My Simalungun Idols

My Simalungun Idols adalah bagian dari blog THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG (http://sarimatondang.blogspot.com). My Simalungun Idols berisi refleksi tentang sejumlah tokoh Simalungun atau mereka yang berjasa kepada Simalungun.

My Photo
Name:
Location: jakarta, Indonesia

suami yang kampungan di mata istrinya, ayah yang sering disandera putrinya untuk mendongeng.

Thursday

Martin Sinaga: Si Manusia Pasca (4)



Seandainya jarum jam tidak menunjukkan bahwa malam telah larut, barangkali saya masih akan menulis lebih panjang lagi tentang MLS, seorang tokoh, seorang teolog dan seseorang yang di masa depan, saya yakin, masih akan banyak berbuat untuk negeri ini. Yang membuat orang Simalungun bangga bahwa MLS pernah dilahirkan sebagai orang Simalungun.

Saya tahu, mungkin akan banyak yang bertanya buat apa menulis tentang MLS, seseorang yang tidak perlu ditulis berpanjang-panjang karena pikiran-pikirannya sendiri sudah memperkenalkan dirinya sendiri. Dan itu betul.

Tetapi untuk menghibur diri sendiri, dan karena itu mohon diterimalah tulisan ini sebagai sebuah upaya saya untuk menulis sambil mendalami dan meresapkan lagi apa yang pernah dan telah ia pikirkan. Semacam kebiasaan yang kita lakukan dulu di masa Sekolah Menengah atau di tingkat awal kuliah. Kita diharuskan mencatat kembali pelajaran Sekolah. Meringkas dua atau tiga bab dari sejumlah buku yang berbeda. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk diri kita sendiri. Karena ketika mencatat, kita juga meresapkan apa yang kita catat.

Dan saya ingin mengakhiri tulisan ini, tentang MLS Si Manusia Pasca, dengan mengetengahkan sebuah wawancara dengan majalah Pantau, yang dalam hemat saya mengukuhkan kepascaan dirinya. Wawancara ini telah menyebar kemana-mana sehingga setiap kali kita mengetik nama Martin Lukito Sinaga di mesin pencari Google atau Yahoo, wawancara ini akan selalu muncul. Bahkan dalam beberapa hal, sering kali secara sepotong-potong digunakan orang justru untuk mendiskreditkan dirinya dan pikirannya, untuk selanjutnya mendiskreditkan orang nasrani sendiri.


Pdt. Dr. Martin Sinaga: “Kristenisasi Bukan Ilusi” K

ristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama.

“Banyak orang Kristen yang justru mendangkalkan Injil. Mereka memperlakukan Injil sebagai sepotong kata yang bisa dipakai sebagai ajian simsalabim,” demikian otokritik Pdt. Dr. Martin Sinaga, dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.

Tentu saja, kritiknya ini relevan untuk kaum muslimin yang acapkali melakukan generalisasi bahwa orang Kristen adalah monolitik dalam bersikap. Pdt. Martin yang juga aktivis Masyarakat Dialog Antar-agama (MADIA) ini juga mengulas sisik melik teologi agama-agama yang membuka peluang bagi umat beragama untuk saling menghampiri dalam sukacita, hikmah, kerelaan dan harapan.

Berikut ini petikan wawancara Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pdt. Dr. Martin Sinaga yang juga aktif di International Conference for Relegion and Peace (ICRP). Penyunting buku Meretas Jalan Teologi Agama-agama ini berdialog seputar tema “Teologi Agama-agama” di Radio 68H pada hari Kamis, 16 Mei 2002.

Apa yang dimaksud teologi agama-agama?


Teologi agama-agama tergolong istilah baru dalam bahasa resminya, theologia religionum. Secara sederhana dapat diartikan —misalnya— cara saya merumuskan keimanan di hadapan saudara-saudara lain yang berbeda keimanan dengan saya.

Jadi lebih bersifat interaksi antarpersonal?

Ya. Justru karena saya melihat kebenaran lain pada lain agama, saya ingin membaca dan menghayati ulang kebenaran agama saya, walaupun berbeda dengan agama lain.

Apa yang membedakannya dengan doktrin Kristen sebelumnya?

Sebelumnya doktrin Kristen tumbuh ketika dia harus keluar dari agama Yahudi. Sehingga dalam doktrin awalnya dikatakan bahwa agama Yahudi tidak tahu kalau sebenarnya ada keselamatan dalam Kristus. Lalu doktrin Kristen berkembang dan berinteraksi dengan Filsafat Yunani. Lantas, orang Kristen mengatakan:
“Soalnya tidak semata soal jiwa, tapi juga menyangkut tubuh.” Karena itu, Kristus harus mati dalam tubuhnya.

Dalam perkembangan mutakhir, doktrin tersebut dirumuskan dalam rangka pencerahan modern, dimana orang Kristen semakin mengalami kesulitan dalam pencerahan. Muncul kemudian kritik, apakah agama itu masih meyakinkan? Orang Kristen lantas mati-matian membela dan membuktikan masih relevannya keberimanan.

Tetapi sekarang muncul tantangan baru, ketika kekristenan muncul ke seluruh bumi dan para penginjil dikirim ke semua tempat. Memang, ada momen di mana orang menjadi Kristen, tapi juga ada momen, orang-orang tetap tidak Kristen. Seorang pengabar Injil besar bernama Henry Kraemer, pendiri Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta sampai harus membuka topinya ketika dia melakukan misinya di daerah pasundan. Lalu berkata:
“Islam is the crown of Sunda.” Ternyata, mahkota orang Sunda itu Islam.

Kalau begitu, tentu harus muncul refleksi baru yang tidak hanya mengatakan agama menjadi kebenaran untukmu yang menjamin dan menyelamatkanmu. Tetapi, formulasi berubah: “Kalau memang kalian bisa hidup lebih baik, sungguh-sungguh benar tanpa menjadi Kristen, maka telah tiba saatnya, di mana kita berdialog dan bertemu tanpa pretensi untuk mengkristenkan.”

Bagaimana dampak paham ini terhadap konsep pengabaran Injil? Kenyataannya, aktivitas kristenisasi riil dilihat umat Islam. Bukankah teologi agama-agama bisa menghalangi pengabaran Injil?

Tepat sekali. Tetapi sedikit ada nuansa yang berbeda di situ. Pada tahun 1967-an, pemerintah mempertemukan M. Natsir dan TB. Simatupang untuk meneken surat agar umat yang telah beragama tidak menjadi objek pengabaran Injil. Hanya yang belum beragama sajalah yang dikabarkan Injil. Tapi, Simatupang mengatakan: “Lho, pengabaran Injil kan semangat terdalam kekristenan. Kalaupun diteken, nantinya di lapangan bisa berjalan lain.”

Tapi sekarang berbeda. Menurut saya, pengabaran Injil yang dilakukan dengan semangat teologi agama-agama, tidak lagi menemui seseorang dengan agenda menjadikannya Kristen; tidak lagi dengan agenda yang menganggap agama di luar Kristen tidak baik dan benar. Agendanya adalah: “Bolehkah saya dengan keyakinan Kristiani bersama Anda-anda —yang meyakini Islam dan mengundang saya ke sini dengan konsep dakwahnya— berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan yang seolah tidak ada harapan dan senantiasa bersama kekerasan ini?” Bisakah dengan basis agama masing-masing kita mengabarkan kekuatan agama dan berbagi harapan di tengah kehidupan yang konkret? Jadi, di situ makna misi akhirnya.

Di kalangan umat Islam, ada kekhawatiran akan misi penginjilan dengan kekuatan finansial yang kuat, serta sampai menjamah ke daerah-daerah terpencil. Bagaimana tanggapan Anda?

Betul, kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama. Jangan sampai mereka mendangkalkan Injil, seolah-olah Injil adalah sekadar menerima Kristus; Kristus adalah juru selamat, lalu selesai. Akibatnya, yang muncul adalah kesan seolah-olah itulah sebenarnya pesan Kristen.

Padahal, lebih luas dari itu adalah bagaimana menciptakan tatanan bersama, untuk menjadikan hidup lebih baik dan benar. Jadi ini juga tugas pertama intern orang Kristen.

Saya pernah mengatakan kepada salah satu tokoh Yayasan Paramadina bahwa dalam Islam terkandung anjuran sifat sabar untuk menghadapi orang-orang yang agresif itu. Dalam Islam juga terkandung kewaskitaan untuk lebih mempercanggih diri dan menghadapi permasalahan substansial, semisal anak-anak kecil yang kurang memahami makna hidup, sehingga terkesan sloganistis saja. Saya kira, kalau kita melakukan ini bersama-sama, maka barangkali dakwah Islam dan pengabaran Injil atau misi, dapat bersama berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan di negeri ini.

Tadi Anda bilang jangan sampai mendangkalkan Injil. Apakah memang ada orang Kristen yang mendangkalkan kitab sucinya?

Memang ada orang yang mendangkalkan Injil, terutama orang Kristen yang menganggap Injil hanyalah sepotong kata. Artinya, kalau sudah menerima Kristus, selesailah semua. Seolah-olah, kekristenan adalah ajian simsalabim, lalu masuk surga dan seterusnya. Ini yang sering dijajakan secara eceran di jalan-jalan. Padahal, Injil atau semangat Kristen selalu berproses dan menyejarah. Seperti agama lain, tidak bisa dikatakan always coca-cola. Menurut saya, ada perubahan dalam konsep teologi agama-agama mengenai sikap Kristen terhadap Islam. Dulu ada sikap ingin mengkristenkan orang Islam. Tapi sekarang ada perubahan, karena orang belajar. Karena ada kebijaksanaan dan kebesaran hati umat Islam. Jadi karena umat Islam bermurah hati menerima kekristenan, dengan begitu kekristenan mesti menganggap sebagai sahabat, sesama. Bahkan sekarang, menurut saya orang Kristen perlu menganggap umat Islam sebagai kakaknya di negeri ini.

Kembali ke persoalan kristenisasi tadi, ada penilaian bahwa aktivitas kristenisasi ini ditunjang oleh dana berlimpah. Menurut Anda bagaimana?

Saya tidak mau terlalu membela kekristenan. Saya ingin memaparkan sejarah misionari secara objektif. Betul, misionari itu dibebani oleh kolonialisme yang dulu didukung oleh Belanda. Namun dalam kenyataannya, kristenisasi tersebut tidaklah berhasil. Beban lain, terutama dari Amerika Serikat, adalah kenyataan mereka punya media dan uang untuk melancarkan misionari.

Menurut saya, orang Kristen memang harus keluar dari pendekatan lama ini. Dan, orang Kristen tetap harus mewujudkan misinya dalam artian kesediaan mewujudkan harapannya bersama harapan mereka yang beragama Islam melalui kriteria ketiga dakwah Islam (hikmah, nasihat baik atau mau’idhoh hasanah, dan berdiskusi secara sehat). Saya kira, mari kita menunggu orang Kristen berubah. Saya kira, kawan-kawan Muslim ikut membantu mereka berubah sebagaimana saya juga mengajak perubahan itu terjadi dari dalam.

Apakah ada batasan-batasan dalam pengabaran Injil itu?

Sebenarnya, konsep dasarnya tidak terkait dengan keberubahan agama. Konsep dasarnya lebih terkait dengan cinta-kasih yang dialami Kristus seraya hendak dirayakan oleh siapa pun, dan dimana pun. Seringkali kita terjebak dengan asumsi: “Kalau begitu, harus pindah agama dan bikin gereja, dong?” Menurut saya, ekses itu harus tegas dihindari. Sekarang, semua agama boleh membagi-bagi sukacita, harapan, perspektif, bahkan hikmah.

Kemudian, bagaimana sebenarnya perubahan dari Katolik ke Protestan, sehingga menimbulkan pertanyaan soal konsistensi akidah. “Kok, akidah terkesan tidak serius, sampai berubah-ubah?” Hal ini menyangkut sejarah Kristen yang ribuan tahun. Menurut saya, Martin Luther sedikit memberikan penekanan pada sikap beriman sebagai yang menentukan dalam masalah akidah. Di Katolik, dulu agak dibebani oleh Paus atau tradisi.

Sehingga, Luther melihat perlu ada penekanan yang lain.

Pak Martin, banyak yang salah memahami konsep Trinitas untuk kalangan non-Kristen. Sebenarnya konsep Tuhan dalam Kristen itu seperti apa?

Saya berdoa selalu kepada Allah. Dalam Kristen, ada kata Tuhan. Sebetulnya, dalam kamus dengan gampang dikatakan, bahwa Allah adalah nama Tuhan. Jadi Tuhan itu generiknya. Dalam Kristen memang ada tendensi menyebut Yesus/Kristus sebagai Tuhan. Dan menurut Lemisiladi, dulu orang Indonesia tidak punya kata Tuhan, tapi ada kata “tuan.” Lantas orang Kristen penerjemah Kitab berkata: bagaimana cara menghubungkan Yesus yang (katakanlah) punya kadar keilahian. Akhirnya, muncul ide untuk memakai “h” di tengah menjadi “Tu(h)an.”

Tapi yang hendak saya katakan, orang Kristen pun memuja Allah. Dan Tuhan di arahkan kepada Kristus.

Kenapa? Karena dalam Kristus, Allah juga menampakkan dirinya. Begitu kira-kira. Last but not least, saya kira, agama itu seperti bahasa. Masing-masing bahasa berdiri sebagai kesatuan organik. Tetapi, ketika mereka berjumpa, terjadi pengayaan (enrichment) timbal balik.

Misalnya, sebagai orang Kristen, saya merasa diperkaya oleh semangat Tauhid Islam.

Walaupun saya tetap menjalankan kekristenan saya, tapi Tauhid itu membantu untuk melihat makna keilahian sendiri. Jadi memang ada perjumpaan, meskipun harus perlu diakui adanya keberbedaan. (majalah Pantau)



Membaca wawancara ini saya membayangkan, bagaimana seandainya MLS menapak tilas lagi pelajaran-pelajaran yang ia terima dulu ketika masih di Sekolah Minggu? Bagaimana ia menempatkan pikiran-pikirannya sekarang dengan keyakinan-keyakinan yang dulu sempat ia peroleh? Apakah ia akan menilai dirinya sebagai seseorang yang sudah tercerabut kemudian menjelma jadi sosok yang lain?

Dugaan saya tidak. Sebab dalam hemat dia, ketika ia menjelaskan defenisinya sendiri tentang manusia Pasca Simalungun, manusia Simalungun yang pasca adalah orang Simalungun yang tetap Simalungun tetapi go beyond Simalungun. Sama halnya dengan seseorang yang lulus dari pasca sarjana, seseorang yang tetap sarjana tetapi sudah melampaui kesarjanaannya. Begitu pula lah ia sebagai manusia pasca nasrani, manusia yang tetap nasrani, yang tetap berjalan dengan bekal pelajaran Sekolah Minggu dulu, tetapi terus berjalan beyond kenasranian itu. Nasrani yang tercerahkan dan terus ingin mendapat pencerahan.

Terimakasih Bung MLS. Izinkan saya menyapa Anda Bung, untuk mengingatkan bahwa ternyata saya mungkin lebih tua dari Anda. Yang juga menandakan kesempatan Anda berkarya masih lebih panjang. Dan banyak orang, termasuk saya, akan mencatatnya diam-diam.

© Eben Ezer Siadari

Sebagian besar bahan-bahan ini diambil dari sumber-sumber sekunder di internet, termasuk dari milis barita-simalungun@yahoogroups yang di owner-moderated oleh JRS.

Foto: Suara Pembaruan

0 Comments:

Post a Comment

<< Home