangat senang dan berharap langkahnya itu akan memberikan dorongan bagi orang lain yang masih ragu.

ebenezersiadari: Apa yang mendorong para tokoh ini bersedia dibaptis?

agustheis1903
: Saya kira banyak pendorongnya. Antara lain barangkali mereka melihat manfaat pendidikan pada anak-anak Simalungun. Juga anak-anak itu mungkin menceritakan apa yang didengarkannya dari para guru dan misionaris, yang turut pula meyakinkan para tokoh itu. J. Wismar Saragih adik Djaudin yang telah lebih dulu dibaptis merupakan murid saya paling senior dan paling awal. Seperti saya katakan sebelumnya, setelah menyelesaikan pendidikannya di Pematang Raya, saya mengirimkannya melanjutkan sekolah seminari ke Narumonda bersama kawan seangkatannya, Paulus Purba. Murid lain, Jason Saragih, kami kirimkan ke Depok. Saya kira, J. Wismar Saragih banyak memberi pengaruh kepada lingkungan keluarganya tentang apa Terang itu dan mengapa Terang itu perlu diterima sebagai jalan keselamatan.

ebenezersiadari: Nama J. Wismar Saragih memang terkenal di kemudian hari dalam kepeloporannya membangun gereja orang Simalungun, GKPS.

agustheis1903:
Saya sudah melihat bakat kepemimpinannya itu sejak ia menjadi murid saya. Maka saya sangat gembira melihat kiprahnya di kemudian hari.

Dan setelah baptisan yang diterima penghulu balei yang merupakan kakak dari Wismar Saragih, itu, beberapa penghulu lainnya juga menyediakan dirinya untuk dibaptis. Sebentar, saya kira saya masih punya catatannya. Jangan kemana-mana ya Eben? Saya akan ambilkan. Brb (be right back).

Ebenezersiadari: Oke, Om. Saya tunggu.

Agustheis1903
: Nah, ini dia. Pada tanggal 2-11-1913, kami membaptis penghulu Dolok Saribu yang bernama R. Daut Saragih. Pada 7-12-1913 kami membaptis pula penghulu Urung Panei, Johan Purba. Kedua penghulu itu dibaptis bersama dengan keluarganya. Mereka bahkan menyelenggarakan pesta atas pembaptisan itu dan saya ikut hadir atas undangan mereka. Saya merasa pembaptisan atas mereka itu merupakan sebuah ‘hadiah’ yang tidak ternilai kepada saya, terutama karena tahun itu saya genap 10 tahun berada di Pematang Raya.

Sebelumnya, dalam catatan saya, telah makin banyak orang yang bersedia dibaptis. Selama tahun 1912, ada lima kali pembaptisan. Yang paling banyak adalah pada tanggal 26 Mei, saya membaptis 13 orang. Pada Natal hari pertama, saya membaptis tujuh orang. Sedangkan keesokan harinya ada 12 orang. Jadi pada tahun 1912 ada 34 orang yang menerima baptisan. Bandingkan dengan tahun 1911 yang hanya 15 orang.

ebenezersiadari: Dengan kemajuan yang Anda capai itu, bagaimana pandangan RMG atas pekerjaan Anda di Simalungun?

agustheis1903
: Sebetulnya, belum banyak yang bisa saya laporkan. Sebab, dibandingkan di daerah Toba misalnya, perkembangan penginjilan yang saya jalankan mungkin terasa lebih lambat. Tetapi dibandingkan periode awal, tentu saya bisa merasa gembira karena hari-demi hari kami menuai lebih banyak hasil. Dan saya sangat senang ketika pada 10 November 1911 Pak Spieker, direktur RMG dari Barmen, datang berkunjung ke Pamatang Raya. Buat saya ini adalah sebuah kehormatan dan gambaran dari kepedulian RMG pada Simalungun. Pak Spieker memang hanya dua hari berada di Pematang Raya. Ia mengendarai mobil dari P. Siantar ke tempat kami. Tapi itu sudah merupakan apresiasi yang tak terduga bagi saya. Dan memotivasi saya supaya bekerja lebih giat.

Saya mencatat, setelah 10 tahun saya berada di Simalungun, sudah ada 11 jemaat dan juga sekolah. Ada 90 orang menerima Terang dan terangkat dari kegelapan. Pada tahun itu pula saya berkirim surat ke kantor pusat RMG di Barmen agar mengirimkan lonceng gereja (giring-giring). Soalnya giring-giring baru ada satu di daerah Raya, padahal ada 11 jemaat yang memerlukannya. Pada tahun itu pula, saya mendapatkan alat yang sangat membantu pekerjaan saya, yakni mesin tik. Sejak itu saya mencoba meninggalkan kebiasaan membuat laporan dan surat tulis tangan, baik kepada RMG di Barmen mau pun kepada Nommensen.

Dalam laporan saya untuk tahun 1913, saya mengutip sebuah lagu sebagai penutupnya. Bunyinya dalam Bahasa Simalungun:
Jesus Kristus in do Raja
Ipabangkit Naibatanta
Manggomgomi hajojor (2x)
Janah ganup hajolmaon
Ningon Bani do mar Tuhan
Iakuhon in botul (2x).


Buat saya, ini adalah semacam kesimpulan untuk meneruskan pekerjaan pelayanan untuk menghadirkan Terang itu sekaligus untuk menunjukkan pengharapan kepada sang Terang itu sendiri.

ebenezersiadari: Sangat menarik Om. Setelah sebegitu lama bekerja, dengan pengalaman yang pahit begitu, apa tidak terpikir mengambil cuti pulang kampung?

Agustheis1903
: Tentu terpikir juga, Eben. Tetapi itu kita ajukan hanya dengan harapan dikabulkan oleh RMG. Jika tidak dikabulkan, kita harus sabar. Sebab, mungkin saja mereka melihat tenaga kita memang masih diperlukan. Dan saya kira hal itu wajar.

ebenezersiadari: Jadi Om tak pernah cuti selama ditugaskan di Simalungun?

agustheis1903:
Selama 18 tahun saya bertugas di Simalungun, ada beberapa kali saya mengirimkan surat permintaan cuti. Tetapi saya tetap sabar walau pun keinginan saya itu tidak dikabulkan.

ebenezersiadari: Saya membayangkan pasti banyak juga hal yang Om pikirkan, terutama mengenai keluarga. Pendidikan anak-anak Om, misalnya. Apakah mungkin mereka dididik di sekolah yang Om dirikan di Simalungun? Saya duga akan banyak hambatan psikologis.

agustheis1903
: Ya, itu jadi pertimbangan saya. Maka pada tahun 1912, ketika Ernst berumur tujuh tahun dan Paul enam tahun, saya memberanikan diri mengirimkan mereka pulang ke Belanda untuk sekolah di sana. Saya kira mereka perlu mendapat pendidikan yang baik, yang juga pernah diterima oleh ayahnya. Dan usia mereka sudah pas untuk itu. Saya sendiri merasa berat berpisah dengan mereka. Tetapi menurut saya itu lah pilihan terbaik.

ebenezersiadari: Saya kira, saya pun akan berbuat serupa seandainya saya jadi Om kala itu.

agustheis1903
: Ya. Itu saya kira adalah pertimbangan yang sangat manusiawi. By the way, bolehkah kita sudahi perbincangan ini? Saya agak lelah.

ebenezersiadari: Masih bolehkah saya meminta waktu Om besok, di jam yang sama?

agustheis1903:
Tidak ada masalah. Sampai jumpa besok, Eben. Di jam yang sama. Ada hal spesifik yang sudah Eben pikirkan untuk ditanyakan?

ebenezersiadari: Tidak Om. Saya masih ingin menggali apa saja yang Om lakukan selama di Simalungun.

agustheis1903:
Baik. Sampai besok.

2 Comments:

Blogger Unknown said...

Horas Lawei...
Saya membaca buka 100thn yang ditulis oleh Pdt.Juandaha Raya P.Dasuha dan Pdt.Martin L. Sinaga yaitu yang berjudul : “TOLE! DEN TIMORLANDEN DAS EVANGELIUM”,di situ dikatakan bahwa penginjilan yang dilakukan oleh August Theis tsb tidak sukses sebenarnya karena dilakukan dgn menggunakan Bahasa Toba sehingga membuat masyarakat Simalungun menjadi merasa direndahkan,andai jika August Theis mau mengalah dan mempelajari bahasa Simalungun maka tentu aja bisa lebih banyak lagi orang yang ia babtis..namun mmg gimana pun August Theis sudah cukup berjasa dalam penginjilan di Simalungun bahkan istrinya juga yang wafat ketika melahirkan dikuburkan di Simalungun..

Diatei Tupa Ma

5:13 PM  
Blogger Batakbegu said...

Horas, inang tua nama Johanna Damanik, dia anak Si Tua Musa Damanik dari Pematang Raya. Kita tinggal di negeri Belanda. Oppung ( suami inang tua Johanna ), nama Otto Schadt, dulu dia Direkteur penjara Pematang Siantar dan Medan.
Horas.

5:49 AM  

Post a Comment

<< Home