My Simalungun Idols

My Simalungun Idols adalah bagian dari blog THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG (http://sarimatondang.blogspot.com). My Simalungun Idols berisi refleksi tentang sejumlah tokoh Simalungun atau mereka yang berjasa kepada Simalungun.

My Photo
Name:
Location: jakarta, Indonesia

suami yang kampungan di mata istrinya, ayah yang sering disandera putrinya untuk mendongeng.

Thursday

Martin Sinaga: Si Manusia Pasca (2)



Mengapa saya menyebut MLS sebagai manusia pasca?

Awalnya mungkin karena alasan yang sangat subjektif. Barangkali karena rasa minder saya akan latarbelakang pribadi saya, yang dalam beberapa hal, kerap dia bela. Sebagai orang yang berdarah campuran Toba dan Simalungun, dalam hati kecil saya selalu ingin diakui sebagai orang Simalungun. Pengalaman saya 'Marsimalungun,' istilah untuk menggambarkan proses 'menjadi dan sebagai orang Simalungun' karena dibesarkan oleh seorang Ibu yang Simalungun, lingkungan gereja yang Simalungun dan sedikit banyak lingkungan domisili di Sarimatondang yang masih diwarnai Simalungun, saya anggap terlalu berharga untuk saya tanggalkan begitu saja.

Tetapi rupanya itu tidak gampang. Siadari di belakang nama saya sudah jelas-jelas menunjukkan saya bukan Simalungun. Bahasa saya, adat istiadat saya, jelas-jelas bukan Simalungun dan itu beban yang berat untuk mendesak-desakkan diri saya menjadi orang Simalungun.

Pada suatu hari, dalam sebuah perdebatan tentang siapa sesungguhnya yang layak disebut orang Simalungun itu di milis tempat saya sering berdiskusi, saya merasa terdesak dan sedih karena akhirnya saya terpaksa menyadari saya mungkin hanya di lapis keempat dalam strata organisasi, bila Simalungun dianalogikan sebagai organisasi. Kadar Simalungun saya berada di tingkat simpatisan, yang selalu mengingatkan status saya ketika bergereja di sebuah gereja di Bandung tempo hari. Boleh ikut kebaktian, tapi tetap tidak terdaftar. Tidak punya hak suara.

Sampai saya pulang dari kantor dan tiba di rumah malam hari, saya tak bisa menyembunyikan rasa sedih saya. Sampai istri saya di rumah bertanya, kok saya begitu jengkelnya tak diakui sebagai Simalungun. Istri saya yang orang JAwa itu bahkan secara bersenda gurau berkata, ia beruntung jadi orang Jawa yang diperistri oleh saya dan dimargakan jadi Damanik. Karena dengan begitu ia telah otomatis menjadi orang Simalungun.

Keesokan harinya, di tengah kesedihan itu, saya mencoba mengirimkan SMS kepada MLS semacam curhat. Dan saya mengatakan saya sudah lelah berusaha menjadi orang Simalungun. Saya katakan juga saya bingung melihat begitu berlapisnya strata orang Simalungun dalam hemat sejumlah orang Simalungun. MLS membalasnya dengan SMS pula, yang dugaan saya dimaksudkan untuk menghibur. Tapi harus jujur saya akui, saya jadi merasa digugah, disemangati lagi untuk berjuang menjadi Simalungun. "Tapi Eben belum putus asa, bukan?" begitu bunyi SMSnya.

Lalu dalam hati saya kemudian bersorak-sorai, ketika suatu ketika ia mengirimkan komentar di milis itu, yang bukan saja menghibur tetapi memberikan pencerahan kepada saya.

Kepada Eben, Kepada kita: Generasi Pasca-Simalungun
Salam,
mungkin tulisan saya ini tidak langsung masuk (tapi
juga tidak harus menjadi 'galir") ke isu pemekaran
Simalungun; tetapi lebih sebagai pengalaman "kita"
marsimalungun, yang tampaknya tidak bisa lari dari
Toba. Namun Eben misalnya punya istri boru Jawa, saya
sendiri ibu saya Cina-peranakan, dan istri saya br
PurbaPakpak dengan ibunya orang Dayak NGaju.

Rupanya
bukan hanya Toba persoalan kita.
Pernah kami bicara dengan Salomo Simanungkalit
(wartwan senior kompas), Jansen Sinamo, Pdt Jan
Artonang, tampaknya kesimpulannya ialah: tidak bisa
lagi kita memurnikan diri menjadi "asli Simalungun
atau asli Toba"; dan tidak ada gunanya kita kembali ke
situ. Kita adalah generasi pasca-Simalungun,
pasca-Toba.

Mengapa tidak perlu kembali murni? Karena selain tidak
ada yang murni di belakang kita, juga menurut saya
Simalungun per se tidak memadai untuk hidup masa kini.
Dulu cukup dengan marga Sinaga, saya sudah akan hidup
"terjamin". Artinya marga berarti tanah, berarti
punya boru, punya Tondong, dst. Marga adalah titik
jaminan ekonomis tradisional. Kini dengan mengaku
Sinaga dan Simalungun, jawaban orang ialah: "so what
gitu lho...".

Jadi saya harus melampaui kesimalungunan
itu (pasca-Simalungun, seperti pasca-sarjana, tetap
sarjana tetapi punya daya melampauai atas-batas
sarjana). Kesimalungunan juga tidak memadai untuk
bertahan hidup-- malah nenek moyang kita sadar betul
itu, makanya mereka belajar dari FEODALISME Melayu
(rupanya harus pula dibuang pelajaran menjadi feodal
itu, namun sayang kita dipaksa membuangnya/revolusi
sosial 1946an). Ompung kita juga BELAJAR dari orang
Toba mengelola wet-rice (padisawah), yang rupanya
lebih berproduksi massal. Mungkin kita perlu beljar
sekarang dengan orang Karo (GBKP), yang mempunya BPR
beromzet Rp16 miliar (duh GKPS, where are you?). Kita
perlu belajar mengembangkan hidup tekun, ekonomis dan
entrepenurship orang Karo-- dan membuang jauh-jauh
mimpi jadi pegawai Kabupaten yang akan dimekarkan itu.
Dengan belajar kita berubah, dan melampauai warisan
nenek moyang kita.

(cut)

Jadi isu kita sekarang ialah: ke Karo. Bagaimanana
ekonomi gerejawi mereka bergairah, dan sudah mengelola
banyak produk-produk kesejahteraan masyarakat. Pernah
di Karo, sebelum kebaktian, mereka mediskusikan
komoditi sayur di Singapur! Bayangkan. Saya melakukan
studi yang intens ttg teologi kontekstual di KAro (dan
malah lebih sering marminggu ke GBKP akhir-akhir ini).
dan tampaknya mereka adalah orang Belanda di tanah
Batak. Gereja KAro selalu mendoakan apa yang
berlangsung konkret, dan merinci apa-apa yang harus
dikerjakan selanjutnya. Kalau ke Toba, percakapan
menjadi politis, lebih baik ke Karo, agar Simalungun
tidak jatuh miskin lebih dalam lagi.



Maaf kepada Anda yang bukan orang Batak yang mungkin tidak akrab dengan konteks perdebatan itu. Komentar ini mungkin akan membingungkan. Tetap intinya, yang saya tangkap, MLS ingin mengatakan agar jangan mau diperangkap oleh keinginan untuk memurnikan identitas diri. Sebab di masa depan identitas itu tidak cukup sebab yang dituntut oleh zaman adalah kapasitas untuk berbuat. Dan, itulah yang menurut Martin manusia pasca. Manusia pasca Simalungun. Manusia pasca Toba. Manusia pasca suku apa pun. Manusia pasca Indonesia. Apalagi, menurut dia, di belakang kita, memang tidak ada yang murni.

Bukan berarti Martin alergi pada pencarian tentang kemurnian identitas itu. Ia sendiri sangat aktif dan paham bagaimana latarbelakang sejarah Simalungun. Bahkan ia termasuk orang yang ingin, agar sebelum ada rekonsiliasi atas kemungkinan adanya 'konflik antasuku' di masa lalu, diperlukan semacam pembeberan sejarah. Yang pahit. Yang traumatik. Dan setelah itu baru ada rekonsiliasi.

Tapi yang tampaknya ingin ia katakan adalah pembeberan sejarah itu jangan dengan semangat pencarian 'kambing hitam.' Bukan dengan dengan keinginan untuk memuja masa lalu yang terang benderang dengan menunjuk sisi kelam pada bagian yang lain. Melainkan pembeberan sejarah yang menggugah, menjadikannya pelajaran sekaligus mendudukkan komplesitas masa lalu yang tidak serba hitam-putih.

Saya bertanya dalam hati, darimana kah ia mendapat pemikiran yang demikian itu? Apakah latarbelakang dirinya, yang lahir dari sebuah keluarga campuran, ayah Simalungun dan ibu peranakan Tionghoa, yang menyebabkannya demikian? Saya benar-benar tidak bisa menduga-duga. Tapi sebuah komentarnya dalam dialog dengan salah seorang peserta milis itu, bernama Alfared Damanik, Martin menulis begini:

Ibu saya -inang Debora Sinaga, seorang pembimbing umum Sek Minggu dan Wanita GKPS- sejak tahun 1968 sampai 1986 keluar masuk Simalungun -dan saya kerap kali ikut- dan memperkenalkan kesetaraan jender dan martabat anak Sekolah Minggu, dan terkadang sambil kelelahan dia mengatakan, "aku nggak ngerti orang Simalungun ini...". Menurut saya itu indikator, betapa menjadi begitu kompleksnya psikologi sosial Simalungun, mungkin campuran ketertutupan dan sedikit rasa rendah diri. Sehingga, memang mesti ada gerakan memintal tali temali Simaluungun lagi, membangun harga diri, membangun -istilah Alfared- social value. Yang saya tidak setuju ialah kita melakukan pengkambinghitaman atas orang Toba. Saya sering sekali diundang berkotbah dan berceramah di HKBP jalan Jambu-Menteng (dan HKBPlainnya), dan mereka mengatakan, ini jemaat intelek pandita, jadi jangan segan-segan berteologia. Toba bagi saya adalah simbol intelektualitas, walau kadang nekad dan tergesa-gesa, sehingga kita yang secara psikologis belum siap, merasa tergerus. Saat anak keluarga SAE Nababan manaksihon/malua, diundanglah semua kerabat, dan acara khususnya ialah mengundang prof Pantur Silaban dari ITB untuk menceritakan fisika modern! (gila... anak baru mengaku percaya, langsung diberondong teori chaos dan sistem fraktal; dan hati saya menerawang tak tentu arah mendengar cerita itu). Kalau kita melihat Toba seperti ini, tentu tidak perlu lagi mengkambinghitamkan Toba. Tentu sejarah bahwa Toba (dalam hal ini, HKBP) pernah membungkam Simalungun, itu sudah dikoreksi, tahun 1963 itu. So, tali-temali Simalungun memang kta harus rajut lagi, demi social value, mungkin dengan keliman enterpreneurship Karo, agar tampak survive di era yang serba ekonomis ini.

horasma, martin sinaga


Apakah kelelahan yang dialami sang Ibu, meresap dalam kedirian seorang MLS sehingga ia memutuskan akan menjadi manusia pasca, manusia pasca Simalungun, bahkan kelak, seperti yang akan kita lihat dalam kiprahnya dalam dialog antaragama, ia juga menjadi manusia pascanasrani?

Jawaban dari pertanyaan itu mungkin tak akan berhenti dalam satu titik. Bahkan jawabannya mungkin tidak akan pernah selesai. MLS tak jemu dan tak henti melakukan pencariannya sehingga ia tak mungkin menjadi manusia dalam satu kandang. Ia mencari terus, untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan baru. Pencerahan baru.Bukan hanya untuk dirinya tetapi demi untuk orang lain. Mungkin jemaatnya, jika ia kita tempatkan sebagai pendeta. Tetapi mungkin juga untuk manusia dan kemanusiaan, jika ia kita tempatkan sebagai intelektual.

Saya akan terlalu sombong, dan kemudian akan kelihatan dungu bila berpretensi untuk menjelaskan MLS dengan aneka kerangka berpikir. Sehebat apakah diri saya sehingga saya bisa memenjarakan dia dalam satu gambaran yang kaku? Lebih bodoh lagi bila saya mengatakan saya sepemikiran dengan dia. Sebab seringkali saya juga menduga ia tidak sepaham dengan saya. Lebih tepatnya, saya tak bisa mengikuti dan memahami pikiran-pikirannya. Dengan pengetahuan saya yang sangat terbatas, tentang teologi, tentang sejarah Simalungun, tentang ilmu perubahan sosial, tentang ilmu agama-agama, saya tak kan mampu bahkan untuk sekadar mencerna sejumlah istilah yang ia kemukakan. Seperti seorang pengikut yang sangat tertatih-tatih. Ketinggalan kereta. Kalah cepat dan kalah kapasitas.

Yang mungkin dapat saya katakan adalah saya akan banyak belajar dari dia. Belajar bagaimana menjadi manusia pasca. Jangan lagi terpaku untuk mendesak-desakkan diri untuk menjadi orang Simalungun. Tapi jadilah orang yang pasca Simalungun. Pasca Indonesia. Bahkan menjadi Pasca Nasrani.

Manusia Pasca Nasrani?

(Bersambung ke bagian 3)

(C) Eben Ezer Siadari

Catatan: Sebagian besar sumber tulisan ini dari sumber-sumber sekunder di internet, termasuk dari milis barita-simalungun@yahoogroups.com yang di own-moderated oleh JRS

Foto: Suara Pembaruan

0 Comments:

Post a Comment

<< Home