Martin Sinaga: Si Manusia Pasca (3)
Apa itu manusia pasca Nasrani?
Sebelum para ahli menyelidik saya atas istilah yang rada dimaut-mautkan ini, terlebih dahulu saya akan membela diri untuk mengatakan istilah ini untuk diri saya sendiri belaka. Ini hanya akan saya gunakan untuk diri saya sendiri, dalam menggambarkan sebisa saya, MLS yang saya kenali pikiran-pikirannya dari berbagai sumber terbatas.
Seandainya saya hanya mengenal MLS sebagai seorang pendeta GKPS, seorang yang dilahirkan dalam keluarga Simalungun, Doktor teologia yang menjadi pengajar ilmu agama-agama di STT Jakarta, saya mungkin tak akan menyebutnya sebagai manusia pascaNasrani. Seandainya aktivitasnya hanya diembel-embeli lagi dengan menjadi (pernah) anggota tim Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengajar di STF Driyarkara, itu juga tak akan menggugah saya mencari kepascaannya.
Tapi lihatlah apa saja yang ia gumuli. Buku-buku yang ia tulis mau pun yang ia terjemahkan selalu merupakan buku yang agak kontroversial bagi kaum nasrani konservatif. Ia kelihatannya selalu tergoda untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru. 'Apa setelah apa.' Jika dalam hal Simalungun, ia menggelitik saya dengan pertanyaan, 'so what' bila Anda sudah Simalungun, dalam hal agama, ia juga sepertinya selalu menyodorkan pertanyaan bahwa kalau Anda sudah nasrani, so what. Apa setelah itu?
ADa banyak buku yang sudah ia tulis, sunting dan terjemahkan. Hampir semuanya merupakan 'penelaahan' hubungan antara apa yang selama ini dianggap orang 'berseberangan.' Salah satu yang bisa dijadikan contoh, adalah buku karya John D. Caputo, yang judul aslinya adalah On Religion tetapi kemudian is terjemahkan menjadi Agama Cinta, Agama Masa Depan. Saya belum sempat membacanya. Tetapi beberapa kalimat dari tinjauan buku itu yang ditulis oleh Trisno S. Sutanto, mungkin sudah bisa menggambarkan isinya serba sedikit.
“AGAMA TANPA AGAMA”
Mungkinkah beragama tanpa agama? Atau lebih tepat: beriman tanpa agama? Pertanyaan-pertanyaan itu segera mencuat bagi siapapun yang pernah membaca buku John D. Caputo, On Religion, yang sudah dialihbahasakan dan diterbitkan oleh Mizan dengan judul berbeda: Agama Cinta, Agama Masa Depan.(1) Esai ini mau memberi jawaban positif pada pertanyaan di atas. Malah lebih jauh lagi mau menandaskan, gagasan Caputo (yang diambil alih dari Jacques Derrida) tentang “agama tanpa agama” (religion without religion), menurut saya, seyogianya dipertimbangkan secara serius bagi siapapun yang secara serius dan jujur mau bergumul dengan “agama” pada jaman sekarang, dan mau “berteologi”, mau berusaha “berbicara tentang Allah” (theos-logos).
Saya selalu percaya, seorang intelektual tidak netral ketika diminta melakukan sesuatu. Intelektual, sebagaimana di tahun 1966 pernah menjadi perdebatan di kalangan akademis dalam merumuskan strategi pembangunan ekonomi pasca Soekarno, sering digolongkan menjadi intelektual sejati dan intelektual tukang. Yang disebut pertama menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa intelektualitasnya harus berguna dan demi kebaikan. Sementara intelektual jenis kedua, adalah intelektual yang menggunakan kemampuannya tidak lebih 'memenuhi pesanan' si pemesan. Bahwa bagaimana akibat dari tindakan-tindakannya itu, sang intelektual hanya bertanggung jawab kepada kaidah intelektualitasnya. Tidak pada akibat yang ditimbulkannya.
Dengan pola pikir begitu, saya percaya MLS ketika diminta menerjemahkan buku itu, ia tidak dalam posisi netral. Saya sangat yakin ia sedikit banyak bersimpati kepada isi buku itu. Bahkan mungkin itulah pemikiran-pemikiran yang juga ia ingin sebarkan.
Itu makin nyata bila saya membac sebuah tulisannya yang selalu dielu-elukan seorang sahabat saya. Tulisan itu juga mungkin akan kedengaran kontroversial bagi orang seperti saya, yang hanya mengandalkan pemahaman nasraninya pada kenangan semasa Sekolah Minggu. Tetapi kesimpulan yang ia torehkan sebenarnya memberi kesempatan kepada saya menyegarkan iman saya tanpa kehilangan iman yang dulu. Kesadaran sebagai manusia pasca nasrani. Nasrani yang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru.
Tulisannya di Suara Pembaruan, dengan judul Paskah di Hadapan Kubur Kosong, yang akan kedengaran mengguncang, ia mulai dengan ceritanya tentang bagaimana kegamangan murid-murid Yesus ketika menemukan kubur kosong.
Tulisnya: BERBEDA dengan kitab-kitab Injil lainnya, Injil menurut Markus menutup tuturannya dengan mengejutkan sekali: "Lalu mereka (para murid Yesus) keluar dan lari meninggalkan kubur (Yesus) itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka.
Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut" (Mrk 16:8). Karena sedemikian mengejutkannya, sampai-sampai penyunting dan penyalin Injil Markus itu kemudian menambah ending sampai 12 setengah ayat lagi; namun para ahli Biblika bersepakat, Markus (kitab Injil tertua itu) menutup narasi hidup Yesus dengan kisah Kubur Kosong!
Menurut MLS, jika ending cerita itu adalah kubur kosong, bukan sebuah kesaksian bahwa murid-murid itu melihat Yesus bangkit, apakah nanti kisah kebangkitan itu tidak akan berkembang, sebagaimana dalam kata-kata Martin sendiri, menjadi " gosip, kabar angin, dan produk sikap subjektif?"
MLS memberi penjelasannya sendiri dengan meneropong situasi Markus. Menurut dia, Markus adalah bagian dari generasi kedua Kekristenan yang terkejut dengan deraan hidup, yang dikira semula akan usai kalau Kristus yang bangkit datang mengangkat mereka keluar dari beban sehari-hari. Sehingga, suatu iman yang mengira bisa secara penuh mengubah realitas, bagi Markus, malah akan membahayakan Kekristenan.
MLS menambahkan, bagi Markus, kebangkitan bukanlah triumfalismetotal atas kesusahan sehari-hari. Paskah bukanlah kemenangan akhir. Baginya, Paskah berarti bahwa jalan masih terbuka ("sekarang pergilah ... ke Galilea") untuk bertemu Kristus Sang Anak Manusia itu, di setiap perkara hidup.
Dan, jalan terbuka itu harus dijalani terus, apalagi semua tahu, Kristus Sang Anak Manusia baru saja berjalan dengan kepala yang berdarah. Jangan sampai mahkota duri terlupakan, sebab melalui ketekunan menghadapi kesulitan hidup sehari-harilah Yesus dinyatakan sebagai kekasih Allah.
Dalam tulisan itu MLS menuliskan pesan yang sangat klasik tapi sering terlupakan. Bahwa dengan menjadi nasrani seseorang tidaklah akan selalu dikelilingi oleh kolam surga (istilah ini saya dapatkan dari seorang rekan berinisial JRS), melainkan juga perjuangan:
Hal itu perlu dicatat, sebab sejak semula para murid Yesus saat itu hanya mau melihat Yesus selaku Mesias-Penebus, yang memberi mereka makan (melalui mukjizat penggandaan lima roti dan dua ikan).
Akan tetapi, mereka buta mengenai Yesus Sang Hamba Allah yang menderita, yang memberi nyawa-Nya bagi sesama (Mrk 10:35-45).
Makanya, makin tambah penjelasan mengapa Markus menutup kisah Injil-nya dengan mendadak dalam lakon para murid yang takut, hal itu dilakukan agar kita kini -pembaca kontemporer Injil Markus- masuk dan menggantikan para murid yang tersekap dalam gentar dan kecut itu.
Kini, kita pun berdiri di hadapan kubur kosong, dan dipesankan bahwa Yesus sudah bangkit, dan malah telah mendahului kita melanjutkan lagi perjalanan memasuki setiap kelok perkara hidup sehari-hari. Dan, jalan terus terbuka, sekalipun berita kebangkitan itu lebih sebagai produk sikap subjektif iman, bukan suatu ihwal objektif yang beku.
Kita yang berdiri di hadapan jalan yang terbuka itu -sambil menemukan inspirasi dari kisah Paskah menurut Injil Markus - perlu juga terus ikut mengambil langkah menemukan makna kisah Paskah ini bagi kita. Paskah-Kebangkitan tampaknya serentak adalah suatu tindakan Allah dan juga langkah manusia.
"Kebangkitan Yesus Anak Manusia yang mati di salib" itu kini menjadi suatu metafora rohani, suatu pesan akan keserbamungkinan untuk tetap melangkah dan tidak tersekap dalam fatigue (kelelahan buntu) hidup sehari-hari di negeri yang mencoba bertransisi ini.
Kepascanasranian MLS kemudian makin terlihat bukan saja dalam hal bagaimana ia memahami dirinya dalam hubungannya dengan imannya sendiri. Tetapi juga bagaimana dirinya sebagai orang nasrani, berhubungan dengan lingkungannya dan juga dengan sesama penganut agama lain.
Ia selalu berusaha menjadi manusia pasca dalam hal ini. Ia selalu hadir di tengah berbagai konflik, sebagai manusia pasca, manusia pengubung tetapi bukan sekadar menghubungkan melainkan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Ia dengan aktif melibatkan diri pada isu-isu kesetaraan jender. Melibatkan diri dalam pemikiran, tetapi seringkali ikut aktif dalam berbagai aksi.
Dalam sebuah seminar bertajuk Perempuan dan Fundamentalisme ia tak ragu membedah kesadaran kita bahwa dalam agama mana pun terdapat kemungkina paham dan tindakan fundamentalis. Seperti kemudian dikutip sebuah laporan dalam seminar itu MLS mengatakan, bahwa fundamentalisme dalam Kristen bisa dilihat antara lain dari tindakan meledakkan klinik-klinik aborsi di AS. "Perilaku fundamentalis salah satunya adalah pelarangan perempuan menjadi imam dalam agama Protestan," ujar MLS. Karena di negara maju demokratisasi, HAM, ketertiban sosial, sudah berjalan baik, maka problem fundamentalisme kemudian bermuara di rumah."Bentuknya adalah kekerasan dalam rumah tangga."
Tidak mengherankan bila dalam pencarian dan pengukuhannya sebagai manusia pasca, ia tidak terlihat canggung bergaul dengan beragam orang dari berbagai latarbelakang. Ia akrab dengan kalangan Muslim dari golongan mana pun. Ia kerap dipanggil dalam berbagai forum dialog antar Agama. Dan dia terlibat sangat aktif dalam Masyarakat Dialog Antar Agama).
Ia selalu muncul sebagai manusia yang mencoba mencari jalan 'mendamaikan' bila terjadi konflik bernuansa agama, lewat aneka lembaga yang peduli akan hal itu. Di dalam dan di luar negeri. Bahkan dugaan saya, ia mungkin sudah lebih 'kandung' sebagai saudara dengan orang-orang dari kalangan agama lain, dibanding dengan lingkungan darimana Martin berada. Ulil A. Abdala, salah seorang manusia pasca dari kalangan Muslim konon termasuk kawan dekatnya yang sudah dalam taraf saling bercanda tentang absurditas kaumnya masing-masing. Di kalangan NU, seperti pernah saya baca dalam sebuah rangkuman diskusi di lingkungan intern mereka, menyebut nama MLS sudah seperti menyebut nama seseorang yang sudah mereka kenali sampai kepada lipatan terkecil pikiran-pikirannya.
Dan dugaan saya, ini semua ia lakukan karena ia tahu, masih banyak yang harus dikerjakan manusia, agar tidak selalu hanya 'memperalat' agama dan juga memperalat Tuhan. Sebab, seperti ia katakan,
Dan, tampaknya memang hari-hari kita sudah lelah pasca-tumbangnya rezim Soeharto: mulai dari kerusuhan, konflik horizontal, kekerasan konspiratif aparat negara, sampai kegalauan menghadapi kebijakan kenaikan BBM yang tampak angkuh dan tak perduli dengan hidup sehari-hari rakyat kecil.
Tetapi, justru kita tidak boleh berlindung pada agama di tengah-tengah semua itu, tidak juga kita boleh mengungsi kepada Tuhan. Paskah bukan tentang jaminan bahwa semua hal akan dibereskan oleh Tuhan, bukan pula semua kesulitan akan lenyap. Paskah, bagaimanapun, bukan perayaan akhir zaman. Namun, Paskah adalah undangan bagi manusia -yang kalau mau memakai mata hati imannya - untuk terus melangkah, bekerja dengan mata yang terarah ke depan. Ia kiranya sudi bekerja dalam detail-detail keseharian, dan mencoba memantapkan kakinya, walau tahu bahwa arah hidup bersama di Indonesia ini serba tidak menentu.
(Bersambung ke bagian 4)
(C) Eben Ezer Siadari
Catatan; Sebagian besar sumber tulisan ini dari bahan sekunder, termasuk dari milis barita-simalungun@yahoogroups.com yang di owner-moderated oleh JRS
Foto: Suara Pembaruan
0 Comments:
Post a Comment
<< Home