My Simalungun Idols

My Simalungun Idols adalah bagian dari blog THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG (http://sarimatondang.blogspot.com). My Simalungun Idols berisi refleksi tentang sejumlah tokoh Simalungun atau mereka yang berjasa kepada Simalungun.

My Photo
Name:
Location: jakarta, Indonesia

suami yang kampungan di mata istrinya, ayah yang sering disandera putrinya untuk mendongeng.

Sunday

Mansen Purba SH, Sang Guru 2

Keesokan harinya, Caroline menelepon saya dari P. Siantar. Ia bercerita bahwa ketika ia bertemu dengan MP di kota itu, ia kena marah habis-habisan. Rupanya, MP tak bisa menerima tindakan Caroline di milis, yang menurut dia, mempermalukan saya. Caroline dalam telepon itu mengatakan bahwa seharusnya ia tak usah menyebutkan kekeliruan saya itu. Sebab, menurut MP, itu kekeliruan yang wajar. Dugaan saya, MP pula yang mengajurkan Caroline menelepon saya.

Maka saya terharu tetapi tambah malu hati. Caroline yang berada di P.Siantar, dengan pulsa interlokal, sampai menelepon saya hanya untuk mengatakan maaf untuk sesuatu kesalahan yang seharusnya saya yang meminta maaf. Apa yang lebih membuat kita merasa berutang keluhuran daripada hal semacam ini?

Tambah terharu lagi saya ketika keesokan harinya, di saat saya membuka kotak surat-e saya, saya mendapati surat dari MP sendiri yang kembali memberikan penghiburan kepada saya. Dalam suratnya itu, dalam bahasa Simalungun yang menurut saya sudah agak jarang saya temukan kehalusannya, berkata agar saya tak usah berkecil hati oleh kekeliruan sebelumnya. Menurut dia hal itu sangat wajar. 2)

Saya kira sebebal apa pun seseorang, semembatu apa pun hatinya, ia pasti akan tersentuh oleh kesopanan dan keluhuran semacam ini. Saya jadi ingat cerita seorang teman saya ketika di asrama mahasiswa dulu. 3) Sekali waktu ia ditangkap polisi ketika mengendarai motor temannya di sebuah prapatan di dekat Jalan Dago, Bandung, tanpa SIM dan tanpa helm. Pak Polisi yang menangkapnya itu kemudian meminta dia menunjukkan identitasnya. Dan ketika Pak Polisi mengetahui bahwa ia mahasiswa, Pak Polisi itu bukannya lantas mengeluarkan surat tilang -- seperti sering kita temukan di mana-mana --melainkan dengan keramahan seorang Bapak ia menasihati untuk lain kali jangan melanggar aturan lalu-lintas. Kawan saya itu, karena merasa salut dan tak terhingga terimakasihnya, sampai-sampai mengajak sang Pak Polisi mengobrol dan menanyakan alamat rumahnya. Pak Polisi itu dengan senang hati memberinya dan bahkan mengundang agar kapan-kapan datang berkunjung. Beberapa hari kemudian kawan saya itu benar-benar pergi bertamu ke rumah Pak Polisi dan sejak itu mereka bersahabat.

Dalam hati, saya pun menganggap perkenalan saya dengan MP barangkali ada kemiripannya dengan perkenalan yang berakhir dengan happy ending seperti yang dialami oleh kawan saya itu. Saya pun kemudian ingin mengetahui dan berkenalan dengan MP, bahkan ingin bertandang ke rumahnya. Dan karena seingat saya Pak MP berdomisili di P. Siantar (walau pun di kemudian hari saya akhirnya mengetahui beliau sering juga berada di Jakarta, bahkan ternyata ketika saya mempersiapkan tulisan ini beliau sedang berada di Jakarta dan menetap beberapa lama) saya kemudian memutuskan untuk bertandang ke rumahnya yang paling mudah saya kunjungi. Yakni sebuah rumah maya, virtual home, yang ia beri nama, LOPOU NI MANSEN PURBA SH. Diambil dari Bahasa Simalungun, ini kira-kira berarti, balai-balainya Mansen Purba SH. 4) Selain itu, ada pula rumah mayanya yang lain, yakni BARUNG-BARUNG NI MANSEN PURBA SH, yang berarti semacam rumah singgah, yang dapat dijadikan tempat bermalam kala kita dalam perjalanan yang jauh, yang lazim ditemukan dalam perjalanan melewati hutan. 4b Kedua blog ini adalah sebuah blog pribadi, semacam tempatnya membuat dan menyimpan catatan-catatannya tentang kehidupan pribadi, pemikiran-pemikiran dan juga karya pengabdiannya.

Kunjungan ke rumah maya itu benar-benar sebuah kunjungan yang berarti. Sebab rumah maya itu adalah sebuah tempat yang layak dijadikan tempat belajar. Bukan saja belajar tentang bagaimana seorang tokoh seperti MP berjuang untuk Simalungun tetapi juga belajar tentang apa itu Simalungun, sejarahnya, pergumulannya sebagai sebuah etnik dan wilayah, dan juga harapan serta langkah yang telah diambi seorang tokoh seperti MP untuk perjuangan itu. Blog itu tidak terlalu menarik bila dibandingkan dengan blog anak-anak muda zaman sekarang yang penuh warna dengan animasi yang aneh-aneh. Blog itu sangat 'lurus', plain, tapi yang menonjol adalah isinya yang bisa dijadikan tambang bagi pemahaman dan pengetahuan tentang Simalungun.

Dari blog itu lah saya menjadi tahu lebih rinci siapa dan apa saja yang telah dia lakukan untuk dan di Simalungun. Misalnya, saya jadi tahu bahwa MP dilahirkan di Pematang Raya, sebuah kota kecil yang tersohor di Simalungun. Saya jadi tahu bahwa ia kini berusia 69 tahun. Saya jadi tahu pula jika beliau yang lulusan Fakultas Hukum ternyata satu almamater dengan saya di UNPAD, Bandung. Saya jadi tahu bahwa beliau pernah bekerja di almamater saya itu, sebagai pegawai tata-usaha di Fakultas MIPA. Saya bahkan jadi tahu bahwa MP memperistrikan seorang mojang Bandung bernama Tuti Dora Rusnaini, yang kemudian dianugerahi marga Sumbayak. Saya jadi tahu bahwa MP pernah menjadi pengacara di Pemantang Siantar, menjadi dosen di Universitas Simalungun dan menjadi anggota DPRD Propinsi Sumatera Utara selama lebih dari 16 tahun.

Rangkaian kiprah ini dapat diperpanjang lagi dengan berbagai jabatan lain. Semisal posisinya di DPP Golkar Sumatera Utara mau pun di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Juga kiprahnya yang tak kalah banyak di GKPS mulai dari keturutsertaannya mempersiapkan hadirnya GKPS di Bandung lewat HKBPS, menjadi pengantar jemaat pertama gereja itu, menjadi Ketua Umum Pemuda GKPS dan banyak lagi merupakan gambaran diri MP yang sangat lengkap sebagai tokoh Simalungun. Ia pemuka politik, pemuka budaya, pemuka masyarakat dan ya, pemuka gereja.

Rangkaian aktivitas ini, menurut saya, tak lagi bisa membuat ragu siapa pun, terutama orang Simalungun, untuk mengakui bahwa ia adalah salah seorang putra terbaik Simalungun. Apalagi belakangan saya juga tahu, perjalanan hidupnya adalah cerita sebagaimana banyak kita temukan pada orang-orang ulet dari pelosok. Meniti karier dan pengalaman dari bawah. Ikut aktif dalam banyak hal. Dan ditengah Jakarta yang banyak godaannya, ia tetap peduli pada Simalungun, merasa sebagai orang Simalungun dan bekerja, antara lain untuk Simalungun. Termasuk dengan bergabung dengan perkumpulan orang Simalungun SAUHUR dan ikut menjadi personil Orkes Parlajang, yang dalam bahasa Indonesia berarti Perantau. (Pak MP sendiri, ketika saya menulis tulisan ini, sudah memulai menulis bagian dari biografinya dalam Bahasa Simalungun. Lebih lengkapnya tentang perjalanan hidupnya dapat dilihat di sana).

Namun bagi saya yang masih agak hijau tentang peta politik dan budaya Simalungun, dan agak jarang berhubungan dengan tokoh dari kalangan elit Simalungun, yang paling menarik dari beliau bukan sekadar pencapaian-pencapaian yang tidak biasa itu. Setelah perkenalan yang aneh itu, saya justru merasa makin diundang untuk ingin tahu lebih jauh karena sentuhan personalnya yang saya alami sendiri ketika berkomunikasi dengan beliau (padahal saya fisik, kami belum pernah bertemu). Dan yang paling utama, menurut saya, adalah pelajaran dari pemikiran-pemikirannya yang tak dapat tidak, harus diakui menunjukkan dirinya sebagai orang Simalungun sejati, seorang Simalungun yang dalam kata-katanya sendiri, tidak rela Simalungun dihinakan demi dan untuk alasan apa pun. 5)

MP mengatakan dalam sebuah diskusi di milis:

"Saya tidak suka budaya adat dihinakan, walau ada (dilihat de fakto, kata MLS Sinaga {Dr.Martin Sinaga, STh}) sebagian orang Simalungun yang tak beradat. Manusia ingin baik, tertib dan sejahtera. Tetapi juga memiliki kecenderungan yang tidak tertib, bawaan lahir. Oleh karena itu jika ada Kristen yang perikehidupannya tidak seperti Kristen, bukan Alkitab yang harus disalahkan, tetapi orangnya (atau pengajaran Kristen yang diterimanya). Sama halnya, jika ada orang Simalungun yang tidak beradat, bukan adat Simalungun yang salah, tetapi orangnya.Yang ingin saya sampaikan adalah hendaknya adat Simalungun dihayati dan diamalkan masyarakat Simalungun…..."

Di bagian lain, yang menurut saya membuka cakrawala baru bagi saya sebagai seorang kristen, yang modal awalnya iman kristianinya ditempa sejak kecil di gereja orang Simalungun, yakni GKPS, MP mengatakan begini:

" Hendaknya Simalungun menjadi Kristen sekaligus berbudaya adat Simalungun. Seandainya muncul pertanyaan apakah harus Kristen dan Adat Simalungun
dijadikan seperangkatan? Jawabnya: agar Simalungun tetap eksis."


Semua pikiran-pikiran ini, yang sekali lagi, bagi saya yang masih hijau dalam soal lalu-lintas ide tentang Simalungun, seperti musik yang indah dan menggugah. Ia memberikan pengertian-pengertian baru dan mungkin prinsip-prinsip baru dalam memahami Simalungun.

Barangkali saya dapat dinilai terlalu mengagungkan, atau terlalu membual perihal pemikiran-pemikiran MP ini. Saya juga sempat terpikir tentang hal itu di tengah perjalanan tulisan ini. Saya sempat bertanya dalam hati, jangan-jangan pikiran-pikiran seperti ini sebenarnya sudah klasik, sudah dikumandangkan sejak dulu oleh dan di kalangan Simalungun. Jangan-jangan tulisan ini hanya sebuah kekaguman sesaat dari seseorang yang baru kenal MP dalam beberapa hari.

Tapi ingatan saya tentang pengalaman-pengalaman ketika kemudian berkomunikasi lewat surat-e dan berkirim pesan melalui SMS dengan beliau, ditambah dengan pendapat orang-orang lain tentang beliau, cukup meyakinkan saya untuk mengatakan MP adalah seorang Simalungun Sejati. Dan yang saya suka dari hal itu, kesejatiannya tidak dilakukan dengan sifat chauvinist yang kelihatannya makin bangkit pula diantara orang Simalungun dewasa ini. Yang saya syukuri dan membuat saya merasa nyaman adalah ia menunjukkan jatidirinya sebagai Simalungun dengan mengambil pendekatan pembelajaran.

Yang saya maksud dengan pembelajaran itu adalah, dalam ia menjelaskan kesejatiannya sebagai orang Simalungun, sekaligus juga ia memberi pemahaman apa arti menjadi orang Simalungun, apa arti seorang Simalungun sejati. Dan dalam aneka keterangannya tentang itu saya akhirnya jadi paham, menjadi Simalungun bukan hanya hak, bukan hanya titisan darah dan bukan pula hanya domisili. Ia justru mengetengahkan hal yang lain, bahwa menjadi Simalungun berarti juga mengandung arti adanya kewajiban, keteladanan dan juga kerendahan hati. Kerendahan hati untuk tidak hanya melihat Simalungun sebagai suku bangsa yang selalu kalah, tetapi kerendahan hati untuk selalu optimistis bahwa Simalungun yang kerap direndahkan dan dihinakan oleh orang Simalungun sendiri, telah membuktikan dirinya eksis berabad-abad, walau pun sejarah mencatat aneka tekanan pernah menerpa suku bangsa ini.

Hal ini penting karena semakin saya banyak bergaul dengan orang Simalungun, saya makin menyadari bahwa 'menjadi' orang Simalungun itu adalah perdebatan yang jadi klasik di kalangan Simalungun, dan tiap orang mempunyai pemahaman sendiri tentang Simalungun sejati itu. Jika hanya menilik jalur keturunan saja, misalnya, sangat mungkin kita akan menemukan orang yang setengah Simalungun, seperempat Simalungun bahkan orang yang ‘mengaku-ngaku’ Simalungun. Ini wajar terjadi karena wilayah Simalungun sudah cukup lama menjadi incaran kaum pendatang yang kemudian kawin-mawin dengan orang Simalungun. Pengaruh-mempengaruhi budaya agaknya ikut memunculkan pertanyaan tentang kesejatian sebagai orang Simalungun itu.

Dan, di tengah aneka penafsiran dan pendapat, maka sangat wajar jika orang akhirnya bertanya apakah memang benar ada yang dinamai Simalungun sejati itu? Dan jika ada, dari hal apakah kita melihat kesejatiannya?

Saya kira pada titik inilah saya mendapat pemahaman yang agak mendalam. Dengan sedikit demi sedikit belajar dari MP, setelah melalui perkenalan yang aneh dan memalukan, menjadikan kami lebih intens berkomunikasi. Dan anehnya, aneka pelajaran yang saya anggap mendalam itu dapat saya peroleh hanya dengan membaca tulisannya, membaca surat-e nya, menerima SMSnya, mendebat apa yang dia pikirkan, dan sedikit banyak, dari canda yang ia sampaikan. Walau kami samasekali belum pernah bertemu, bahkan berbicara pun samasekali tidak (langsung atau lewat telepon), uniknya saya merasa setidaknya telah dapat dan masih akan terus mendapat pelajaran berharga darinya.

Tak berlebihan bila saya merasa MP dalam waktu yang singkat telah menjadi Guru bagi saya. Guru dengan G besar. Ia menjadi Guru bagi saya tentang Simalungun, tentang bagaimana 'menjadi dan sebagai' orang Simalungun yang oleh orang Simalungun kerap diartikan sebagai MarSimalungun. Ia saya sebut sebagai Guru dengan G besar, karena ia bukan hanya mengajarkan saya untuk mengetahui. Pelajaran darinya juga mendorong dan menggugah saya untuk ‘menjadi’ dan ‘sebagai’ yang diajarkannya itu. Yakni ‘menjadi’ dan ‘sebagai’ orang Simalungun. Marsimalungun. Saya kira orang lain yang mengenalnya, dan sudi menjadi muridnya, juga akan tergugah untuk ‘menjadi dan sebagai orang Simalungun.

Saya pun akhirnya memutuskan ingin mengenal MP lebih jauh lagi.

(bersambung)

Januari 2006
(c) Eben Ezer Siadari

Catatan Kaki:

1 Tulisan yang disajikan dalam Bahasa Simalungun itu, ternyata sudah pula ada dalam makalahnya berbahasa Indonesia. Antara lain, ia menulis sbb:: Dalam membina kehidupan Kristiani juga, nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Simalungun cukup potensial. Beberapa terminologi yang berasal dari budaya Simalungun sudah diadopsi Gereja, seperti terminologi Naibata, suatu terminologi yang digunakan hanya untuk satu-satunya Yang Maha Kuasa, yang dianggap Maha Adil; Na Pansing dalam terminologi Tonduy Na Pansing dan Horja Banggal Na Pansing konon terambil dari terminologi demban pansing, yakni sirih dipetik dan dibawa secara cermat agar tidak ternoda kesuciannya. Lihat www.mansenpurba.blogspot.com.

2 Surat-e nya dalam bahasa Simalungun itu sekaligus juga undangan kepada saya melihat blog beliau.

3 Kawan saya itu bernama Bagya Prananta, mahasiswa ITB jurusan Biologi, angkatan tahun 1983
4 LOPOU NI MANSEN PURBA beralamat di www.mansenpurba.blogspot.com
4b BARUNG-BARUNG NI MANSEN PURBA SH beralamat di http://spaces.msn.com/mansenpurba

5 Dalam sebuah dialognya dengan Dr. Martin Sinaga, STh, pendeta GKPS yang kini menjadi pembantu rektor di STT Jakarta, MP mengatakan pendapatnya ini ketika membahas sebuah isu yang mengetengahkan kemungkinan konflik antara kesetaraan gender dengan budaya Simalungun. Dalam Bahasa Simalungun, ia mengatakan: Lang marosuh au ipahiri budaya adat Simalungun, porini pe dong (dilihat de fakto, nini mlsinaga) deba halak Simalungun na so maradat.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home