Martin Sinaga: Si Manusia Pasca (1)
Martin Sinaga: Si Manusia Pasca
Pertama kali dengar namanya adalah dari seorang sahabat. Seorang Jawa kelahiran Malang, bekas wartawan yang kemudian mencemplungkan diri kepada dunia 'pelayanan.' Lantas ia mengambil program magister di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.
Katanya bertanya kepada saya: "Eh, lu kan orang Simalungun. Kenal nggak Martin Sinaga, pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) yang ngajar di STT Jakarta? Dia dosen gue."
Pertanyaan ini sulit saya jawab. Ada dua hal penyebabnya.
Pertama, orang (Batak) Simalungun mungkin tak mengakui saya orang Simalungun karena marga saya Siadari. Dan benar, ayah saya memang orang (Batak) Toba dan Siadari adalah marga orang Toba. Ibu saya lah yang orang Simalungun, bermarga Damanik. Tapi betul. Saya selalu merasa sebagai orang Simalungun. Dan pada saat yang sama orang Toba juga. Saya tumbuh di Sarimatondang, wilayah Simalungun. Dan sejak kecil iman saya ditempa oleh GKPS, yang 'menyapa' jemaatnya dengan Bahasa Simalungun. Dan teman saya tahu itu. Dan karena itu ia selalu menganggap saya orang Batak. Dan orang Simalungun. Apalagi ketika suatu saat kawan saya itu meresensi buku tentang panduan wisata dan menyinggung-nyinggung tentang wisata kebun teh di Sumatera Utara, saya bersikeras kepadanya agar memasukkan nama desa saya, Sarimatondang Sidamanik yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun dalam resensinya itu. Dan ia memasukkannya. Dan mungkin karena itu lah ia bertambah kuat menduga saya orang Simalungun.
Kedua, pertanyaan si kawan sulit saya jawab karena saya memang tak mengenal Martin Sinaga. Saya memang selalu merasa dekat dan tersentuh setiap kali orang menyinggung GKPS, tempat saya dibaptis, angkat sidi dan menikah. Dan karena itu pula saya merasa kecewa karena saya tak mengenal Martin Sinaga yang dia katakan itu.
Itu sebabnya saya menjawabnya dengan pertanyaan pula. "Emang kenapa Martin Sinaga?"
"Hebat dia Jack," kata dia, menyapa saya dengan Jack, panggilan akrab kami satu sama lain. "Teologianya hebat."
Pujian itu sungguh memancing rasa penasaran saya. Dan saya pun mencoba-coba mencari tahu, siapa sih Martin Sinaga? Apalagi dari teman itu saya tahu bahwa Martin sudah menyandang gelar doktor teologia, sesuatu yang langka di lingkungan GKPS, kendati gereja itu sudah berusia 100 tahun.
Belakangan dari seorang kerabat, saya akhirnya tahu bahwa Martin adalah salah seorang putra dari Ny. Deborah Sinaga. Nah, nama ini memang akrab di telinga saya. Sebab, dulu ketika saya Sekolah Minggu, Bu Deborah adalah pendeta pembina Sekolah Minggu GKPS. Saya hanya sekali saja ketemu beliau, ketika ada pesta Sekolah Minggu di Sibuntuon, sebuah desa sejauh satu jam perjalanan dari kampung saya. Tetapi pertemuan itu sungguh mengesankan. Karena Bu Deborah Sinaga menghadiahi saya sebuah katekhismus karena saya berhasil menjawab sebuah pertanyaan kuis. (Tulisan saya tentang beliau, saya turunkan dalam judul Deborah yang Memukau).
Akhirnya saya tahu lebih lengkap lagi. Bahwa Martin dilahirkan dari sebuah keluarga pendeta. Ayahnya pendeta. Ibunya juga pendeta. Dan Martin Sinaga itu, yang nama lengkapnya adalah Martin Lukito Sinaga (MLS), bukan hanya pendeta. Tetapi juga intelektual teologia yang mengabdikan diri di Sekolah Teologia. Kelak saya tahu, ia tak lagi bisa dikandangkan dalam status apa pun sebab pikirannya jauh melanglang buana pengkotak-kotakan. Ia melibatkan diri dalam dunia yang berjumpa dengan banyak pemahaman sehingga ia bukan lagi bisa saya bayangkan sebagai pendeta yang berkhotbah di tengah jemaatnya. Tapi justru sebagai orang yang terus ingin menguji khotbah-khotbahnya hingga jauh dari jemaat-jemaatnya sendiri.
Dan, waktu memberikan kesempatan kepada saya bertemu dengan dia. Sebuah keberuntungan atau takdir?
Dimana Kampung Kita?
Suatu waktu, karena saya melibatkan diri pada sebuah milis, dimana MLS juga turut serta sebagai anggotanya, saya berkesempatan berkenalan dengannya. Ketika itu para anggota milis itu mengadakan pertemuan. Dan kami berkenalan ala kadarnya.
Saya masih ingat sedikit rincian pertemuan itu. Saya menjemputnya di rumahnya, di kawasan kampus STT Jakarta bersama seorang kawan. Sang kawan menyapanya dengan Bahasa Simalungun yang fasih, yang selalu membuat saya minder dan malu. Lalu saya juga memperkenalkan diri dengan Bahasa Simalungun saya yang, bila dianalogikan dengan Bahasa Jawa, adalah Bahasa Simalungun ngapak.
Dan rupanya, ia mencium Bahasa Simalungun saya yang ngapak itu. Sebab kemudian ia bertanya: "Ija do hutanta?" yang artinya, dimana kampung mu.
Saya tahu arah pertanyaan ini sebab inilah biasanya cara orang Batak pada umumnya untuk mengukur kadar 'keBatakannya.' Setelah saya menjawab sejujurnya, bahwa saya dari Sarimatondang, sebuah desa yang orang Simalungun dan orang dari suku lain sudah berbaur demikian dalamnya, ia menjawab, bahwa pantas saja Bahasa Simalungun saya rada ngapak. Tidak paten. Tidak kental.
Saya tersenyum kecut.
Awalnya saya menganggap pertanyaan itu sebuah pagar, untuk menunjukkan dimana posisi saya sebagai orang yang setengah Simalungun. Ternyata saya salah. Setelah makin lama kami berdiskusi dalam pertemuan itu, saya makin tahu, Martin rupanya bukan orang yang dengan mudah mengacaukan pandangannya pada identitas-identitas semacam itu. Yang ia selalu lihat adalah ide, pikiran-pikiran.
Dan dalam pertemuan itu, saya akhirnya tahu sebuah pantun Simalungun yang benar-benar memberikan harapan pada saya bahwa dalam Simalungun juga ada keterbukaan, ada kesadaran akan pentingnya keragaman. Semacam keramahan terhadap siapa pun asal niat dan pikirannya baik. Begini bunyinya:
Sin Raya Sin Purba
Sin Dolog Sin Panei
Na ija pe lang muba
Asalma marholong ni atei.
(Secara ringkas, pesan pantun itu, adalah:
'Siapa pun tak ada bedanya
Sepanjang ia pengasih').
Saya pun senang. Dan catatan saya tentang pertemuan yang populer dnegan sebutan Kopdar (Kopi darat), saya buatkan sebagai berikut:
THE MASTER OF THE KOPDAR
….Diskusi itu panas. Diskusi itu
berisik. Tapi beruntunglah saya, yang sudah gelisah
karena waktu terus berjalan dan lapo akan tutup persis
pukul 21:00, mempunyai Om yang dapat diandalkan yakni
Om Martin yang bukan hanya memandu tetapi juga
mengarahkan diskusi dengan baik. Ada satu pepatah
yang diucapkannya, yang begitu berkesan bagi saya,
yang bunyinya begini:
Buat saya itu bukan hanya menunjukkan bahwa orang
Simalungun adalah orang yang terbuka. Tetapi lebih
jauh, orang Simalungun adalah orang yang bisa menerima
perbedaan bukan sekadar basa-basi tetapi karena
esensi. Perbedaan, keanekaragaman latarbelakang adalah
baik sepanjang sifatnya dan substansinya adalah baik,
yakni kasih. Hebat, bukan?
Om Martin memandu diskusi dengan kepiawaian seorang
Empu sekaligus Diplomat ulung. Saya tak pernah menduga
bahwa diskusi antarorang yang baru saja saling kenal
dapat demikian hidup. Seorang Om saya pernah berkata
begini. Orang yang paling tidak menarik sebagai lawan
bicara adalah Guru, dokter dan pendeta. Mengapa?
Karena mereka terbiasa berbicara one way, apakah
ketika mengajar, memberi advis kepada pasien dan
ketika berkhotbah.
Pendapat itu tidak berlaku pada Om Martin. Ia sama
sabarnya ketika mendengar mau pun ketika melontarkan
pemikirannya. Ia memberikan kesempatan yang sama
kepada semua orang. Ia juga dengan cepat mendeteksi
seseorang sedang benar-benar menjabarkan pemikiran
atau sekadar memamerkan pengetahuan dan keahlian.
Karena itu pula diskusi sore itu dengan cepat
mengerucut kepada upaya untuk merumuskan
langkah-langkah. Salah satu pertanyaan Om Martin yang
benar-benar menggelitik saya di kopdar itu adalah,
bila kita-kita peserta kopdar ingin berbuat sesuatu
untuk GKPS dan Simalungun, dimanakah kita duduk, dan
dimana alamat yang kita tuju. (Benar begitu, Om
Martin?)
Saya kira pertanyaan itu tidak hanya akan bisa dibahas
dalam satu kopdar. Tetapi dalam satu kopdar itu pun
sebetulnya orang sudah mulai berpikir dan menemukan
jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin jawabannya tidak
tunggal, Mungkin pula tidak semua orang kelak harus
berada dalam satu biduk untuk mewujudkannya. Tetapi
buat saya pribadi, Om Martin telah menakhodai diskusi
itu dengan baik. Terimakasih Om Martin.
Setelah itu saya beberapa kali masih saling bertukar sapa lewat SMS dengan beliau. Sebuah kado Tahun barunya yang tak pernah saya lupa, adalah sebuah pesan SMS mengucapkan Selamat Tahun Baru dengan imbuhan, agar sudilah saya membaca tulisannya di Harian Kompas. Dan saya benar-benar membacanya. Tentang Natal sebagai awal melakukan langkah-langkah sederhana, yang kecil, untuk tujuan-tujuan yang besar.
Makin pula saya ingin tahu tentang dia. Makin saya ingin mencari apa yang bisa dibanggakan orang Simalungun darinya, kalau memang ada. Dan makin pula saya ingin menemukan apa yang dapat saya pelajari dari dia. MLS, Si Manusia Pasca.
Si Manusia Pasca?
(Lanjut ke bagian 2)
Catatan; Sebagian besar tulisan ini diambil dari bahan-bahan sekunder di internet, termasuk dari barita-simalungun@yahoogroups.com yang di owner-moderated-i oleh JRS
Foto: Suara Pembaruan
Pertama kali dengar namanya adalah dari seorang sahabat. Seorang Jawa kelahiran Malang, bekas wartawan yang kemudian mencemplungkan diri kepada dunia 'pelayanan.' Lantas ia mengambil program magister di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.
Katanya bertanya kepada saya: "Eh, lu kan orang Simalungun. Kenal nggak Martin Sinaga, pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) yang ngajar di STT Jakarta? Dia dosen gue."
Pertanyaan ini sulit saya jawab. Ada dua hal penyebabnya.
Pertama, orang (Batak) Simalungun mungkin tak mengakui saya orang Simalungun karena marga saya Siadari. Dan benar, ayah saya memang orang (Batak) Toba dan Siadari adalah marga orang Toba. Ibu saya lah yang orang Simalungun, bermarga Damanik. Tapi betul. Saya selalu merasa sebagai orang Simalungun. Dan pada saat yang sama orang Toba juga. Saya tumbuh di Sarimatondang, wilayah Simalungun. Dan sejak kecil iman saya ditempa oleh GKPS, yang 'menyapa' jemaatnya dengan Bahasa Simalungun. Dan teman saya tahu itu. Dan karena itu ia selalu menganggap saya orang Batak. Dan orang Simalungun. Apalagi ketika suatu saat kawan saya itu meresensi buku tentang panduan wisata dan menyinggung-nyinggung tentang wisata kebun teh di Sumatera Utara, saya bersikeras kepadanya agar memasukkan nama desa saya, Sarimatondang Sidamanik yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun dalam resensinya itu. Dan ia memasukkannya. Dan mungkin karena itu lah ia bertambah kuat menduga saya orang Simalungun.
Kedua, pertanyaan si kawan sulit saya jawab karena saya memang tak mengenal Martin Sinaga. Saya memang selalu merasa dekat dan tersentuh setiap kali orang menyinggung GKPS, tempat saya dibaptis, angkat sidi dan menikah. Dan karena itu pula saya merasa kecewa karena saya tak mengenal Martin Sinaga yang dia katakan itu.
Itu sebabnya saya menjawabnya dengan pertanyaan pula. "Emang kenapa Martin Sinaga?"
"Hebat dia Jack," kata dia, menyapa saya dengan Jack, panggilan akrab kami satu sama lain. "Teologianya hebat."
Pujian itu sungguh memancing rasa penasaran saya. Dan saya pun mencoba-coba mencari tahu, siapa sih Martin Sinaga? Apalagi dari teman itu saya tahu bahwa Martin sudah menyandang gelar doktor teologia, sesuatu yang langka di lingkungan GKPS, kendati gereja itu sudah berusia 100 tahun.
Belakangan dari seorang kerabat, saya akhirnya tahu bahwa Martin adalah salah seorang putra dari Ny. Deborah Sinaga. Nah, nama ini memang akrab di telinga saya. Sebab, dulu ketika saya Sekolah Minggu, Bu Deborah adalah pendeta pembina Sekolah Minggu GKPS. Saya hanya sekali saja ketemu beliau, ketika ada pesta Sekolah Minggu di Sibuntuon, sebuah desa sejauh satu jam perjalanan dari kampung saya. Tetapi pertemuan itu sungguh mengesankan. Karena Bu Deborah Sinaga menghadiahi saya sebuah katekhismus karena saya berhasil menjawab sebuah pertanyaan kuis. (Tulisan saya tentang beliau, saya turunkan dalam judul Deborah yang Memukau).
Akhirnya saya tahu lebih lengkap lagi. Bahwa Martin dilahirkan dari sebuah keluarga pendeta. Ayahnya pendeta. Ibunya juga pendeta. Dan Martin Sinaga itu, yang nama lengkapnya adalah Martin Lukito Sinaga (MLS), bukan hanya pendeta. Tetapi juga intelektual teologia yang mengabdikan diri di Sekolah Teologia. Kelak saya tahu, ia tak lagi bisa dikandangkan dalam status apa pun sebab pikirannya jauh melanglang buana pengkotak-kotakan. Ia melibatkan diri dalam dunia yang berjumpa dengan banyak pemahaman sehingga ia bukan lagi bisa saya bayangkan sebagai pendeta yang berkhotbah di tengah jemaatnya. Tapi justru sebagai orang yang terus ingin menguji khotbah-khotbahnya hingga jauh dari jemaat-jemaatnya sendiri.
Dan, waktu memberikan kesempatan kepada saya bertemu dengan dia. Sebuah keberuntungan atau takdir?
Dimana Kampung Kita?
Suatu waktu, karena saya melibatkan diri pada sebuah milis, dimana MLS juga turut serta sebagai anggotanya, saya berkesempatan berkenalan dengannya. Ketika itu para anggota milis itu mengadakan pertemuan. Dan kami berkenalan ala kadarnya.
Saya masih ingat sedikit rincian pertemuan itu. Saya menjemputnya di rumahnya, di kawasan kampus STT Jakarta bersama seorang kawan. Sang kawan menyapanya dengan Bahasa Simalungun yang fasih, yang selalu membuat saya minder dan malu. Lalu saya juga memperkenalkan diri dengan Bahasa Simalungun saya yang, bila dianalogikan dengan Bahasa Jawa, adalah Bahasa Simalungun ngapak.
Dan rupanya, ia mencium Bahasa Simalungun saya yang ngapak itu. Sebab kemudian ia bertanya: "Ija do hutanta?" yang artinya, dimana kampung mu.
Saya tahu arah pertanyaan ini sebab inilah biasanya cara orang Batak pada umumnya untuk mengukur kadar 'keBatakannya.' Setelah saya menjawab sejujurnya, bahwa saya dari Sarimatondang, sebuah desa yang orang Simalungun dan orang dari suku lain sudah berbaur demikian dalamnya, ia menjawab, bahwa pantas saja Bahasa Simalungun saya rada ngapak. Tidak paten. Tidak kental.
Saya tersenyum kecut.
Awalnya saya menganggap pertanyaan itu sebuah pagar, untuk menunjukkan dimana posisi saya sebagai orang yang setengah Simalungun. Ternyata saya salah. Setelah makin lama kami berdiskusi dalam pertemuan itu, saya makin tahu, Martin rupanya bukan orang yang dengan mudah mengacaukan pandangannya pada identitas-identitas semacam itu. Yang ia selalu lihat adalah ide, pikiran-pikiran.
Dan dalam pertemuan itu, saya akhirnya tahu sebuah pantun Simalungun yang benar-benar memberikan harapan pada saya bahwa dalam Simalungun juga ada keterbukaan, ada kesadaran akan pentingnya keragaman. Semacam keramahan terhadap siapa pun asal niat dan pikirannya baik. Begini bunyinya:
Sin Raya Sin Purba
Sin Dolog Sin Panei
Na ija pe lang muba
Asalma marholong ni atei.
(Secara ringkas, pesan pantun itu, adalah:
'Siapa pun tak ada bedanya
Sepanjang ia pengasih').
Saya pun senang. Dan catatan saya tentang pertemuan yang populer dnegan sebutan Kopdar (Kopi darat), saya buatkan sebagai berikut:
THE MASTER OF THE KOPDAR
….Diskusi itu panas. Diskusi itu
berisik. Tapi beruntunglah saya, yang sudah gelisah
karena waktu terus berjalan dan lapo akan tutup persis
pukul 21:00, mempunyai Om yang dapat diandalkan yakni
Om Martin yang bukan hanya memandu tetapi juga
mengarahkan diskusi dengan baik. Ada satu pepatah
yang diucapkannya, yang begitu berkesan bagi saya,
yang bunyinya begini:
Buat saya itu bukan hanya menunjukkan bahwa orang
Simalungun adalah orang yang terbuka. Tetapi lebih
jauh, orang Simalungun adalah orang yang bisa menerima
perbedaan bukan sekadar basa-basi tetapi karena
esensi. Perbedaan, keanekaragaman latarbelakang adalah
baik sepanjang sifatnya dan substansinya adalah baik,
yakni kasih. Hebat, bukan?
Om Martin memandu diskusi dengan kepiawaian seorang
Empu sekaligus Diplomat ulung. Saya tak pernah menduga
bahwa diskusi antarorang yang baru saja saling kenal
dapat demikian hidup. Seorang Om saya pernah berkata
begini. Orang yang paling tidak menarik sebagai lawan
bicara adalah Guru, dokter dan pendeta. Mengapa?
Karena mereka terbiasa berbicara one way, apakah
ketika mengajar, memberi advis kepada pasien dan
ketika berkhotbah.
Pendapat itu tidak berlaku pada Om Martin. Ia sama
sabarnya ketika mendengar mau pun ketika melontarkan
pemikirannya. Ia memberikan kesempatan yang sama
kepada semua orang. Ia juga dengan cepat mendeteksi
seseorang sedang benar-benar menjabarkan pemikiran
atau sekadar memamerkan pengetahuan dan keahlian.
Karena itu pula diskusi sore itu dengan cepat
mengerucut kepada upaya untuk merumuskan
langkah-langkah. Salah satu pertanyaan Om Martin yang
benar-benar menggelitik saya di kopdar itu adalah,
bila kita-kita peserta kopdar ingin berbuat sesuatu
untuk GKPS dan Simalungun, dimanakah kita duduk, dan
dimana alamat yang kita tuju. (Benar begitu, Om
Martin?)
Saya kira pertanyaan itu tidak hanya akan bisa dibahas
dalam satu kopdar. Tetapi dalam satu kopdar itu pun
sebetulnya orang sudah mulai berpikir dan menemukan
jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin jawabannya tidak
tunggal, Mungkin pula tidak semua orang kelak harus
berada dalam satu biduk untuk mewujudkannya. Tetapi
buat saya pribadi, Om Martin telah menakhodai diskusi
itu dengan baik. Terimakasih Om Martin.
Setelah itu saya beberapa kali masih saling bertukar sapa lewat SMS dengan beliau. Sebuah kado Tahun barunya yang tak pernah saya lupa, adalah sebuah pesan SMS mengucapkan Selamat Tahun Baru dengan imbuhan, agar sudilah saya membaca tulisannya di Harian Kompas. Dan saya benar-benar membacanya. Tentang Natal sebagai awal melakukan langkah-langkah sederhana, yang kecil, untuk tujuan-tujuan yang besar.
Makin pula saya ingin tahu tentang dia. Makin saya ingin mencari apa yang bisa dibanggakan orang Simalungun darinya, kalau memang ada. Dan makin pula saya ingin menemukan apa yang dapat saya pelajari dari dia. MLS, Si Manusia Pasca.
Si Manusia Pasca?
(Lanjut ke bagian 2)
Catatan; Sebagian besar tulisan ini diambil dari bahan-bahan sekunder di internet, termasuk dari barita-simalungun@yahoogroups.com yang di owner-moderated-i oleh JRS
Foto: Suara Pembaruan