Empat Hari bersama Agus Theis (4)
((Percakapan Imajiner dengan Missionaris Pertama di Simalungun)
Chating dengan Agus Theis:
Hari Keempat (Terakhir)
ebenezersiadari: Hi Om. Jumpa lagi. Ini hari keempat kita berbincang.
agustheis1903: Hi Eben. Saya baru saja mendengar kabar di Indonesia orang sedang membicarakan tentang peraturan pemerintah yang mengatur soal pembangunan rumah ibadah. Saya hanya mendengarnya sepintas. Tapi mengingatkan saya pada zaman ketika saya masih di Simalungun. Tetapi keadaan yang saya hadapi justru sebaliknya. Kami kala itu justru kewalahan mengabulkan permintaan orang-orang agar di kampung mereka dibangun sekolah, yang tentu saja dapat juga dipergunakan jadi gereja.
ebenezersiadari: Oh ya?
agustheis1903: Saya jadi ingat, pada tahun 1914, setelah 11 tahun saya di Simalungun, saya mengikuti rapat para missionaris di Sipoholon. Tidak banyak memang yang bisa saya laporkan karena sebelumnya saya sakit keras dan lama. Tetapi ada beberapa hal menggembirakan yang saya kemukakan di rapat itu. Antusiasme orang untuk mendirikan gereja dan sekolah terus tumbuh. Misalnya penduduk Bah Tonang dengan swadaya, mereka mendirikan sekolah sekaligus tempat peribadatan mereka. Sejumlah orang sudah pula menunggu untuk dibaptis. Sementara itu sekolah dan gereja baru tengah disiapkan pula akan berdiri di Dolok Silau dan di Sirpang Raya.
Saya juga melaporkan bahwa orang benar-benar mempunyai antusiasme yang tinggi menjalankan ibadah. Sudah dua kali kami mengadakan Perjamuan Kudus dan diikuti 134 orang. Bayangkan. Orang yang sudah dibaptis saja baru 185 orang, termasuk anak-anak. Padahal yang mengikuti Perjamuan Kudus rata-rata 67 orang pada setiap kali diadakan. Bukankah ini berarti kurang lebih 100% orang yang layak mengikuti Perjamuan itu sudah mengikutinya?
Jadi dalam hal ini, keadaan yang saya hadapi dalam soal pendirian rumah ibadah, lebih ringan daripada yang dihadapi para pemuka gereja di Indonesia, sekarang ini. Bercanda.
ebenezersiadari: Tiap zaman dan tempat punya tantangannya sendiri kan Om? (Saya Cuma sok jadi intelektual saja mengatakan kata-kata klise ini.)
agustheis1903: Kalau itu sih memang benar. Tantangan di masa saya bukan datang dari Pemerintah tapi dari keadaan sosial budaya kala itu. Sebab memang dibutuhkan kesabaran dan pengharapan. Coba bayangkan. Jangankan orang Belanda seperti saya. Ada beberapa orang guru yang kami datangkan dari Silindung dan daerah Toba lainnya, meminta dipulangkan. Mungkin karena anggota keluarga mereka merasa tidak betah. Ada yang karena kangen kepada kampung halaman mereka. Ada juga yang karena merasa kesepian, tidak punya sanak saudara di tempat yang baru ini. Belum lagi kejadian yang mungkin menghadirkan trauma, seperti rumah guru yang terbakar di Huta Dolok padahal rumah itu baru didirikan.
Maka saya bisa memahami bila ada juga satu-dua guru yang tidak betah. Apalagi ada diantara istri mereka yang sampai sakit-sakitan. Saya gembira karena setelah mereka tiba di kampung halaman mereka, mereka mengabari saya bahwa keluarga mereka sudah sehat kembali. Hal-hal seperti ini memang tantangan yang berat.
ebenezersiadari: Sementara itu, guru dari orang Simalungun sendiri mungkin belum cukup banyak, ya Om?
agustheis1903: Betul. Kemarin saya sudah menceritakan tentang guru J. Wismar Saragih dan Jason Saragih yang kami kirimkan ke Narumonda dan Depok. Ketika mereka kembali ke Simalungun, kami langsung tempatkan di daerah Simalungun. Wismar Saragih ke Raya Usang lalu kemudian ke Raya Tongah. Sementara Jason di Pematang Raya. Demikian juga guru-guru lainnya.
Kami juga mendidik agar murid-murid sekolah kami bisa disiapkan menjadi guru penolong. Saya masih ingat, suatu hari di tahun 1915, setelah pulang dari Medan segera saya berangkat ke Siantar beserta murid-murid kami yang akan mengikuti ujian menjadi guru penolong. Tujuannya ke Siantar. Ada 24 orang murid yang saya dampingi itu. Tetapi hanya 14 orang saja yang lulus. Dua diantaranya langsung bekerja karena ada dua orang guru dari Silindung yang kembali ke kampung halamannya.
Namun permintaan terhadap tenaga guru terus bertambah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh masyarakat membutuhkannya tapi tetap tak terkabulkan. Sementara orang yang ingin masuk sekolah pun seringkalai melebihi daya tampung yang terpaksa saya membuatkan semacam daftar tunggu (waiting list).
Seiring dengan perjalanan waktu, kami pun mulai memikirkan bagaimana mengangkat harhat kaum wanita. Bagaimana agar kaum wanita ini juga mengenal Terang itu. Sebab, pengalaman saya menunjukkan justru kerap kali wanita lah yang lebih lambat menerima Terang itu, walau pun suaminya sudah.
Lalu kami pun mencoba membuka sekolah malam untuk wanita. Ada 30 orang muridnya. Di dalam sekolah itu diajarkan berbagai keterampilan, seperti menjahit. Istri saya ikut menjadi guru menjahit. Guru Jason Saragih pun aktif di sekolah ini. Jika awalnya sekolah malam untuk putri itu dibuka di Pematang Raya, tak lama kemudian menyusul pula kami buka sekolah putri di Raya Tongah. Istri saya pun aktif di sini.
Tahun 1916 saya juga mencoba mengadakan Penelaahan Alkitab (PA) beberapa kali. Saya memaksudkan ini untuk memperdalam pemahaman jemaat.
Pada tahun yang sama pula, kami mengadakan Pesta Sending yang diikuti oleh seluruh jemaat di seluruh Raya. Kami mengadakannya di pekan Pemaang Raya menggunakan dua balairung di sana. Di tengah balairung itu dibuatkan podium dan masing-masing guru berbicara memberikan kesaksian lima menit. Disela-selanya, koor sekolah minggu. Jemaat membawa oleh-oleh (siluah)nya masing-masing dan dari hasil lelang atas siluah itu, terkumpul fl260.
ebenezersiadari: Itu berarti pesta sending yang pertama ya Om? Semacam pertemuan raya (Pesta Olob-olob)?
agustheis1903: Mungkin. Saat itu sudah 13 tahun Terang menyinari Simalungun.
ebenezersiadari: Apa yang bisa Anda syukuri dalam saat yang istimewa itu?
agustheis1903: Sebentar, saya juga ada mencatat beberapa hal dalam buku harian saya. Yang jelas, perkembangan jumlah orang yang menerima Terang itu tidak bisa disebut spektakuler. Masih dalam jumlah yang begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Tetapi dari sudut kedalaman penetrasi Trang itu, saya bersyukur karena terus meningkat. Sebentar ya? Saya ambilkan catatan saya. Brb (be right back).
ebenezersiadari: Oke Om.
agustheis1903: Pada tahun 1915, ada yang saya anggap menonjol, ani dua kali saya pergi ke Bah Tonang Kami mengadakan evangelisasi di sana. Dan malam sebelum kami melakukan pembaptisan keesokan harinya, saya mencoba menguji para calon peserta baptis. Ada 20 orang mereka yang akan dibaptis pada 12-12-1915. Salah seorang diantara pesertanya adalah datu (dukun) yang dulu pernah menyela khotbah Pdt Simon tentang sembilan orang yang tidak berterimakasih. Saya sungguh merasa bersukacita karena ia akhirnya menerima Terang itu.
Salah seorang peserta lainnya adalah seorang yang sudah sangat tua. Ia dibaptis bersama anaknya, mantunya, cucu dan cicitnya. Bayangkan, empat generasi ikut dibaptis sekaligus.
Di Bah Tonang kami mempunyai seorang guru penolong bernama Augustin Sinaga. Ia mengikuti baptis tiga tahun sebelumnya. Ia adalah anak dari penghulu Bah Tonang.
Catatan saya yang istimewa juga adalah pertemuan dengan Tuan Amborokan. Ketika saya berkunjung ke sana, Tuan itu membawa sebuah buku tata bahasa Belanda. Ia meminta saya mengajarkan Bahasa Belanda kepadanya. Menurut dia, usianya kala itu 30 tahun. Seandainya diperlukan 20 tahun untuk bisa mempelajari Bahasa itu, ia masih cukup umur untuk bisa menggunakannya.
Sayang sekali saya tidak bisa mengabulkan permohonannya karena jarak tempat kami cukup jauh. Meskipun demikian, saya sungguh senang melihat semangatnya.
Tahun itu pula Tuan Bulu Raya meninggal karena dibunuh. Semula kami dan rombongan ingin bermalam di Bulu Raya dalam perjalanan dari Bah Tonang ke Pematang Raya. Tapi karena peristiwa terbunuhnya Tuan itu, kami akhirnya meneruskan perjalanan. Saya sempat menjenguk dan melihat sendiri kepala Tuan Bulu Raya. Saya memberikan penghiburan ketika itu.
Beberapa pembaptisan saya lakukan pada tahun itu. Antara lain di Pematang Raya, Raya Tongah dan Bulu Raya. Jumlahnya selalu seperti biasa, tidak terlalu spektakuler. Di Pematang Raya 32 orang, di Raya Tongah 17 orang dan di Bulu Raya 13 orang. Salah seorang yang dibaptis di Pematang Raya adalah keponakan dari Raja Bandar. Kebetulan mereka berada di Pematang Raya karena terjadi kebakaran di Pematang Bandar.
Kesulitan ekonomi sampai tahun 1920 ikut melanda Simalungun. Namun di sisi lain, beberapa kemajuan pantas pula dicatat. Misalnya, jalan P. Siantar-Pematang Raya makin bagus yang menyebabkan surat-surat kepada saya tiba lebih cepat dari sebelumnya. Organ untuk mengiringi ibadah sudah pula ada yang kami dapatkan dari Jerman dan kami jemput dengan memakai kuda dari P. Siantar. Waktu perjalanan: tujuh hari.
Pada tahun 1919 mertua saya meninggal. Saya baru mendapatkan kabar itu setengah tahun sesudahnya. Sedih, terutama istri saya. Itu pun saya mendengarnya dari surat yang dikirimkan oleh anak saya dari Belanda. Ini sebenarnya hal-hal yang sangat pribadi. Namun, sedikit banyak memberi pengaruh kepada pekerjaan.
Yang menggembirakan saya, beberapa kader sudah bisa menggantikan tugas-tugas yang sebelumnya biasa saya lakukan. Guru J. Wismar Saragih, makin lama makin piawai dalam pelayanan. Hidupnya juga makin mapan, setelah ia menikah dan saya sendiri yang memberkatinya.
Saya juga akhirnya memindahkan Wismar Saragih dari Raya Usang ke Raya Tongah. Di tempat terakhir ini jemaat memang lebih banyak. Tak lama setelah saya pindahkan itu lah Wismar menikah. Dan selain Wismar, Tuan Anggi, salah seorang saudara dari Raja Raya, menikah pula dan menerima pemberkatan secara kristiani. Ini sangat menyenangkan buat saya.
ebenezersiadari: Tampaknya di masa-masa ini Om sudah mempersiapkan diri ‘pensiun’ dari Simalungun…
agustheis1903: Pensiun sih tidak. Tapi saya memang merasa perlu beristirahat. Dan untungnya, mulai tahun 1920 keadaan ekonomi membaik. Setahun sebelumnya, saya sudah mengirimkan dua putri saya dari istri pertama ke Belanda, karena usia mereka sudah layak untuk sekolah. Dan ini menjadi pemikiran saya terus.,
Tahun berikutnya, permohonan cuti saya untuk pulang kampung dikabulkan. Pada tanggal 4 April 1921, diadakan perpisahan untuk keluarga saya di Pematang Raya. Saya gembira karena Wismar Saragih sudah makin cekatan dalam memimpin. Dial ah yang mempersiapkan malam perpisahan itu. Ia bahkan mengarang sebuah lagu perpisahan yang indah, bunyinya dalam Bahasa Toba:
Sai hipas di pardalanan
Tuan I nang Nyonya i
Lao tu tano hagodangan
Didongani Tuhan i
Sahat tu Debata
Ma langka ni tuan i
Saya sangat terharu ketika seluruh jemaat ikut menyanyikan lagu itu. Saya kira Wismar Saragih memang seorang pemimpin yang baik. Saya tak heran bila dikemudian hari ia bisa memimpin umat Kristiani di Simalungun mendapatkan kemandiriannya sebagai sebuah gereja dalam bentuk GKPS seperti yang kita saksikan sekarang ini.
ebenezersiadari: Setelah cuti itu, apakah Anda masih kembali ke Indonesia?
agustheis1903: Ya, masih kembali. Tapi saya sudah ditempatkan di daerah lain yakni di Dolok Sanggul. Sementara pekerjaan saya di Pematang Raya dilanjutkan oleh Pdt Guillaume yang sebelumnya berada di Saribudolok. Saya mendengar bahwa tak lama kemudian Wismar Saragih masuk sekolah pendeta. Saya gembira karena ia memang layak menjadi gembala.
Ketika saya bertugas di Medan, Wismar Saragih pula yang datang menemui saya. Kala itu ia masih menempuh pendidikan kependetaannya di Sipoholon. Ia mewawancarai saya untuk menanyakan sejarah jemaat Raya. Wismar kala itu mencatatnya dengan teliti. Dan saya mendengar ia menjadikannya sebuah buku, atas biayanya sendiri.
ebenezersiadari: Dari sekian panjang pengalaman dan masa perintisan Om di Simalungun, apa kesan Anda setelah melihat orang Simalungun, terutama GKPS, telah tumbuh seperti sekarang ini?
agustheis1903: Saya selalu optimistis, Eben. Saya tak pernah sedetik pun meragukan kemajuan orang Simalungun. Saya seperti ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Pematang Raya, dan melihat bahwa tuaian itu sudah saatnya dipanen, sampai sekarang juga saya merasa masih banyak lagi yang bisa kita lakukan di Simalungun.
Saya bangga bahwa orang Simalungun telah membangun gerejanya sendiri, GKPS. Dan tetap langgeng di usianya yang lebih dari 100 tahun saat ini. Tidak terpecah, berkonflik seperti kebanyakan gereja suku. Ini suatu hal yang dapat kita syukuri dan banggakan.
Tetapi jangan lupa, GKPS juga harus melihat sekelilingnya. Orang Simalungun juga harus siap menerima tantangan zaman. Mawas diri dan terus berpikir bahwa tuaian sudah matang dan saatnya untuk dipanen. Di sekeliling kita banyak sekali yang dapat kita lakukan. Sudah saatnya, menurut saya, GKPS menunjukkan jatidirinya ke dunia luar. Bahwa ia adalah sebuah gereja yang telah berjalan sedemikian panjang, bergumul dengan hidup orang-orangnya. Dan kini saatnya ia juga bisa menyumbangkan kemampuannya kepada sesamanya, di luar dirinya.
ebenezersiadari: Maaf Om, saya pernah mendengar dari beberapa orang, pada zaman Om, jumlah orang Simalungun yang menerima Terang itu baru 900 orang. Pertumbuhannya justru makin cepat setelah Om tinggalkan. Apa betul?
agustheis1903: Ya, saya menyadari itu. Dan saya kira kalau kita mau mencari ‘kambing hitam’ kita bisa mengatakan bahwa barangkali penyebabnya adalah faktor bahasa. Bahasa yang kami gunakan dalam mengajar dan berkhotbah adalah Bahasa Toba. Saya sendiri dibekali Bahasa Toba. Jadi saya tidak punya pilihan. Bahkan ada syarat, seorang misionaris baru bisa menikah setelah dia bisa berbahasa Toba.
Barangkali, kalau boleh saya jujur, yang tidak saya sadari sekian lama adalah ternyata Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba itu mengandung perbedaan yang banyak dan tajam. Ada yang artinya sangat halus dalam Bahasa Toba tetapi di telinga orang Simalungun itu sangat kasar dan pantang diucapkan. Hal-hal semacam ini saya kira ikut mempengaruhi.
Lagi-lagi kalau ingin menyalahkan siapa-siapa, barangkali kami dan lembaga zending lah yang salah karena kami mengira bahwa dengan menggunakan Bahasa Toba semuanya akan bisa beres.
Saya turut bergembira karena pada akhirnya putra-putri Simalungun berinisiatif menyebarkan Terang itu ke sesama mereka. Saya tentu ikut bangga bila salah seorang murid saya, J. Wismar Saragih menjadi pelopor bagi berdirinya GKPS yang kini sudah berkembang sedemikian rupa. Saya kira saya juga ikut belajar. Semua ikut belajar dari perjalanan Terang di Simalungun. Tetapi perjalanan itu, menurut saya, harus lah dilihat dengan kacamata ucapan syukur. Bahwa Terang itu telah menyinari Simalungun. Dan kegelapan Simalungun berangsur kita tinggalkan. Bukan begitu, Eben?
ebenezersiadari: Ke depan, apa yang Anda harapkan dari GKPS?
agustheis1903: Saya percaya bahwa dengan mengasah kemampuan kita terus-menerus, dengan melihat ke dunia luar. Kekuatan akan muncul jika kita bisa bertukar informasi dengan tetangga bahkan lawan kita. Saya kira itu juga yang menjadi pelajaran bagi saya selama membawa Terang ke tanah Simalungun. Seandainya orang Simalungun dibiarkan membantu dirinya sendiri pada masa itu, saya kira masih akan lama Terang itu datang menghampiri. Tetapi Tuhan telah bekerja. Melalui RMG. Melalui kami para misionaris. Yang kemudian menjenguk dan menyapa manusia Simalungun. Bahwa Terang itu menyebar dengan lambat, itu bagi saya, adalah sebuah pelajaran yang berharga. Tetapi tidak perlu disesali. Ia begitu karena mungkin diharuskan zaman dan masuk dalam rencanaNya. Sama seperti Bangsa Israel yang harus menempuh perjalanan 40 tahun ke Tanah Kanaan. Kita tak perlu menyesali, tetapi tentu kita belajar untuk mencari jalan yang lebih baik dari yang sudah kita lakukan itu.
ebenezersiadari: Terimakasih Om. Saya banyak mendapat pelajaran berharga dari perbincangan ini. Pertanyaan terakhir dan sifatnya pribadi, Om. Boleh dijawab, boleh tidak. Kenapa sih Om mau jadi misionaris?
agustheis1903: Ceritanya panjang. Tapi akan saya buat jadi pendek. Saya ini terlahir sebagai orang kampung. Di Haiger, kira-kira 120 km dari Barmen. Saya lahir tanggal 16 Februari 1874. Saya merupakan anak sulung dari tiga bersaudara.
Saya lahir dari keluarga biasa, dengan ekonomi yang pas-pasan. Setelah tamat SD saya melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan. Dengan bekal sekolah kejuruan itu pula saya bekerja untuk membiayai sekolah saya.
Sejak kecil saya sudah rajin ke gereja, bersekolah minggu. Setamat saya sekolah, saya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Tugas saya mengangkat pasir. Tapi walau pun saya bekerja, saya tetap tak pernah lupa ke gereja.
Sejak kecil saya sudah menyadari bahwa beban dosa yang ditanggung manusia sangat berat. Ia sangat mempengaruhi cara hidup manusia. Namun pada saat yang sama, saya tahu bahwa Tuhan tak menginginkan kematian orang-orang berdosa. Dalam hal ini lah batin saya selalu bergumul. Di satu sisi saya merasa cengkeraman dosa itu begitu besar. Tapi di sisi lain saya yakin Tuhan adalah pengasih. Bertahun-tahun saya gelisah, mencari kedamaian dengan berusaha memperbaiki tingkah lakunya. Dan pada akhirnya saya menyadari bukan usaha saya yang membuat saya selamat. Tetapi kasih Tuhan saja lah.
Itu saya dapatkan ketika saya membaca sebuah buku berjudul An der Pforte. Sungguh saya merasa dibukakan mata saya dan saya merasa betapa dosa saya telah diampuni oleh Yesus.
ebenezersiadari:Jadi karena itu Om jadi misionaris?
agustheis1903: Saya makin rajin memahami ajaran Kristen. Saya rajin mendengarkan khotbah. Dan saya makin lama tak bisa menyembunyikan keinginan untuk menjadi misionaris. Terutama setelah saya mendengar bahwa zending mempunyai misi yang besar untuk membawa Terang kepada orang-orang yang dalam kegelapan. Itu lah awalnya saya mendaftar di Seminari Zending di Barmen. Waktu itu umur saya 21 tahun. Saya mendapat panggilan dari direktur RMG. Tujuh tahun saya belajar di sana hingga menerima berkat kependetaan pada tanggal 6 Agustus 1902. Dan tak berapa lama kemudian, saya pergi ke tanah Anda, Simalungun.
ebenezersiadari: Sebuah perjalanan hidup yang sangat berarti Om. Terimakasih telah berbagi dengan saya.
agustheis1903: Terimakasih juga telah mau mendengar, sejarah yang menurut saya biasa saja ini. Dan sudah berulangkali ditulis orang.
ebenezersiadari: Terimakasih Om.
2 April 2006
© Eben Ezer Siadari.
Catatan: Hampir seluruh isi wawancara ini didasarkan pada buku, Pandita August Theis, Missionar Voller Hffnung, oleh A. Munthe, Kolportase GKPS, 1987. Tetapi bila ada kesalahan mau pun kenekadan penafsiran, itu adalah tanggung jawab penulis. Mohon dimaafkan.
Chating dengan Agus Theis:
Hari Keempat (Terakhir)
ebenezersiadari: Hi Om. Jumpa lagi. Ini hari keempat kita berbincang.
agustheis1903: Hi Eben. Saya baru saja mendengar kabar di Indonesia orang sedang membicarakan tentang peraturan pemerintah yang mengatur soal pembangunan rumah ibadah. Saya hanya mendengarnya sepintas. Tapi mengingatkan saya pada zaman ketika saya masih di Simalungun. Tetapi keadaan yang saya hadapi justru sebaliknya. Kami kala itu justru kewalahan mengabulkan permintaan orang-orang agar di kampung mereka dibangun sekolah, yang tentu saja dapat juga dipergunakan jadi gereja.
ebenezersiadari: Oh ya?
agustheis1903: Saya jadi ingat, pada tahun 1914, setelah 11 tahun saya di Simalungun, saya mengikuti rapat para missionaris di Sipoholon. Tidak banyak memang yang bisa saya laporkan karena sebelumnya saya sakit keras dan lama. Tetapi ada beberapa hal menggembirakan yang saya kemukakan di rapat itu. Antusiasme orang untuk mendirikan gereja dan sekolah terus tumbuh. Misalnya penduduk Bah Tonang dengan swadaya, mereka mendirikan sekolah sekaligus tempat peribadatan mereka. Sejumlah orang sudah pula menunggu untuk dibaptis. Sementara itu sekolah dan gereja baru tengah disiapkan pula akan berdiri di Dolok Silau dan di Sirpang Raya.
Saya juga melaporkan bahwa orang benar-benar mempunyai antusiasme yang tinggi menjalankan ibadah. Sudah dua kali kami mengadakan Perjamuan Kudus dan diikuti 134 orang. Bayangkan. Orang yang sudah dibaptis saja baru 185 orang, termasuk anak-anak. Padahal yang mengikuti Perjamuan Kudus rata-rata 67 orang pada setiap kali diadakan. Bukankah ini berarti kurang lebih 100% orang yang layak mengikuti Perjamuan itu sudah mengikutinya?
Jadi dalam hal ini, keadaan yang saya hadapi dalam soal pendirian rumah ibadah, lebih ringan daripada yang dihadapi para pemuka gereja di Indonesia, sekarang ini. Bercanda.
ebenezersiadari: Tiap zaman dan tempat punya tantangannya sendiri kan Om? (Saya Cuma sok jadi intelektual saja mengatakan kata-kata klise ini.)
agustheis1903: Kalau itu sih memang benar. Tantangan di masa saya bukan datang dari Pemerintah tapi dari keadaan sosial budaya kala itu. Sebab memang dibutuhkan kesabaran dan pengharapan. Coba bayangkan. Jangankan orang Belanda seperti saya. Ada beberapa orang guru yang kami datangkan dari Silindung dan daerah Toba lainnya, meminta dipulangkan. Mungkin karena anggota keluarga mereka merasa tidak betah. Ada yang karena kangen kepada kampung halaman mereka. Ada juga yang karena merasa kesepian, tidak punya sanak saudara di tempat yang baru ini. Belum lagi kejadian yang mungkin menghadirkan trauma, seperti rumah guru yang terbakar di Huta Dolok padahal rumah itu baru didirikan.
Maka saya bisa memahami bila ada juga satu-dua guru yang tidak betah. Apalagi ada diantara istri mereka yang sampai sakit-sakitan. Saya gembira karena setelah mereka tiba di kampung halaman mereka, mereka mengabari saya bahwa keluarga mereka sudah sehat kembali. Hal-hal seperti ini memang tantangan yang berat.
ebenezersiadari: Sementara itu, guru dari orang Simalungun sendiri mungkin belum cukup banyak, ya Om?
agustheis1903: Betul. Kemarin saya sudah menceritakan tentang guru J. Wismar Saragih dan Jason Saragih yang kami kirimkan ke Narumonda dan Depok. Ketika mereka kembali ke Simalungun, kami langsung tempatkan di daerah Simalungun. Wismar Saragih ke Raya Usang lalu kemudian ke Raya Tongah. Sementara Jason di Pematang Raya. Demikian juga guru-guru lainnya.
Kami juga mendidik agar murid-murid sekolah kami bisa disiapkan menjadi guru penolong. Saya masih ingat, suatu hari di tahun 1915, setelah pulang dari Medan segera saya berangkat ke Siantar beserta murid-murid kami yang akan mengikuti ujian menjadi guru penolong. Tujuannya ke Siantar. Ada 24 orang murid yang saya dampingi itu. Tetapi hanya 14 orang saja yang lulus. Dua diantaranya langsung bekerja karena ada dua orang guru dari Silindung yang kembali ke kampung halamannya.
Namun permintaan terhadap tenaga guru terus bertambah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh masyarakat membutuhkannya tapi tetap tak terkabulkan. Sementara orang yang ingin masuk sekolah pun seringkalai melebihi daya tampung yang terpaksa saya membuatkan semacam daftar tunggu (waiting list).
Seiring dengan perjalanan waktu, kami pun mulai memikirkan bagaimana mengangkat harhat kaum wanita. Bagaimana agar kaum wanita ini juga mengenal Terang itu. Sebab, pengalaman saya menunjukkan justru kerap kali wanita lah yang lebih lambat menerima Terang itu, walau pun suaminya sudah.
Lalu kami pun mencoba membuka sekolah malam untuk wanita. Ada 30 orang muridnya. Di dalam sekolah itu diajarkan berbagai keterampilan, seperti menjahit. Istri saya ikut menjadi guru menjahit. Guru Jason Saragih pun aktif di sekolah ini. Jika awalnya sekolah malam untuk putri itu dibuka di Pematang Raya, tak lama kemudian menyusul pula kami buka sekolah putri di Raya Tongah. Istri saya pun aktif di sini.
Tahun 1916 saya juga mencoba mengadakan Penelaahan Alkitab (PA) beberapa kali. Saya memaksudkan ini untuk memperdalam pemahaman jemaat.
Pada tahun yang sama pula, kami mengadakan Pesta Sending yang diikuti oleh seluruh jemaat di seluruh Raya. Kami mengadakannya di pekan Pemaang Raya menggunakan dua balairung di sana. Di tengah balairung itu dibuatkan podium dan masing-masing guru berbicara memberikan kesaksian lima menit. Disela-selanya, koor sekolah minggu. Jemaat membawa oleh-oleh (siluah)nya masing-masing dan dari hasil lelang atas siluah itu, terkumpul fl260.
ebenezersiadari: Itu berarti pesta sending yang pertama ya Om? Semacam pertemuan raya (Pesta Olob-olob)?
agustheis1903: Mungkin. Saat itu sudah 13 tahun Terang menyinari Simalungun.
ebenezersiadari: Apa yang bisa Anda syukuri dalam saat yang istimewa itu?
agustheis1903: Sebentar, saya juga ada mencatat beberapa hal dalam buku harian saya. Yang jelas, perkembangan jumlah orang yang menerima Terang itu tidak bisa disebut spektakuler. Masih dalam jumlah yang begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Tetapi dari sudut kedalaman penetrasi Trang itu, saya bersyukur karena terus meningkat. Sebentar ya? Saya ambilkan catatan saya. Brb (be right back).
ebenezersiadari: Oke Om.
agustheis1903: Pada tahun 1915, ada yang saya anggap menonjol, ani dua kali saya pergi ke Bah Tonang Kami mengadakan evangelisasi di sana. Dan malam sebelum kami melakukan pembaptisan keesokan harinya, saya mencoba menguji para calon peserta baptis. Ada 20 orang mereka yang akan dibaptis pada 12-12-1915. Salah seorang diantara pesertanya adalah datu (dukun) yang dulu pernah menyela khotbah Pdt Simon tentang sembilan orang yang tidak berterimakasih. Saya sungguh merasa bersukacita karena ia akhirnya menerima Terang itu.
Salah seorang peserta lainnya adalah seorang yang sudah sangat tua. Ia dibaptis bersama anaknya, mantunya, cucu dan cicitnya. Bayangkan, empat generasi ikut dibaptis sekaligus.
Di Bah Tonang kami mempunyai seorang guru penolong bernama Augustin Sinaga. Ia mengikuti baptis tiga tahun sebelumnya. Ia adalah anak dari penghulu Bah Tonang.
Catatan saya yang istimewa juga adalah pertemuan dengan Tuan Amborokan. Ketika saya berkunjung ke sana, Tuan itu membawa sebuah buku tata bahasa Belanda. Ia meminta saya mengajarkan Bahasa Belanda kepadanya. Menurut dia, usianya kala itu 30 tahun. Seandainya diperlukan 20 tahun untuk bisa mempelajari Bahasa itu, ia masih cukup umur untuk bisa menggunakannya.
Sayang sekali saya tidak bisa mengabulkan permohonannya karena jarak tempat kami cukup jauh. Meskipun demikian, saya sungguh senang melihat semangatnya.
Tahun itu pula Tuan Bulu Raya meninggal karena dibunuh. Semula kami dan rombongan ingin bermalam di Bulu Raya dalam perjalanan dari Bah Tonang ke Pematang Raya. Tapi karena peristiwa terbunuhnya Tuan itu, kami akhirnya meneruskan perjalanan. Saya sempat menjenguk dan melihat sendiri kepala Tuan Bulu Raya. Saya memberikan penghiburan ketika itu.
Beberapa pembaptisan saya lakukan pada tahun itu. Antara lain di Pematang Raya, Raya Tongah dan Bulu Raya. Jumlahnya selalu seperti biasa, tidak terlalu spektakuler. Di Pematang Raya 32 orang, di Raya Tongah 17 orang dan di Bulu Raya 13 orang. Salah seorang yang dibaptis di Pematang Raya adalah keponakan dari Raja Bandar. Kebetulan mereka berada di Pematang Raya karena terjadi kebakaran di Pematang Bandar.
Kesulitan ekonomi sampai tahun 1920 ikut melanda Simalungun. Namun di sisi lain, beberapa kemajuan pantas pula dicatat. Misalnya, jalan P. Siantar-Pematang Raya makin bagus yang menyebabkan surat-surat kepada saya tiba lebih cepat dari sebelumnya. Organ untuk mengiringi ibadah sudah pula ada yang kami dapatkan dari Jerman dan kami jemput dengan memakai kuda dari P. Siantar. Waktu perjalanan: tujuh hari.
Pada tahun 1919 mertua saya meninggal. Saya baru mendapatkan kabar itu setengah tahun sesudahnya. Sedih, terutama istri saya. Itu pun saya mendengarnya dari surat yang dikirimkan oleh anak saya dari Belanda. Ini sebenarnya hal-hal yang sangat pribadi. Namun, sedikit banyak memberi pengaruh kepada pekerjaan.
Yang menggembirakan saya, beberapa kader sudah bisa menggantikan tugas-tugas yang sebelumnya biasa saya lakukan. Guru J. Wismar Saragih, makin lama makin piawai dalam pelayanan. Hidupnya juga makin mapan, setelah ia menikah dan saya sendiri yang memberkatinya.
Saya juga akhirnya memindahkan Wismar Saragih dari Raya Usang ke Raya Tongah. Di tempat terakhir ini jemaat memang lebih banyak. Tak lama setelah saya pindahkan itu lah Wismar menikah. Dan selain Wismar, Tuan Anggi, salah seorang saudara dari Raja Raya, menikah pula dan menerima pemberkatan secara kristiani. Ini sangat menyenangkan buat saya.
ebenezersiadari: Tampaknya di masa-masa ini Om sudah mempersiapkan diri ‘pensiun’ dari Simalungun…
agustheis1903: Pensiun sih tidak. Tapi saya memang merasa perlu beristirahat. Dan untungnya, mulai tahun 1920 keadaan ekonomi membaik. Setahun sebelumnya, saya sudah mengirimkan dua putri saya dari istri pertama ke Belanda, karena usia mereka sudah layak untuk sekolah. Dan ini menjadi pemikiran saya terus.,
Tahun berikutnya, permohonan cuti saya untuk pulang kampung dikabulkan. Pada tanggal 4 April 1921, diadakan perpisahan untuk keluarga saya di Pematang Raya. Saya gembira karena Wismar Saragih sudah makin cekatan dalam memimpin. Dial ah yang mempersiapkan malam perpisahan itu. Ia bahkan mengarang sebuah lagu perpisahan yang indah, bunyinya dalam Bahasa Toba:
Sai hipas di pardalanan
Tuan I nang Nyonya i
Lao tu tano hagodangan
Didongani Tuhan i
Sahat tu Debata
Ma langka ni tuan i
Saya sangat terharu ketika seluruh jemaat ikut menyanyikan lagu itu. Saya kira Wismar Saragih memang seorang pemimpin yang baik. Saya tak heran bila dikemudian hari ia bisa memimpin umat Kristiani di Simalungun mendapatkan kemandiriannya sebagai sebuah gereja dalam bentuk GKPS seperti yang kita saksikan sekarang ini.
ebenezersiadari: Setelah cuti itu, apakah Anda masih kembali ke Indonesia?
agustheis1903: Ya, masih kembali. Tapi saya sudah ditempatkan di daerah lain yakni di Dolok Sanggul. Sementara pekerjaan saya di Pematang Raya dilanjutkan oleh Pdt Guillaume yang sebelumnya berada di Saribudolok. Saya mendengar bahwa tak lama kemudian Wismar Saragih masuk sekolah pendeta. Saya gembira karena ia memang layak menjadi gembala.
Ketika saya bertugas di Medan, Wismar Saragih pula yang datang menemui saya. Kala itu ia masih menempuh pendidikan kependetaannya di Sipoholon. Ia mewawancarai saya untuk menanyakan sejarah jemaat Raya. Wismar kala itu mencatatnya dengan teliti. Dan saya mendengar ia menjadikannya sebuah buku, atas biayanya sendiri.
ebenezersiadari: Dari sekian panjang pengalaman dan masa perintisan Om di Simalungun, apa kesan Anda setelah melihat orang Simalungun, terutama GKPS, telah tumbuh seperti sekarang ini?
agustheis1903: Saya selalu optimistis, Eben. Saya tak pernah sedetik pun meragukan kemajuan orang Simalungun. Saya seperti ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Pematang Raya, dan melihat bahwa tuaian itu sudah saatnya dipanen, sampai sekarang juga saya merasa masih banyak lagi yang bisa kita lakukan di Simalungun.
Saya bangga bahwa orang Simalungun telah membangun gerejanya sendiri, GKPS. Dan tetap langgeng di usianya yang lebih dari 100 tahun saat ini. Tidak terpecah, berkonflik seperti kebanyakan gereja suku. Ini suatu hal yang dapat kita syukuri dan banggakan.
Tetapi jangan lupa, GKPS juga harus melihat sekelilingnya. Orang Simalungun juga harus siap menerima tantangan zaman. Mawas diri dan terus berpikir bahwa tuaian sudah matang dan saatnya untuk dipanen. Di sekeliling kita banyak sekali yang dapat kita lakukan. Sudah saatnya, menurut saya, GKPS menunjukkan jatidirinya ke dunia luar. Bahwa ia adalah sebuah gereja yang telah berjalan sedemikian panjang, bergumul dengan hidup orang-orangnya. Dan kini saatnya ia juga bisa menyumbangkan kemampuannya kepada sesamanya, di luar dirinya.
ebenezersiadari: Maaf Om, saya pernah mendengar dari beberapa orang, pada zaman Om, jumlah orang Simalungun yang menerima Terang itu baru 900 orang. Pertumbuhannya justru makin cepat setelah Om tinggalkan. Apa betul?
agustheis1903: Ya, saya menyadari itu. Dan saya kira kalau kita mau mencari ‘kambing hitam’ kita bisa mengatakan bahwa barangkali penyebabnya adalah faktor bahasa. Bahasa yang kami gunakan dalam mengajar dan berkhotbah adalah Bahasa Toba. Saya sendiri dibekali Bahasa Toba. Jadi saya tidak punya pilihan. Bahkan ada syarat, seorang misionaris baru bisa menikah setelah dia bisa berbahasa Toba.
Barangkali, kalau boleh saya jujur, yang tidak saya sadari sekian lama adalah ternyata Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba itu mengandung perbedaan yang banyak dan tajam. Ada yang artinya sangat halus dalam Bahasa Toba tetapi di telinga orang Simalungun itu sangat kasar dan pantang diucapkan. Hal-hal semacam ini saya kira ikut mempengaruhi.
Lagi-lagi kalau ingin menyalahkan siapa-siapa, barangkali kami dan lembaga zending lah yang salah karena kami mengira bahwa dengan menggunakan Bahasa Toba semuanya akan bisa beres.
Saya turut bergembira karena pada akhirnya putra-putri Simalungun berinisiatif menyebarkan Terang itu ke sesama mereka. Saya tentu ikut bangga bila salah seorang murid saya, J. Wismar Saragih menjadi pelopor bagi berdirinya GKPS yang kini sudah berkembang sedemikian rupa. Saya kira saya juga ikut belajar. Semua ikut belajar dari perjalanan Terang di Simalungun. Tetapi perjalanan itu, menurut saya, harus lah dilihat dengan kacamata ucapan syukur. Bahwa Terang itu telah menyinari Simalungun. Dan kegelapan Simalungun berangsur kita tinggalkan. Bukan begitu, Eben?
ebenezersiadari: Ke depan, apa yang Anda harapkan dari GKPS?
agustheis1903: Saya percaya bahwa dengan mengasah kemampuan kita terus-menerus, dengan melihat ke dunia luar. Kekuatan akan muncul jika kita bisa bertukar informasi dengan tetangga bahkan lawan kita. Saya kira itu juga yang menjadi pelajaran bagi saya selama membawa Terang ke tanah Simalungun. Seandainya orang Simalungun dibiarkan membantu dirinya sendiri pada masa itu, saya kira masih akan lama Terang itu datang menghampiri. Tetapi Tuhan telah bekerja. Melalui RMG. Melalui kami para misionaris. Yang kemudian menjenguk dan menyapa manusia Simalungun. Bahwa Terang itu menyebar dengan lambat, itu bagi saya, adalah sebuah pelajaran yang berharga. Tetapi tidak perlu disesali. Ia begitu karena mungkin diharuskan zaman dan masuk dalam rencanaNya. Sama seperti Bangsa Israel yang harus menempuh perjalanan 40 tahun ke Tanah Kanaan. Kita tak perlu menyesali, tetapi tentu kita belajar untuk mencari jalan yang lebih baik dari yang sudah kita lakukan itu.
ebenezersiadari: Terimakasih Om. Saya banyak mendapat pelajaran berharga dari perbincangan ini. Pertanyaan terakhir dan sifatnya pribadi, Om. Boleh dijawab, boleh tidak. Kenapa sih Om mau jadi misionaris?
agustheis1903: Ceritanya panjang. Tapi akan saya buat jadi pendek. Saya ini terlahir sebagai orang kampung. Di Haiger, kira-kira 120 km dari Barmen. Saya lahir tanggal 16 Februari 1874. Saya merupakan anak sulung dari tiga bersaudara.
Saya lahir dari keluarga biasa, dengan ekonomi yang pas-pasan. Setelah tamat SD saya melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan. Dengan bekal sekolah kejuruan itu pula saya bekerja untuk membiayai sekolah saya.
Sejak kecil saya sudah rajin ke gereja, bersekolah minggu. Setamat saya sekolah, saya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Tugas saya mengangkat pasir. Tapi walau pun saya bekerja, saya tetap tak pernah lupa ke gereja.
Sejak kecil saya sudah menyadari bahwa beban dosa yang ditanggung manusia sangat berat. Ia sangat mempengaruhi cara hidup manusia. Namun pada saat yang sama, saya tahu bahwa Tuhan tak menginginkan kematian orang-orang berdosa. Dalam hal ini lah batin saya selalu bergumul. Di satu sisi saya merasa cengkeraman dosa itu begitu besar. Tapi di sisi lain saya yakin Tuhan adalah pengasih. Bertahun-tahun saya gelisah, mencari kedamaian dengan berusaha memperbaiki tingkah lakunya. Dan pada akhirnya saya menyadari bukan usaha saya yang membuat saya selamat. Tetapi kasih Tuhan saja lah.
Itu saya dapatkan ketika saya membaca sebuah buku berjudul An der Pforte. Sungguh saya merasa dibukakan mata saya dan saya merasa betapa dosa saya telah diampuni oleh Yesus.
ebenezersiadari:Jadi karena itu Om jadi misionaris?
agustheis1903: Saya makin rajin memahami ajaran Kristen. Saya rajin mendengarkan khotbah. Dan saya makin lama tak bisa menyembunyikan keinginan untuk menjadi misionaris. Terutama setelah saya mendengar bahwa zending mempunyai misi yang besar untuk membawa Terang kepada orang-orang yang dalam kegelapan. Itu lah awalnya saya mendaftar di Seminari Zending di Barmen. Waktu itu umur saya 21 tahun. Saya mendapat panggilan dari direktur RMG. Tujuh tahun saya belajar di sana hingga menerima berkat kependetaan pada tanggal 6 Agustus 1902. Dan tak berapa lama kemudian, saya pergi ke tanah Anda, Simalungun.
ebenezersiadari: Sebuah perjalanan hidup yang sangat berarti Om. Terimakasih telah berbagi dengan saya.
agustheis1903: Terimakasih juga telah mau mendengar, sejarah yang menurut saya biasa saja ini. Dan sudah berulangkali ditulis orang.
ebenezersiadari: Terimakasih Om.
2 April 2006
© Eben Ezer Siadari.
Catatan: Hampir seluruh isi wawancara ini didasarkan pada buku, Pandita August Theis, Missionar Voller Hffnung, oleh A. Munthe, Kolportase GKPS, 1987. Tetapi bila ada kesalahan mau pun kenekadan penafsiran, itu adalah tanggung jawab penulis. Mohon dimaafkan.
1 Comments:
syalom pak Eben,
saya Aprilianus Sinaga.
terimakasih untuk tulisan bapak,
oh iy,
apakah bapak memiliki email ID bpk Martin Lukito Sinaga?
Post a Comment
<< Home