Bagian II: Guru Saya itu, Parorot JugaSeingat saya, SMS saya yang pertama kali saya kirimkan kepada Mansen Purba (MP), sahabat baru yang sekaligus Guru saya itu, adalah SMS yang sedikit berbau formal dan saya kirimkan dalam bahasa Simalungun. Saya mengirimkan SMS kepada MP untuk meminta kesediaannya melanjutkan diskusinya dengan Dr. Martin Sinaga STh yang sudah mereka lakukan di milis. Saya menilai diskusi mereka itu sangat bermutu dan memberikan banyak pemahaman baru kepada peserta milis yang lain, terutama yang masih muda-muda.6)
Melalui SMS itu pula saya mengatakan alangkan baiknya bila keduanya dapat mengintensifkan dialog mereka, di dunia maya itu mau pun di dunia nyata, dalam bentuk kopdar atau 'kopi darat'.7) Maka dalam SMS saya kepada MP, saya mengatakan harapan agar diskusi mereka itu dapat berlanjut terus dan bila perlu diwujudkan di 'darat' dalam bentuk panel diskusi atau semi seminar.
SMS saya itu mendapat jawaban yang simpatik. Ia bahkan menganjurkan agar forum kopi darat itu benar-benar dirancang serius, baik tema mau pun bentuk kopi daratnya. Sebab ia berharap kopi darat itu sebaiknya menghasilkan sesuatu. Dan yang lebih penting topiknya tidak ngelantur kesana kemari.
Percakapan lewat SMS kami ternyata berlanjut terus setelah itu. Dan, di sini lah peran MP sebagai guru bagi saya, yang baik dalam hal umur apalagi pengalaman sebagai orang Simalungun masih sangat hijau, semakin terlihat. Semula, SMS yang saya kirimkan dalam Bahasa Simalungun yang marpasir-pasir 8) itu saya maksudkan hanya sebuah basa-basi tatakrama, sekadar mempererat perasaan sesama orang Simalungun. Namun tanpa saya sadari, MP ternyata menggiring saya pada percakapan yang lebih mendalam, baik dalam substansinya, mau pun dalam penggunaan Bahasa Simalungun itu sendiri. Tidak sekali pun MP menggunakan Bahasa Indonesia dalam menjawab SMS-SMS saya. Bersamaan dengan itu, ia dengan sabar, tak henti-henti memperbaiki Bahasa Simalungun saya yang berjumpalitan, walau pun dengan begitu ia harus menanggung risiko pulsanya lebih banyak terkuras dan pesan-pesan yang dia sampaikan sangat panjang memenuhi memori telepon genggam saya.
Yang lebih mengejutkan saya, MP ternyata dengan cermat membuat arsip percakapan kami melalui SMS itu, membuat transkripnya dan mengirimkannya kepada saya. Dalam arsip yang dia buat itu, sudah ia tandai, dalam kata apa saja dan dalam bentuk yang bagaimana, Bahasa Simalungun saya salah dan bagaimana seharusnya yang benar.9) Ia dengan teliti memberi koreksi, bahkan kadang-kadang ia tak sekadar memberikan pengertian dari kata tersebut, melainkan juga konteksnya dalam budaya Simalungun.
Misalnya, sekali waktu setelah sebuah percakapan SMS yang panjang, saya agak 'menyerah' dan ingin mengakhirinya dengan mengucapkan terimakasih. Maka saya menyampaikan SMS dalam Bahasa Simalungun seperti berikut ini.
Eben: Tarimakasih tulang.
Ulang jora homa mangajar2ì (Terimakasih Paman. Jangan kapok Anda mengajari [saya})
Tak dinyana, MP memberikan jawaban yang panjang, yang pada intinya menyiratkan keterbukaan untuk berdiskusi lebih lanjut dan kesediaan memberikan nasihat-nasihat lebih banyak lagi. Ia menjawab SMS itu begini:
MP:
Lang jora, lang loja. Gariada marsujihon pambotoh do ai, ai nini MLS, sahap Sim ma namin 'esai' ni barita pargoluonku. Rusak au ham do lang tolap (pulsa? he he). Ai ma ase hununut do: ihatahon ham 'mangajar2ì'. Naijahani do: 'mangajar-ajari' (=membujuk) do? 'mangajari' (mamodahi) do? Haduasi ma tene. (Tidak kapok dan tidak capek. Bahkan itu akan mengujicoba pengetahuan, kok, karena menurut MLS (Dr Martin Sinaga STh), bahasa Simalungun lah esai dari kisah hidup saya. Saya justru khawati Anda lah yang nggak sanggup (pulsa? He..he). Yang mana yang Anda maksud dengan kata 'mangajar-ajari’. =Membujuk kah? Atau menasihatikah? Dua-duanya lah ya?)
Dalam hati saya bertanya, apa sebenarnya yang diharapkan oleh seorang tokoh seperti MP, dengan semua yang dilakukannya ini kepada seseorang yang masih hijau seperti saya, yang dalam ukuran apa pun mungkin tak akan memberikan nilai tambah bagi hidupnya yang menurut saya sudah mencapai tingkat yang tak memerlukan lagi kawan diskusi seperti saya.
Saya juga ingin tahu mengapa ia demikian ngotot menggunakan Bahasa Simalungun dalam setiap percakapannya dengan saya. Apakah ia sekadar ingin melampiaskan kemampuan dan kefasihannya berbahasa Simalungun atau apakah ia sedang memamerkan keindahan Bahasa Simalungun yang makin lama makin jarang kita temukan?
Saya akhirnya menduga bahwa barangkali semua motif itu ada padanya. Tapi setelah saya dalami lagi dan membaca tulisan-tulisannya, saya berpendapat tampaknya MP menginginkan hal yang lebih dalam lagi. Dan, ini berhubungan dengan posisi yang telah berkali-kali ia sampaikan, bahwa ia tak ingin Simalungun dihinakan karena dan demi alasan apa pun. MP berkeyakinan posisi semacam itu hanya dapat ia capai dengan memulai dari dirinya sendiri memberi contoh bagaimana menjadi orang Simalungun. Dan salah satu bentuknya adalah dengan menggunakan Bahasa Simalungun bila berbicara dengan orang Simalungun.
Keyakinan seperti ini saya dapatkan setelah saya membaca sebuah tulisannya di blognya yang berjudul, Budaya lah yang Membedakan Bangsa. Dari tulisannya itu, saya melihat bahwa MP berpendapat Orang Simalungun hanya akan bisa eksis dan dikenal sebagai suatu etnik apabila orang Simalungun tetap mempertahankan budayanya. Menurut dia, budaya lah yang menunjukkan keberbedaan satu etnik dengan etnik lain. Dan budaya hanya dapat dipertahankan dan dipertunjukkan keberadaannya melalui tiga hal, pertama, bahasam kedua, adat-istiadat dan ketiga, kesenian.
Dalam Bahasa Simalungun, MP mengatakan begini:
Aspek budaya na takkas taridah paleganhon suku na sada humbani na legannari, ai ma sahap, adat pakon kesenian. Tarlobih bani suku-bangsa Simalungun, aspek budaya na tolu in mando mambahen targoran ia suku bangsa. Anggo lambin lang be ihargahon sahap Simalungun, lambin roh simouni ma suku bangsa in. Anggo lambin lang be taridah hinalegan ni adat perkawinan ni Simalungun, hira dos mando songon adat ni simbalog (Toba), lambin roh langni ma suku bangsa Simalungun. Anggo lambin tading ma inggou Simalungun, rosuhan bani inggou suku na legan (atap India?), roh sasapni ma suku bangsa Simalungun. (Aspek budaya yang paling jelas memperlihatkan satu suku dari yang lain adalah bahasa, adat dan kesenian. Terutama bagi suku bangsa Simalungun, tinggal ketiga aspek budaya ini lah yang membuat mereka dapat disebut sebagai sebuah suku bangsa. Kalau kita makin tak menghargai bahasa Simalungun, makin samarlah kehadiran suku bangsa itu. Kalau makin tak terlihat lagi perbedaan adat perkawinan Simalungun, dan makin sama saja dengan adat tetangganya (Toba), makin tak terlihat pula Simalungun sebagai sebuah suku. Kalau makin tertinggal lah inggou, semacam cengkok yang khas dalam lagu-lagu Simalungun, dan lebih suka pada cengkok pada musik bangsa lain (misalnya, India?), makin terhapus lah suku bangsa Simalungun.)
Dalam hati saya mengakui kebenaran posisi yang diambil MP ini. Sudah seringkali saya melihat orang Simalungun, termasuk saya kadang-kadang, agak enggan menggunakan Bahasa Simalungun dalam percakapan dengan sesama orang Simalungun. Dan alasan untuk tak menggunakan bahasa itu seringkali sangat ironis dan dangkal. Yakni karena takut salah, atau takut lawan bicara kita tak mengerti. (Lucu ya, mengapa kita malu salah, dalam menggunakan bahasa kita sendiri dengan sesama suku sendiri? Bukankah dengan begitu kita dapat memperbaiki kesalahan tanpa merasa malu atau dipermalukan?)
Yang lebih parah adalah adanya rasa malu menggunakan Bahasa Simalungun. Semacam perasaan bahwa Bahasa Simalungun itu agak terbelakang, terlalu mendayu-dayu dan kurang dinamis. Saya pernah mendengar penilaian semacam ini dikemukakan oleh seorang Simalungun dan saya kira ini agak kurang beralasan karena Bahasa Jawa dan langgam Jawa yang tak kalah mendayu-dayu, toh tidak serta-merta membuat orang Jawa malu menggunakannya.
Karena merasa alasan-alasan yang dikemukakannya ini memang benar, ditambah dengan bagaimana MP dengan tulisan-tulisannya sendiri dapat menunjukkan bahwa Bahasa Simalungun sebenarnya tak kalah lengkapnya dengan bahasa lain untuk digunakan dalam mengekspressikan diri, saya ingin dan makin tergugah mempelajari Bahasa Simalungun dan budayanya. Juga saya memulai menulis dalam Bahasa Simalungun walau pun nilai saya dalam hal ini saya yakini sangatlah buruknya.10)
Pendapatnya yang lain, yang menurut saya sangat tajam dan mengandung kebenaran yang tak bisa terbantah, adalah makin rendahnya kualitas penguasaan Bahasa Simalungun di kalangan pendeta GKPS, yang notabene satu-satunya gereja yang bercirikan Simalungun. Dalam sebuah pertanyaan yang sangat mengundang saya untuk merenung MP menulis, mengapa jika seseorang ketika akan kuliah di negara yang berbahasa Inggris, ia diharuskan menguasai bahasa itu dan disyaratkan pula ada skor TOEFL, tetapi di kalangan pendeta GKPS yang seharusnya berkhotbah dalam Bahasa Simalungun, tidak ada aturan yang mengharuskannya menguasai Bahasa Simalungun dengan baik? Saya sendiri mengaminkan pendapat ini, terutama karena setelah sekian banyak mengikuti ibadah di GKPS, saya makin menyadari makin kurangnya keindahan bahasa Simalungun yang ditunjukkan oleh para pengkhotbahnya.
Yang lebih menyentuh saya, dan saya kira orang Simalungun lain juga banyak yang berpendapat demikian, adalah pendapatnya yang mengaitkan keberadaan Bahasa Simalungun dengan iman kebanyakan orang Simalungun. Dalam sebuah tulisannya ia mengatakan, Tuhan telah menyapa orang Simalungun melalui Bahasa Simalungun (dalam Bahasa Simalungun, ia mengatakan, isisei Naibata do halak Simalungun marhitei sahap Simalungun), dan bahkan Alkitab berbahasa Simalungun pun sudah ada sejak lama. Maka sangat wajarlah jika bahasa itu tak boleh dibiarkan punah, apalagi dianggap terbelakang.
Namun yang paling membuat saya senang, dan ini memang sifatnya sangat subjektif, adalah pendiriannya yang sangat terbuka namun sekaligus sangat substantif dalam perdebatan mengenai keSimalungunan. Secara gamblang, MP mengatakan bahwa seseorang sebagai orang Simalungun tak harus dinilai dari ‘darah Simalungun’ yang mengalir pada dirinya, bukan dari asal-muasal keturunannya, apalagi pula dari sekadar marga yang disandangnya.
Bagi saya, dan sekali lagi ini barangkali sifatnya sangat subjektif, pendapatnya ini akan sangat penting bagi keberadaan orang Simalungun di kemudian hari. Barangkali sudah keniscayaan sejarah bahwa orang Simalungun banyak sekali dipengaruhi oleh suku bangsa lain, terutama orang Toba yang bersama-sama dengan orang Simalungun kerap dikategorikan dalam satu rumpun suku Batak. (Dalam hal ini sekarang muncul kesadaran baru sekaligus perdebatan di kalangan orang Simalungun bahwa Simalungun dan Toba adalah etnik yang berbeda).
Perkawinan antara orang Toba dan orang Simalungun sudah lama terjadi dan berkecenderungan semakin meningkat. Perkawinan orang-orang dari kedua suku itu relatif tidak menghadirkan masalah, paling tidak bila dibandingkan dengan perkawinan antara orang Simalungun dengan suku lain. Barangkali ini dikarenakan banyaknya kemiripan, baik dalam hal adat mau pun bahasa, dan juga kedekatan geografis.
Karena itu pula, barangkali tak terhitung lagi sudah berapa banyak warga Simalungun yang dilahirkan akibat percampuran kedua suku ini, termasuk saya sendiri, yang bermarga Siadari (Toba), dari ayah yang bermarga Siadari dan ibu bermarga Damanik (Simalungun). Orang-orang seperti saya, seringkali gamang dalam menentukan posisinya, apakah dirinya orang Toba atau orang Simalungun.
Bila mengikuti adat Toba mau pun Simalungun yang pada umumnya mengikuti garis keturunan ayah, sudah jelaslah orang seperti saya dianggap sebagai orang Toba walau pun masa kecil dan remaja saya dihabiskan di lingkungan Simalungun. Padahal di saat yang sama, banyak juga orang yang seperti saya yang merasa tak harus melakukan pilihan, apakah ia harus menjadi orang Toba saja atau orang Simalungun saja. Bahkan yang lebih krusial, adalah bagaimana seseorang yang merupakan orang Toba, dan kemudian dengan sukarela menjadikan dirinya sebagai orang Simalungun termasuk dengan menyesuaikan marganya ke dalam rumpun marga di Simalungun (misalnya, marga Manihuruk yang berasal dari Toba, menjadi Saragih Manihuruk di lingkungan Simalungun).
Untuk hal ini, saya menilai MP menyajikan pendapat yang sangat melegakan tetapi juga dengan dasar yang solid, terutama bagi generasi yang lahir dari perkawinan campuran di masa depan. Kata MP:
Bukan asal-muasal marga yang paling menunjukkan adanya suku Simalungun. Kalau itu yang dijadikan landasan, tak mungkin lagi kita selidiki dari mana saja asal-muasal orang Simalungun. Tidak pernah pula pernah terdengar legenda yang mengatakan bahwa asal-muasal marga Simalungun berasal dari satu sumber.
Sistem marga memang termasuk budaya. Tetapi budaya adat perkawinan lah yang menjadi pengikat sistem marga di Simalungun. Itu sebabnya, budaya lah yang dapat dijadikan sebagai landasan melestarikan suku bangsa Simalungun. Bukan asal-muasal nenek-moyang. Walau pun dulunya bukan orang Simalungun, ia akan menjadi orang Simalungun jika ia berbudaya Simalungun. Begitu pula sebaliknya. Walau pun ia dulunya orang Simalungun, sulitlah dia disebut sebagai orang Simalungun jika budayanya sudah lain.
(Dalam bahasa Simalungun:
Sedo hasusuran parmorgaon tang napataridahkon suku bangsa Simalungun. Ai anggo hasusuran do, lang tartakkasi be atap susur hunja hinan do halak Simalungun. Lang homa ongga tarbogei legenda na makkatahon sisada hasusuran hinan halak Simalungun….
Budaya do namin age parmorgaon. Tapi budaya adat perkawinan do rahut-rahut ni parmorgaon i Simalungun. Ai ma ase budaya ma tang na boi bahenon gabe batar-batar pasayurhon suku bangsa Simalungun. Sedo hasusuran. Age pe lang halak Simalungun hinan, gabe halak Simalungun do goranon anggo marbudaya Simalungun do. Sonai homa age suharni ai. Age halak Simalungun hasusuranni, mahol ma goranon ia halak Simalungun anggo budayani domma lang be budaya Simalungun)
Hal ini melegakan, karena menurut saya, orang Simalungun yang menikah dengan orang Toba, Jawa, Sunda (termasuk MP sendiri) akan makin besar jumlahnya di kemudian hari. Kita tidak dapat membayangkan, bagaimana nasib seorang anak yang dilahirkan dari ibu yang seorang Simalungun dengan ayah dari Manado, tetapi dibesarkan dan menyatukan diri dalam budaya Simalungun, dan merasa sebagai orang Simalungun, lalu kemudian dianggap sebagai bukan orang Simalungun.
Dengan pendapatnya yang demikian, MP telah menyediakan pintu masuk bagi orang-orang yang menyediakan diri dan terpanggil untuk ‘menjadi’ dan sebagai orang Simalungun. Pada saat yang sama, pendapat MP juga mengajukan syarat bahwa panggilan menjadi dan sebagai orang Simalungun itu harus dibuktikan lewat kesediaan berbudaya Simalungun, dalam arti berbicara, menjalankan adat-istiadat, dan memahami kesenian Simalungun.
Untuk semua itu, MP tak hanya melemparkan pendapat dan memberi khotbah. Ia sendiri ikut membuka dan mempersiapkan jalan untuk mengundang orang untuk menjadi dan sebagai orang Simalungun itu. Antara lain dengan kemampuannya membuat arsip dan menulis dengan indah dalam Bahasa Simalungun. Saya sempat terkaget-kaget, dan tidak dapat menyembunyikan kekaguman saya, ketika suatu kali MP mengirimi saya sebuah naskah, berisi acara prosesi adat perkawinan Simalungun, lengkap dengan pepatah-petitihnya, yang sudah dalam bentuk dwibahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Simalungun. Transkrip prosesi adat itu sangat detail, baik dalam hal substansinya mau pun penerjemahannya, sehingga orang yang bukan Simalungun pun, saya duga, dapat meraba-raba bukan saja artinya secara harfiah tetapi juga arti filosofis dari prosesi adat itu.
Transkrip prosesi adat Simalungun itu, menurut dia, ia siapkan sendiri ketika ia menikahkan salah seorang putranya yang mempersunting putri dari Semarang. Sampai-sampai saya harus mengirimkan SMS kepada beliau, untuk mengatakan rasa iri saya. Kata saya dalam SMS saya kepada MP, seandainya transkrip seperti itu sudah saya dapatkan sejak dulu, mungkin mertua saya (yang orang Jawa) tidak perlu termangu-mangu ketika mengikuti acara perkawinan saya yang dilaksanakan dalam adat Simalungun.11)
Transkrip prosesi adat ini hanya satu dari sekian banyak contoh dari ketekunannya memelihara budaya Simalungun itu. Masih banyak lagi yang telah ia tuliskan dan arsipkan secara teliti, termasuk tulisan mengenai sistem kekerabatan yang selain rumit, juga menggambarkan kekhasan sistem kekerabatan Simalungun.12) Ia juga menjabarkan bagaimana posisi perempuan dalam adat-istiadat Simalungun untuk menjawab hebohnya perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender di kalangan Simalungun.
Maka setelah membaca banyak sekali yang telah ia tuliskan, dalam hati saya mengatakan bahwa peran MP yang semula saya tempatkan sebagai Guru saya dalam Marsimalungun, untuk ‘menjadi’ dan ‘sebagai’ orang Simalungun, agaknya keliru. Eh, lebih tepatnya tak cukup. Dengan semua pendapatnya itu, saya kira ia telah pula menunjukkan kepedulian, keprihatinan tetapi juga sekaligus kecintaannya kepada Simalungun. Dengan semua pendapat dan kesabarannya itu ia bukan hanya telah mengajar dan menggugah saya untuk menjadi dan sebagai orang Simalungun. Ia, pada saat yang sama, ia telah pula menunjukkan dirinya sebagai orang penjaga dan pemelihara budaya Simalungun, terutama dalam bentuk bahasa, adat-istiadat dan keseniannya. Dan orang Simalungun punya kata yang bagus untuk menggambarkan ini:
Parorot.Parorot?
Saya tak begitu pandai mengatakan apa padanannya dalam Bahasa Indonesia. Dan seandainya ada, saya kira juga akan sulit mengatakannya dalam waktu singkat dan tepat. Saya kira ada sejumlah kata dalam Bahasa Simalungun yang pengertiannya secara utuh tak dapat ditemukan secara tepat dalam Bahasa Indonesia. Semisal kata ‘Manganju.’ Kata ini tampaknya akan menjadi ‘monopoli orang Simalungun dan orang Toba saja yang dapat meraba dan mendalami artinya secara menyeluruh. Sebab suatu kali ia bisa berarti membujuk. Tetapi pada saat yang bersamaan kata itu juga berarti memahami, menerima dengan –terutama-- bukan rasio, melainkan dengan perasaan, dengan hati.
Parorot, dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai penjaga. Tetapi penjaga saja tidak cukup. Ia penjaga yang sekaligus pengasuh, pembmbing dan juga pemelihara. Dalam konteks yang lebih luas, orang Simalungun pada umumnya menganggap Tuhan lah yang mahaparorot, mahapengasuh hidup dan perjalanan hidup manusia.
Kata Rorot sendiri bisa pula berarti diikat secara kencang agar tak bergoyang atau bergeser. Ini biasanya digunakan untuk menggambarkan bagaimana kain gendungan diikatkan ketika menggendong bayi, agar sang bayi tak berisiko jatuh di saat digendong.
Begitu pentingnya peran parorot dan arti kata rorot, dalam adat Simalungun dan adat Batak pada umumnya, ada yang disebut hiou parorot. Ini adalah nama untuk sejenis kain tenunan atau lebih populer dengan sebutan ulos, yang secara hormat dan penuh makna diberikan kepada Amboru, yakni adik atau kakak perempuan yang paling kandung dari seorang pria yang disedang dirayakan/dipestakan pernikahannya. Hiou parorot, atau kain pengasuh itu sebagai simbol bagi permintaan agar sang Amboru, yang secara tradisi dianggap telah menjadi ‘pengasuh’ sang mempelai pria selama ini, tetaplah menjadi ‘pengasuh’ sang mempelai selama hidupnya, walau pun ia telah menikah.
Saya menduga, tak hanya di panggung adat dan pesta perkawinan saja Amboru sering berperan sebagai parorot atau pengasuh. Dalam dunia nyata Orang Simalungun, terutama di zaman dahulu kala ketika menyerahkan pengasuhan anak kepada pembantu belum menjadi kebiasaan, sang Amboru lah yang selalu dipercayakan untuk menjadi parorot seorang bocah. Ia mendapat kepercayaan karena ia adalah adik atau kakak perempuan dari ayah, yang diharapkan dapat mengasihi sang anak seperti anaknya sendiri.
Saya masih ingat di waktu kecil, saya dan lima orang adik saya menikmati betul pengasuhan dari dua orang amboru kami yang mendapat kepercayaan penuh dari kedua orang tua kami. Saya bahkan merasakan bagaimana sang Amboru, yang telah lebih dulu merantau ke Jakarta, membujuk saya untuk sudi ikut bersamanya ke Jakarta, karena ia merasa masa depan saya ikut menjadi tanggung jawabnya.
Barangkali makna parorot yang demikian lah peran MP dalam pandangan saya, peran beliau terhadap budaya Simalungun bila menyimak bagaimana ia peduli dan selalu menggugah orang untuk ‘menjadi’ dan ‘sebagai’ orang Simalungun. Makna parorot yang berarti penjaga, pengasuh dan pemelihara Simalungun itu, ia jalankan dengan kecintaan tetapi sekaligus keprihatinan, karena saya menduga, ia juga khawatir tak banyak lagi orang, terutama yang muda-muda, memberi perhatian serius kepada hal ini.
Idealnya, peran parorot itu dijalankan oleh setiap orang yang mengaku dirinya Simalungun. Dan, bagi MP, peran semacam itulah yang seharusnya menjadi penanda kesejatian seseorang yang mengaku dirinya Simalungun. Seorang Simalungun sejati, sejauh yang dapat saya tangkap dari pemikiran MP, harus mempunyai rasa cinta kepada Simalungun. Rasa cinta yang sangat dalam sehingga baik-buruknya Simalungun harus dianggap baik-buruknya dirinya sendiri. Seperti seorang Amboru kita yang menjadi parorot kita, ia tidak hanya mengasuh dan memelihara, tetapi ia juga menjaga agar sang anak yang diasuhnya berkembang dengan benar dan terhindar dari bahaya.
Kata MP dalam sebuah tulisannya:
“Jika saya melihat ada yang kurang (negatif) pada Simalungun, saya anggap itu kekurangan saya. Tugas saya lah untuk memperbaikinya. Bukan karena hal negatif itu maka Simalungun saya campakkan. Karena saya tak pernah bisa mengingkari bahwa saya orang Simalungun. Tak dapat pula saya mengubah diri saya agar saya bukan Simalungun. Karena itu, tak bisa tidak, dan saya tak punya pilihan, saya harus memperbaiki kekurangan Simalungun itu. Bahkan barangkali karena itulah saya ditakdirkan jadi orang Simalungun.”
Pendiriannya yang demikian ini agaknya didorong juga oleh munculnya aneka orang yang membicarakan Simalungun. Dan MP menduga, banyak sekali orang Simalungun yang membicarakan Simalungun dengan menempatkan diri bukan sebagai orang Simalungun. Dalam sebuah surat-e nya kepada saya, ia mengatakan seharusnya tiap orang dengan jelas menentukan posisinya bila membicarakan Simalungun. Apakah dia yang berbicara itu sebagai orang Simalungun, atau seorang pengamat yang mengamati Simalungun, atau seorang tetangga yang membicarakan tetangganya.13
Dengan demikian, permintaannya agar setiap orang yang mengaku Simalungun agar berbicara sebagai orang Simalungun, saya duga, seharusnya diterima oleh setiap orang yang mengaku dan merasa dirinya Simalungun sebagai teguran sekaligus juga tantangan. Dan dengan apa yang telah dilakukannya, dengan peran yang telah dijalankannya –secara sadar atau tidak—sebagai pengasuh, penjaga dan pemelihara Simalungun, saya kira MP memang layak melontarkannya.
Saya sendiri merasa tertantang ketika dalam sebuah SMSnya MP bertanya kepada saya, secara diplomatis, doa apa yang sebaiknya dia panjatkan kepada Tuhan agar saya menjadi Simalungun. Dan ketika saya menjawab SMS itu, dengan pernyataan yang sedikit normatif, tak saya duga ia kemudian membalas, dengan mengatakan ia juga ingin menambahkan doa itu dengan mengatakan:
“Ya Tuhan, jadilah kehendakmu. Karena saya Simalungun, saya juga memohon: Mampukanlah aku dan semua kami orang Simalungun agar kami dapat menghayati dan mengamalkan Firmanmu, karena Engkau sudah sempat berkenan menyapa kami berbahasa Simalungun…”
Saya dapat menangkap pesan dari doanya itu. Ia ingin agar saya, dan orang lain yang mengaku dirinya Simalungun, dapat menunjukkan jatidiri sebagai orang Simalungun. Dan, salah satu yang paling dapat terlihat adalah membiasakan diri berbahasa Simalungun dan mempelajarinya lebih dalam.
Saya kira saya tak punya pilihan lain. Orang Simalungun lainnya juga dugaan saya demikian. MP, sang parorot, telah menyampaikan tantangan yang menentukan nasib orang Simalungun. Tinggal lagi, apakah orang-orang muda dapat menerima tantangannya itu? Dan bagaimana sebaiknya tantangan itu disambut?
(Bersambung)
Januari 2006
(c) Eben Ezer Siadari
Catatan Kaki:
6 Dalam diskusi mereka berdua, MP berada dalam posisi yang konservatif mengenai perlunya perubahan terhadap adat-istiadat untuk mencapai kesetaraan gender, sedangkan Dr. Martin L Sinaga berada di posisi liberal.
7 Kopi Darat adalah istilah untuk menyatakan pertemuan secara riel dari para orang-orang yang berdiskusi di milis di internet. Di dalam kopi darat itu lah biasanya orang-orang yang semula hanya kenal nama atau nama julukan (nickname) di internet, berkenalan secara tatap muka di dunia nyata. Atau kalau pun sudah saling kenal, dialog mereka di dunia nyata dapat pula dilakukan secara langsung.
8 Bahasa Simalungun yang marpasir-pasir jika diterjemahkan secara harafiah adalah Bahasa Simalungun yang penuh pasir. Maksudnya sebenarnya adalah Bahasa Simalungun yang tidak utuh lagi. Sudah tercampur dengan kata-kata dari Bahasa lain. Umumnya banyak orang Simalungun yang Bahasa Simalungunnya sudah sangat terpengaruh oleh Bahasa Indonesia dan juga Bahasa Toba.
9 Ada sejumlah rekaman percakapan lewat SMS yang ia transkrip dan dijadikan arsip. Semuanya dikirimkan juga kepada saya untuk saya jadikan arsip pula.
10 Setelah MP mengirimkan hasil rangkuman SMS perbincangan dirinya dengan saya, yang telah berisi pembetulan-pembetulan yang ia lakukan terhadap Bahasa Simalungun saya, MP mengirimkan SMS kepada saya dan bertanya, berapa sebaiknya ia memberi nilai terhadap Bahasa Simalungun saya. Saya tak berani menjawab secara serius dan akhirnya saya jawab dengan guyon. Sebab saya sadar betul, nilai Bahasa Simalungun saya masih jauh dari memuaskan.
11 Untuk membaca transkrip prosesi perkawinan itu, lihat lampiran 2.
12 Untuk melihat lagi berbagai tulisannya mengenai hal ini, sekali lagi kunjungi blog Mansen Purba SH.
13 Hal ini ia katakan setelah menyimak banyaknya orang Simalungun yang mengeritik Simalungun, bahkan melecehkan dan menganggap remeh budaya Simalungun.