My Simalungun Idols

My Simalungun Idols adalah bagian dari blog THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG (http://sarimatondang.blogspot.com). My Simalungun Idols berisi refleksi tentang sejumlah tokoh Simalungun atau mereka yang berjasa kepada Simalungun.

My Photo
Name:
Location: jakarta, Indonesia

suami yang kampungan di mata istrinya, ayah yang sering disandera putrinya untuk mendongeng.

Sunday

Empat Hari bersama Agus Theis (I)

(Percakapan Imajiner dengan Missionaris Pertama di Simalungun)Based on a book by A. Munthe MTh, Riwayat Hidup Pandita August Theis, 1987, Kolportase GKPS.

Wajahnya sangat serius. Berkumis. Juga di pipinya tumbuh cambang yang lebat, tapi dicukur rapih. Dengan sorot mata yang tajam tetapi teduh. Ia tidak menatap ke kamera. Malah seperti seorang yang melamun. Atau berpikir? Namanya, Agus Theis. Kadang ditulis August Theis. Berkebangsaan Jerman. Hidup dalam periode 1874-1968. Ia misionaris.
Wajah Agus Theis yang legendaris. Foto ini sudah saya kenal sejak masih SD, dan hingga kini wajah yang muda, handshome dan sangat serius inilah yang selalu saya bayangkan setiap kali bicara tentang dia. Sumber: Riwayat Hidup Pandita August Theis, 1987, A. Munthe, Kolportase GKPS

Wajah Agus Theis pertamakali saya lihat pada sebuah foto hitam putih yang sudah usang dan direpro berulang-ulang. Waktu itu, mungkin sekitar 28 tahun lalu, tiba-tiba saja wajahnya jadi begitu populer di rumah kami. Ini memang risiko jika ayah dan ibu jadi pekerja di gereja. Gereja kami di Sarimatondang adalah Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Yakni gereja bagi orang-orang suku Batak Simalungun. Dan Agus Theis itu adalah orang yang dianggap pertamakali memberitakan injil di Tanah Simalungun. Maka namanya populer, setidaknya di rumah kami dan di gereja kami. Sebab, kala itu, sedang ada persiapan besar-besaran menyambut Jubileum 75 tahun GKPS.

Saya masih SD ketika itu. Dan sebagai anak sepasang pekerja gereja, tak elok bila saya tak aktif di Sekolah Minggu. Dan karena agak rajin dengar-dengar cerita Bu Guru Sekolah Minggu, rajin pula nguping bocoran sermon (1) yang sekali-dua kali diceritakan ayah-ibu, akhirnya saya tahu siapa Agus Theis itu. Dan saya pun akhirnya mengerti, mengapa gambar-gambarnya banyak bertebaran di rumah kami kala itu. Di selebaran. Di majalah Ambilan Pakon Barita (2). Di buku Parmahan Na Madear (3) . Dan banyak lagi.
Theis dan Ibu, mungkin ketika mereka baru menikah. Sumber: Riwayat Hidup Pandita August Theis, 1987, A. Munthe, Kolportase GKPS

Seorang bocah seperti saya punya cara sendiri memamah cerita yang mudah mau pun sulit dia mengerti. Maka ketika orang-orang mengatakan Agus Theis adalah seorang misionaris, seorang pendeta, seorang penginjil, seorang perintis masuknya kristen ke Tanah Simalungun dan seorang bule pula, asosiasi saya lantas mengarah kepada orang-orang bule, yang beberapa kali pernah berkunjung ke kampung kami.

Dulu sekali, saya ingat ada seorang pendeta bule yang datang mengendarai VW kodoknya ke gereja kami. Malamnya ia memutar film, film bisu yang saya lupa ceritanya tentang apa. Sepanjang ia memutarkan film hitam-putih yang gambarnya meloncat-loncat, ia tak henti-henti bicara menceritakan apa yang digambarkan film itu. Kebanyakan kami mengantuk dan lelah melihatnya. Tapi mengingat para orang tua kami tak jua beranjak dari tempat duduknya, kami pun ikut-ikut bertahan. Sebagai 'pelipur lara' kami mengarahkan kekaguman kepada proyektor mini yang tak berhenti berputar, di depan si Pendeta bule. Berputar memancarkan sinar ke layar. Dalam hati kecil, saya berpikir, antik betul ini barang. Kecil, tapi bisa bikin keluar gambar-gambar hidup…..

Pendeta bule lain (4) juga pernah datang ke gereja kami. Ayah saya bahkan memotret dan mengoleksi foto-fotonya. Sebab kakek saya kala itu menjadi 'tuan rumah' karena ia menjadi voorghanger . Dan ia mewakili jemaat, menyerahkan makanan khas Simalungun, berupa ayam panggang yang telah diatur sedemikian rupa. Sebuah lambang penghormatan kepada sang pendeta bule itu.

Saya selalu mengagumi para pendeta bule itu. Bahasa Indonesia dan Bahasa Simalungun mereka, sejauh pendengaran saya, sangat baik dan fasih. Tetapi yang lebih menarik perhatian saya adalah cara mereka berbicara dan ‘merayu’ orang-orang, termasuk kami para anak sekolah minggu. Sudah dapat segera saya merasakan betapa mereka dengan cepat akrab di tengah kami. Dan dengan leluasa pula, mereka menyampaikan pesan mereka.

Bayangan semacam itu lah yang ada dalam pikiran saya ketika melihat gambar-gambar Agus Theis. Bahkan lebih. Di benak saya, Theis bukan lagi sekadar pendeta bule biasa. Ia adalah perintis. Inovator. Orang yang membawa pertama kali berita tentang Terang dari Tuhan ke tanah Simalungun. Apa nggak hebat?

Bayangkan, ia masuk ke Tanah Simalungun, yang kala itu masih sunyi dan miskin. Pendidikan belum ada. Dan Theis tabah, bekerja 18 tahun lebih. Sekarang, Simalungun telah maju, termasuk dengan keberhasilannya mempunyai sebuah gereja suku beranggotakan lebih dari 200 ribu jemaat, tersebar di seantero Indonesia. Kecil bila dibandingkan gereja suku Batak lainnya, tetapi Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) termasuk gereja yang langgeng memelihara keutuhannya. Tida ada konflik yang berarti.

Tak mengherakan bila sejak kecil, sejak pertamakali melihat dan mengenal nama Agus Theis. Nama itu terus melekat di benak saya. Bahkan dalam sebuah acara pertemuan sekolah Minggu, saya pernah mendapat hadiah kecil gara-gara saya bisa menjawab pertanyaan kuis yang jawabannya adalah Agus Theis.

Kini usia saya hampir 40 tahun. Sebuah perjalanan pulang kampung membawa saya kepada kenangan tentang Agus Theis itu. Gara-garanya adalah sebuah buku yang secara tak sengaja diberikan ayah saya, karena saya meminta dia memberikan koleksi bukunya tentang Simalungun. Biografi Agus Theis, ternyata ada diantara koleksinya itu. Dan saya membawanya ke rumah saya di Jakarta.

Buku berjudul Riwayat Hidup Pandita August Theis (Missionar Voller Hoffnung). Ditulis oleh Pdt A. Munthe MTh, terbit tahun 1987 oleh Kolportase GKPS. Dalam Bahasa Indonesia, judul buku itu berarti Pendeta yang Penuh Pengharapan.

Saya tak bisa menahan keinginan saya untuk membaca buku ini, yang ditulis dalam Bahasa Simalungun. Begitu besar keinginan menyerap semua isinya dan ingin membagikan kepada sebanyak mungkin orang, sampai-sampai saya berkhayal. Agus Theis hidup kembali. Segar bugar dalam usianya yang ke 132 tahun. Ia bukan saja sehat, tapi bertambah pintar. Bisa berbahasa Indonesia dengan citarasa anak muda Jakarta. Dan ia bisa mengoperasikan internet. Dan karena itu pula, ia mengunjungi blog pribadi saya, THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG yang beralamat di http://sarimatondang.blogspot.com.

Saya tidak tahu apa yang membawanya menyinggahi blog itu. Apakah karena ia membaca adanya cerita tentang kampung halaman saya yang ada di Kabupaten Simalungun?

Dalam khayalan saya itu, ia ternyata tak hanya singgah. Di blog itu ia membubuhkan komentarnya. Sangat pendek: “Seandainya dulu saya sempat ke sana, ke Sarimatondang yang beautiful....” Di belakang komentarnya itu ia menyebutkan namanya. Dan juga alamat emailnya: agustheis1903@yahoo.com.

Saya tersentak.

Hari itu juga saya mengirimkan email kepadanya. Meminta ingin berbincang-bincang. Dan karena saya tidak tahu ia berada dimana dan tidak punya nomor telepon yang dapat dihubungi, saya minta saja dia berbincang dengan saya, lewat Yahoo Messenger, seperti kebiasaan yang dilakukan anak-anak muda sekarang.

Tak dinyana ia menyetujui. Dan ia pun menentukan waktunya.

Maka kami berbincang-bincang secara online. Chating, kata anak-anak muda sekarang. Dan saya mencatat percakapan kami itu, seperti ini.

Chating dengan Agus Theis:
Hari Pertama


ebenezersiadari: Selamat malam Om Theis.

agustheis1903
: Malam, Pak Eben.

ebenezersiadari: Uuups, Om jangan panggil saya Pak, dong. Eben saja. Biar lebih akrab.:-))

agustheis1903
: Eben sendiri kenapa panggil saya Om?

ebenezersiadari: Soalnya, wajah Om yang selalu saya ingat adalah wajah Om waktu muda. Rambutnya disisir belah pinggir ke kiri. Rapi. Ada brewoknya yang juga rapi. Untuk orang seperti itu sih, cocoknya dipanggil Om saja. Handsome.

agustheis1903
: Oh ya?. Boleh juga itu. Biar saya tetap merasa muda, begitu maksud Eben?

ebenezersiadari: Itu antara lain. Tapi ada yang lebih penting lagi Om. Om dalam Bahasa Simalungun padanannya adalah Tulang. Adik atau kakak laki-laki dari ibu kita. Kita selalu diajarkan untuk selalu hormat kepada Tulang. Tulang berarti panggilan yang sangat mulia. Tapi pada saat yang sama, mengandung hubungan yang penuh kasih dan mesra. Sebab, ada pepatah Toba bilang, Amak do rere, Anak do ibebere.

agustheis1903
: Saya lama di Sigumpar Ben, jadi saya tahu artinya itu. Tapi saya coba tes Eben, apakah kamu tahu juga artinya itu?

ebenezersiadari: Hehehe, bagi orang Batak, anak dan keponakan itu sama posisinya dalam mendapatkan kasih sayang. Itu sebabnya saya panggil Om Theis Om. Sebab, sudah lumrah seorang keponakan bermanja-manja kepada Om atau Tulangnya. Kalau seorang keponakan salah, kurang ajar, boleh lah didamprat. Tapi dampratannya itu pasti dampratan kasih sayang. Apalagi, Tulang lah yang paling awal ‘meludahi’ kepala kita, kan Om? Itu tuh, waktu dia menyemburkan ludahnya setelah mengunyah sirih ke kepala kita. Pertanda ‘perlindungan,’ berkat, dan kasih sayang. Masih ingat nggak Om?

agustheis190
3: Hehehe, saya senang Eben menggugah lagi memori saya tentang hal semacam ini. Tapi, boleh juga saya ingatkan. Eben memanggil saya Om atau Tulang, bukan karena berharap saya punya anak perempuan untuk dijadikan pariban buat adik-adik atau saudaramu, bukan?. Soalnya anak-anak saya malah sudah pada punya cucu.:-))

ebenezersiadari: Ah, Om bisa saja. Nggak nyangka kalau bisa bercanda. Saya kira Om seserius wajahnya di foto.

agustheis1903
: Apa memang ada orang yang wajahnya siang-malam seserius di foto?

ebenezersiadari: Siapa tau Om.

agustheis1903
: Saya sudah baca emailmu. Itu makanya saya online sekarang.

ebenezersiadari: Terimakasih Om. Oh ya, terimakasih juga telah berkunjung ke THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG. Mudah-mudahan Om menemukan hal yang menyenangkan di sana. :-))

agustheis1903
: Ya,ya, ya. Saya gembira mendengar cerita tentang kampung halamanmu itu. Terutama cerita tentang GKPS dan sekolah minggu di sana. Seandainya waktu boleh saya putar kembali, saya ingin dan seharusnya rajin berkunjung ke sana tempo hari. Seandainya saya datang ke sana, apa masih ada yang ingat nama saya?

ebenezersiadari: Pasti Om. Nama Om sangat populer. Setidaknya begitulah ketika saya masih sekolah minggu dulu.

agustheis1903
: Syukurlah. Saya selalu percaya, kalau kita sungguh-sungguh, benih yang kita tanam pada saatnya akan kita tuai juga. Saya berharap di Sarimatondang benih itu sudah berbuah, dan pada saat yang sama, benih-benih berikutnya tak lupa pula untuk terus disemai.

ebenezersiadari: Om mulai serius nih. Ngomong-ngomong soal tuaian, saya jadi ingat ayat yang konon Om bacakan ketika pertamakali tiba di Pematang Raya dalam rangka ditugaskan di sana. Dan ayat itu sampai kini masih sering diulang-ulang di GKPS. Ayat itu bicara tentang menuai juga.

agustheis19
03: Saya pun tak pernah lupa ayat itu…. Dari Johannes 4:35. Bunyinya dalam Bahasa Simalungun pun selalu saya ingat, yakni: Mangkawah ma hanima, tonggor hanima ma juma in, domma gorsing, boi ma sabion.”

ebenezersiadari: Apa memang padi sedang menguning ketika itu Om? (Bercanda nih :-)))

agustheis1903
: Boleh juga senda-guraumu. Saya memang belum sempat berkeliling melihat sawah-sawah di sana ketika tiba :-)). Dan belakangan saya tahu, belum ada sawah di Pamatang Raya ketika itu. Tapi di dalam hati saya bisa melihat bahwa orang Simalungun kala itu benar-benar membutuhkan Terang. Baik Terang dalam arti pencerahan jiwa mereka, pencerahan untuk memperkenalkan Kasih Tuhan kepada mereka. Di sisi lain, mereka perlu juga dicerahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Agar bisa mendapatkan penghidupan yang lebih layak, lebih maju dan lebih menjanjikan pengharapan.

ebenezersiadari: Kita sedang bicara tentang Simalungun tahun 1903 ini ya?

agustheis1903
: Ya ialah. Masa zaman sekarang? Kalau sekarang sih, yang saya dengar-dengar, sudah hebat. Eben sendiri sudah bisa chatting dengan saya begini, apakah ini bukan cerminan kemajuan orang Simalungun juga? Itu tentu beda dengan zaman ketika saya pertama kali ditempatkan di Raya. Seingat saya, daerah itu kala itu, masih terasa sunyi. Paling tidak bila dibandingkan dengan beberapa daerah di Toba yang sudah pernah saya kenal. Penduduknya berpencar di ladang-ladang karena mereka memang tinggal dan menempati ladang mereka masing-masing. Mereka mendirikan gubuk mereka di tengah ladang. Siang dan malam mereka menjagainya. Siang hari mereka menjagainya dari serbuan burung. Malam hari mengawalnya dari serangan babi hutan. Belum ada persawahan berpengairan kala itu. Masih berupa sawah kering, atau sawah darat. Itu sebabnya, mereka kerap berpindah-pindah ladang. Sebab hanya kira-kira empat tahun saja tanaman mereka bisa subur dan memberi hasil di satu ladang. Setelah itu mereka harus berpindah lagi.

ebenezersiadari: Penghidupan yang memang benar-benar masih gelap, ya?

agustheis1903
: Eben boleh mengatakan itu dari sudut pandangmu hari ini. Tapi bahkan dari sudut pandang saya kala itu pun, memang masih gelap. Apalagi daerah Simalungun masih sulit dicapai. Tidak ada jalan yang cukup besar. Hutan dan harimau masih banyak di kawasan ini dan itu mengerikan. Kalau hanya membayangkan kesulitan yang akan saya hadapi, mungkin saya akan menyerah saja. Tapi saya sadar, saya datang ke daerah Anda itu bukan untuk tamasya. Juga bukan oleh kekuatan saya sendiri. Lagipula, sejak masih muda dulu saya sudah banyak mendengar tentang bagaimana keadaan ‘ladang yang siap dituai’ itu. Jadi saya sudah mempersiapkan diri. Saya mengandalkanNya. Saya juga tahu, kawan-kawan misionaris lainnya, terutama bos saya, Pak Nommensen, mendukung usaha-usaha yang saya lakukan.

ebenezersiadari1903: Jika saya membayangkannya, alangkah muramnya kehidupan kala itu Om. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana para penduduk kala itu bisa menerima orang asing. Bisa menghibur diri. Apakah bercocok tanam itu mereka anggap hiburan juga?

agustheis1903:
Ironisnya, Eben, hiburan mereka justru datangnya dari dunia gelap. Misalnya judi. Agak mengherankan saya juga, bahwa masyarakat kala itu sudah keranjingan berjudi. Mereka berjudi melawan kampung lain. Pertandingan itu bisa berlangsung siang-malam, sampai mereka lupa bekerja. Kala di pasar, mereka berjudi bahkan sampai menggadaikan apa saja, termasuk diri mereka sendiri. Mereka yang kalah biasanya meminjam uang dari orang-orang kaya. Tetapi sebentar saja uang pinjaman itu segera habis karena kalah lagi. Kekalahan yang terus-menerus, menyebabkan mereka tak bisa membayar utang. Dan akhirnya mereka menjadi budak orang-orang kaya, tempatnya meminjam uang itu.

ebenezersiadari: Sedih sekali, Om.

agustheis1903:
Saya kira memang ya, Eben. Tapi jangan berkecil hati. Kegelapan semacam itu bukan hanya monopoli Simalungun saja kala itu. Saya kira itu terjadi dimana pun, pada zaman itu dengan keadaan hidup yang begitu. Itu sebabnya kita perlu membawa Terang itu kepada mereka.

ebenezersiadari: Apakah Om sendiri sudah membayangkan kengerian yang demikian itu, sebelum ditempatkan ke Simalungun?

agustheis1903
: Sedikit banyak saya sudah dengar sebelumnya. Bos saya Nommensen, sebelum saya ditempatkan di Simalungun, sudah pernah mengirimkan orang untuk meneliti daerah Simalungun. Kalau saya tak salah ingat, pada 3-8 Februari 1903 ada rapat para pendeta di Laguboti. Kala itu sudah diputuskan agar ada misi zending ke Simalungun. Nommensen ketika itu sudah menjadi Ephorus dan berkantor di Sigumpar, Tapanuli Utara. Ia pun mengirimkan surat ke direktur zending RMG (lembaga zending Jerman) di Barmen agar menyetujui misi itu. Lalu pada 3-3-1903, Nommensen mengirimkan Pendeta Guillaume, Pdt Simon, Pdt Meisel untuk mengunjungi Simalungun, sekaligus mencoba berbicara dengan Raja-raja Simalungun.

ebenezersiadari: Wah, kalau lihat tanggal keberangkatan para pendeta itu, 3-3-(19)03, itu angka hoki tuh Om....

agustheis1903
: Wadduh, Eben kok banyak bercandanya ya? Saya sedang serius ini.

ebenezersiadari: Sorry Om.

agustheis1903
: Jadi jauh sebelum saya ditempatkan ke Simalungun, sudah ada banyak informasi tentang Simalungun. Antara lain dari Pdt Guillaume tadi, yang menangani Tanah Karo. Belakangan saya juga tahu bahwa Nommensen dalam suratnya ke Barmen, sudah menggambarkan sedemikian rupa tentang Simalungun itu. Dalam suratnya itu, Nommensen mengemukakan rencananya untuk membuka misi ke tiga daerah baru, yakni Samosir, Simalungun dan Dairi. Nommensen juga meminta agar segera lah ditempatkan misionaris di sana.

ebenezersiadari: Apakah Om sudah tahu, Om lah yang akan ditempatkan di sana?

Agustheis1903
: Belum. Waktu itu, Nommensen lah yang menentukan penempatan misionaris. Dan dugaan saya, ketika oleh RMG saya dikirimkan ke Indonesia, Nommensen juga belum tahu siapa saya dan apakah kemampuan saya cocok untuk menangani Simalungun. Hanya saja, waktu itu Nommensen dalam suratnya menekankan bahwa hendaknya misionaris yang akan ditempatkan di daerah-daerah baru tadi, adalah orang yang tahan banting. Saya masih ingat bunyi suratnya itu. Begini: “Hendaklah orangnya sangat rajin, tidak cepat naik darah tetapi penyabar, ramah, rela mengabdikan dirinya dan pengasih; Jangan pula seperti orang yang berlebih-lebihan, yakni berlebihan semangatnya pada suatu ketika tetapi sebentar kemudian bisa langsung putus asa manakala menemukan sesuatu yang tidak cocok dengan perasaannya. Hendaklah ia orang yang percaya benar kepada firman Tuhan seperti Abraham, yang pergi ke Bukit Moria untuk mempersembahkan anaknya, tapi walau pun begitu, ia masih tetap berkata kepada pembantunya:’ pulang kok kami nanti.’ “

ebenezersiadari: Saya benar-benar baru tahu bahwa penempatan seorang missionaris itu sampai mempertimbangkan hal-hal semacam ini, Om. Semula saya kira hal semacam ini hanya jadi urusan direktur SDM di perusahaan-perusahaan multinasional saja…

agustheis1903
: Kalau melihat medan yang harus dituai itu, Ben, keseriusan Nommensen itu memang pada tempatnya.

ebenezersiadari: Dan, orang yang dianggap pantas ditempatkan di Simalungun adalah Om sendiri...

agustheis1903
: Mudah-mudahan Nommensen mengutus saya karena ia berpikir begitu. :-))

ebenezersiadari: Cerita dong Om, bagaimana Anda bekerja, dengan kondisi yang gelap begitu.

agustheis1903
: Boleh. Tapi kalau kita lanjutkan besok saja bagaimana? Kita kelihatannya sudah terlalu lama. Mata saya sudah berair dipanteng terus ke layar monitor. Besok saja. Saya janji. Besok ya, di jam yang sama?

ebenezersiadari: Ok deh Om. Sampai besok. Saya juga ada hal lain yang masih harus saya bereskan. Janji ya Om?

agustheis1903
: Ok

(C) Eben Ezer Siadari

Lanjut ke:
Chating dengan Agus Theis: Hari Kedua
Chating dengan Agus Theis: Hari Ketiga
Chating dengan Agus Theis: Hari Keempat (terakhir)

Catatan kaki:
(1) Sermon adalah semacam pertemuan rutin setiap minggu. Mempersiapkan para anggota majelis jemaat, khususnya pengkhotbah akan tema khotbah pada minggu depannya.
(2) Ambilan pakon Barita, yang berarti Khotbah dan Kabar adalah majalah intern GKPS, terbit bulanan. Didalamnya berisi berita seputar GKPS berikut tema, bahan dan uraian khotbah dalam satu bulan.
(3) Parmahan Namadear berarti Gembala yang Baik adalah buku renungan harian satu tahun penuh dalam Bahasa Simalungun
(4) Belakangan saya tahu namanya adalah Pdt Tappenbeck.

Blog ini merupakan bagian dari THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG

Empat Hari bersama Agus Theis (2)

(Percakapan Imajiner dengan Missionaris Pertama di Simalungun)

Chating dengan Agus Theis:
Hari Kedua


ebenezersiadari: Selamat malam Om. Sehat kan?

Agustheis1903
: Puji Tuhan, Ben. Sehat selalu.

ebenezersiadari: Saya sudah gak sabar, nih Om, dengar lanjutan cerita kemarin. Tentang bagaimana Om memulai bekerja sebagai misionaris di Simalungun.
ANak-anak Theis dengan latarbelakang rumah mereka di Pematang Raya. Sumber: Riwayat Hidup Pandita August Theis, 1987, Kolportase GKPS, A. Munthe

agustheis1903
: Ok. Ini akan jadi percakapan yang panjang, Ben. Sebentar ya? Saya siapkan dulu air minum. Brb (be right back).

agustheis1903: Ok. Kita mulai ya?

ebenezersiadari: Siap Om.

agustheis1903
: Saya berangkat dari Belanda ke Indonesia tanggal 23 Oktober 1902. Kami diberangkatkan oleh RMG yang berpusat di Barmen. Perjalanan dari Barmen ke Sumatra waktu itu makan waktu berbulan-bulan. Soalnya kami naik kapal laut. Kapal kami singgah pertama kali di Padang, baru kemudian saya diberangkatkan ke Sigumpar. Di sini lah saya tinggal selama belum mendapat keputusan kemana akan ditempatkan.

ebenezersiadari: Dan Om kemudian ditempatkan di Pematang Raya, Simalungun

agustheis1903
: Ya. Saya masih ingat, saya dan rombongan tiba di Pamatang Raya pada 2 September 1903. Hari Rabu, tepatnya. Bersama saya kala itu adalah Gr Ambrocius dan Theopilus Pasaribu. Ketika tiba, saya langsung membacakan Joh 4:35 itu. Saya tidak bisa melupakan ayat ini karena dalam keyakinan saya, orang Simalungun harus mendapat Terang dan masuk ke dalam Kerajaan Allah.

ebenezersiadari: Tanggal itu pun secara resmi dianggap sebagai tanggal masuknya injil ke Simalungun.

agustheis1903
: Puji Tuhan, kalau orang Simalungun menganggapnya demikian.

ebenezersiadari: Barangkali itu dianggap sebagai penghormatan karena Om lah misionaris pertama yang menetap di Tanah Simalungun…

agustheis1903
: Memang benar, Ben. Sebelum saya, memang sudah ada misionaris yang berkunjung ke Simalungun. Seperti yang saya ceritakan kemarin, pada tanggal 3-3-1903 Nommensen telah pernah mengutus Pdt Guillaume, Pdt Simon dan Pdt Meisel ke Simalungun. Tak lama sesudah itu, rombongan kedua yang dipimpin Nommensen juga berangkat ke Simalungun. Saya termasuk di rombongan yang kedua ini. Kedua rombongan kami kemudian bertemu di Haranggaol. Nommensen malah berkhotbah di sana, mengambil nats dari Joh 3:16. Kemudian rombongan kami meneruskan perjalanan dan singgah antara lain di Pematang Purba, Raya, Pematang Panei dan banyak lagi. Sementara rombongan Pdt Guillaume meneruskan perjalanannya ke Medan.

Beberapa bulan kemudian, berangkat pula Pdt Simon dan Pdt Meisel bersama rombongannya ke Tigaras. Kalau tak salah tanggal 3 Juni 1903 dan mereka tiba tanggal 4 Juni. Di Tigaras pula didirikan semacam pos darurat bagi mereka. Tigaras lah kala itu dijadikan semacam serambi untuk masuk ke Simalungun. Tigaras pula yang jadi ‘pusat ni pardonganon Mission Batak’ untuk daerah Timur. Dari sana lah persinggahan semua pendeta yang akan bertugas ke daerah yang dinamakan Timur, yakni Raya, Bandar, Purba dan Pematang Siantar.

ebenezersiadari: Tapi penempatan Anda di Pematang Raya lah yang tampaknya dijadikan milestone, tonggak sejarah?

agustheis1903
: Itu tergantung bagaimana orang Simalungun melihatnya. Saya sendiri sudah puas jika Simalungun dapat menerima Terang itu. Dan bahwa mereka mengingat saya sebagai orang yang dipakai menyampaikan Terang tersebut, saya anggap itu sebagai bonus.

ebenezersiadari: Saya sangat awam dalam pekerjaan zending Om. Bahkan ketika masih remaja di GKPS Sarimatondang dulu, saya tak sempat mengajar Sekolah Minggu karena keburu berangkat ke Jakarta. Jadi, jika saya membayangkan diri saya jadi Om yang harus mengajarkan Terang kepada orang Simalungun, saya pasti kebingungan bagaimana memulainya.

agustheis1903
: Tentu saja ada kebingungan semacam itu, Ben. Saya sendiri juga masih muda ketika meninggalkan Jerman. Umur saya baru 28 tahun waktu itu dan baru saja menyelesaikan studi di sekolah seminari di Barmen. Jadi memang boleh dikatakan saya masih hijau. Namun salah satu cara yang kami pakai untuk membawa Terang itu adalah dengan mendirikan sekolah. Itu sebabnya, setahun setelah saya tiba di Pematang Raya, kami sudah mendirikan sekolah walau pun kami belum mendapatkan murid untuk dididik.

ebenezersiadari: Lalu, bagaimana Om ‘memasarkan’ sekolah Om? Maaf, saya pakai istilah memasarkan. Sebab, sekarang ini, banyak sekolah swasta juga terpaksa beriklan terselubung karena kekurangan murid….

agustheis1903
: Hehehe, Eben bisa saja. Tapi masalahnya beda. Sekarang sekolah kekurangan murid karena supply sekolahnya yang berlebihan dan ada kompetisi mencari murid. Dulu, masalahnya lain. Masalahnya adalah karena mereka tidak tahu apa itu sekolah.

ebenezersiadari: Ya, ya, ya, saya cuma bercanda Om. Agar diskusi kita tidak terlalu serius betul..

agustheis 1903
: Guru Ambrocius yang datang bersama saya ke Pamatang Raya adalah guru yang baik. Dan dia lah guru pertama yang bekerja di Simalungun. Saya dan kawan-kawan lainnya berusaha keras membujuk anak-anak supaya ikut bersekolah. Orang tuanya juga kami yakinkan. Guru Ambrosius dan saya memang merasa yakin bahwa bila mereka tahu apa manfaat sekolah, mereka akan mau. Sebab masalahnya hanya soal ketidaktahuan. Dan ini perlu waktu.

ebenezersiadari: Ingat nama Ambrocius, saja jadi ingat kakak senior saya di asrama yang orang Siantar. Namanya Ambrocius juga…

agustheis1903
: Bisa jadi banyak orang Simalungun yang kagum pada guru pertama di Simalungun itu. Walau pun sangat mungkin juga Ambrocius yang mereka maksudkan adalah Ambrosius dari khasanah yang berbeda. Dan, rupanya pendidikan lewat sekolah-sekolah itu memperlihatkan sisi baiknya kepada para penduduk. Terbukti, kami selanjutnya terdorong untuk membangun sekolah-sekolah berikutnya di desa lain. Setelah di Pematang Raya, kami buka pula sekolah di Raya Usang, Buluraya, Sipoldas dan juga Raya Tongah.

ebenezersiadari: Bagaimana Om membangunnya? Apakah Om punya orang untuk dipekerjakan?

agustheis1903
: Tentu harus bekerjasama masyarakat setempat. Ditambah pula dengan bantuan Pemerintah Belanda. Sebab, Pemerintah Belanda juga ingin agar anak-anak itu mendapat pendidikan yang layak. Karena itu, ketika kami meminta penduduk membantu kami bergotong-royong membangun sekolah, mereka mau. Di sisi lain Pemerintah pun aktif membantu kami.

ebenezersiadari: Kedengarannya mulus-mulus saja ….

agustheis1903
: Ada juga satu-dua tantangan. Misalnya, pernah ada penghulu yang menyalahtafsirkan peraturan Pemerintah tentang kewajiban kerja rodi. Karena Pemerintah Belanda mengharuskan 40 hari dalam setahun rakyat harus bekerja rodi, maka sang penghulu mengatakan kalau sudah ikut bekerja rodi, tidak perlu lagi ikut membantu membangun sekolah. Akibat pernyataan ini, pekerjaan pembangunan sekolah sempat tersendat. Tapi beruntung lah Pemerintah mau ikut mengatasi persoalan ini. Pemerintah menganggap tafsiran semacam itu melawan peraturan dan menghambat upaya memajukan pendidikan.

Tantangan semacam ini saya anggap kecil saja. Sebab di sisi lain saya melihat animo masyarakat yang besar. Mereka selalu meminta kepada saya agar di daerah mereka dibangun pula sekolah. Ini merupakan pertanda bahwa pendirian sekolah itu mereka rasakan sangat bermanfaat.

ebenezersiadari: Saya bisa membayangkan, Om jadi semacam ‘sinterklas’ ketika itu ya….

agustheis1903
: Saya tak bisa menyetujui pendapatmu itu, Ben. Yang saya bayangkan, mungkin mereka menyadari bahwa pendirian sekolah itu bermanfaat. Dan kebetulan penanggung jawab pendiriannya saya. Rumah saya memang sangat terbuka untuk umum. Biasanya pada hari Sabtu, ketika penduduk itu pergi ke pasar, mereka menyempatkan diri datang ke rumah saya. Macam-macam alasan mereka. Antara lain untuk meminta obat dan juga keperluan lain, yang mungkin mereka harapkan dapat saya berikan. Ada yang bisa saya berikan, ada yang tidak.

ebenezersiadari: Di saat seperti itu, Om pasti tidak lupa berkhotbah dong….

agustheis1903
: Sebenarnya hal ini sempat menjadi pergumulan saya yang berat, Eben. Orang Simalungun sudah mempunyai tuhan mereka masing-masing. Mereka mempunyai sesembahan sendiri-sendiri. Itu sebabnya, walau pun sekolah-sekolah yang kami dirikan cukup bisa diterima, tetapi pada umumnya mereka belum mau mendengar pemberitaan Firman Tuhan.

ebenezersiadari: Pasti Om sedih ya?

agustheis1903:
Sedih mungkin tidak, tetapi sedikit kecewa lah. Sambil menjenguk sekolah-sekolah yang kami dirikan, saya sering berkhotbah, menceritakan kisah-kisah di Alkitab. Tapi samasekali belum dapat menyentuh hati mereka. Kami juga menyelenggarakan ibadah minggu, tapi sampai beberapa tahun, hanya keluarga guru Ambrocius lah yang hadir dalam ibadah itu, ditambah dengan beberapa orang murid sekolah. Coba bayangkan, hingga empat tahun saya di sana, hanya 19 orang lah yang Kristen. Semuanya adalah keluarga guru-guru. Padahal, ada 8000 orang penduduk Raya. Dan sudah ada tujuh sekolah yang kami dirikan, ada 183 orang murid kami. Tetapi ternyata menerima pendidikan tidak otomatis juga menerima Terang Tuhan.

ebenezersiadari: Saya melihat ini positif, Om. Sebab, selama ini ada tuduhan, pengkristenan itu sepertinya identik dengan memancing ikan. Dipancing lewat pendidikan dulu, baru dijerat menjadi Kristen. Penjelasan Om itu bercerita sesuatu yang lain bagi saya. Artinya, kelihatannya orang Simalungun menjadi Kristen memerlukan pertimbangan yang matang….

agustheis1903
: Barangkali bisa Eben katakan begitu. Maksudmu, mereka menjadi Kristen benar-benar dari hati, bukan? Bukan karena merasa berutang karena telah diberikan pendidikan dan gedung sekolah?

ebenezersiadari: Kira-kira begitu lah, Om.

agustheis1903
: Memang benar, Eben. Walau pun sekolah-sekolah telah kami bangun, penerimaan orang terhadap penginjilan yang saya sampaikan tidak terlalu menggembirakan. Saya sering berkeliling ke desa-desa di kawasan Raya dalam rangka meninjau sekolah yang telah dibangun. Saya biasanya bermalam di rumah penghulu. Dan mereka menerima saya dengan baik.

Pada malam-malam demikian, saya mengundang orang-orang untuk berkumpul dan saya memulai menceritakan apa yang dikatakan Alkitab tentang Tuhan. Tapi agaknya sulit bagi mereka menerimanya. Mereka mungkin satu-dua tertarik mendengar, tetapi belum ada yang tergerak menjadi kristen. Dalam arti ikut dibaptis.

ebenezersiadari: Om, apa sih yang Om khotbahkan waktu itu? Kok saya penasaran ingin tahu?

agustheis1903
: Saya berkhotbah dalam Bahasa Batak Toba. Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba memang ada kemiripannya. Meskipun tak bisa diabaikan juga perbedaannya. Nah, mereka dapat mengerti.

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menggambarkan siapa Tuhan itu kepada orang Simalungun kala itu. Sebab, dalam Bahasa Toba, kita menyebut Debata. Dan orang Simalungun juga sudah mengenal sesembahan mereka yang dinamai Naibata. Jadi tidak sulit menggambarkan kepada mereka siapa itu Debata, yang menciptakan langit dan bumi. Sebab mereka pun percaya bahwa Naibata mereka juga menciptakan langit dan bumi.Tetapi ketika saya mulai mengatakan bahwa Tuhan itu satu, yakni Yahweh, Tuhan orang Israel dan yang telah mengutus AnakNya ke dunia, mereka biasanya langsung terdiam. Sebab, dugaan saya dalam hati mereka tidak bisa menerima karena mereka akan langsung ingat tuhan yang mereka sembah. Biasanya masing-masing orang punya tuhan sendiri.

Itu sebabnya saya biasanya tidak selalu mengawali penginjilan saya dengan khotbah-khotbah bersifat teologis semacam ini. Justru saya banyak mengupas Firman Tuhan yang mengatur hubungan antarmanusia. Dan mereka kelihatannya senang.

ebenezersiadari: Misalnya?

agustheis1903:
Misalnya, tentang hukum taurat kelima hingga ke delapan. Tentang bagaimana anak harus menghormati orang tua. Tidak boleh membunuh. Berbohong dan sebagainya. Ini menarik dan mereka setujui dalam hati, sebab, siapa pun tentu ingin dihormati oleh anak-anaknya. Tidak ada yang ingin dibunuh atau membunuh, dibohongi atau membohongi.

ebenezersiadari: Mereka dapat melihat terang, tetapi mereka belum menerima Terang yang jadi Sumber terang itu?

agustheis1903
: Eben mungkin dapat mengatakannya begitu. Tetapi sesungguhnya tidak pula dapat dikatakan semuanya berita buruk. Ada satu kejadian yang bisa saya ingat. Suatu hari di tahun 1905 Pdt Simon dari Bandar datang berkhotbah. Ia mengambil nats khotbahnya dari Lukas 17:11-19 yang bercerita tentang 10 orang yang disebuhkan Yesus, namun hanya satu yang berterimakasih. Pada saat Simon tuntas menjelaskan cerita itu, salah seorang dukun yang sudah tua yang ikut mendengar khotbah itu, langsung berdiri menghadap kepada kawan-kawannya yang ikut berkumpul. Kelihatannya ia sangat terkesan dengan khotbah itu. Dan ia berujar: “Kelihatannya, kita lah yang dimaksud dengan sembilan orang (yang tidak berterimakasih itu) ya?”

Saya sendiri ketika itu berkhotbah tentang seorang pegawai yang tidak berbelas kasihan kepada pekerjanya, padahal sang pegawai itu telah diampuni oleh majikannya (Matius 18). Eh, tiba-tiba saja seorang penghulu berdiri dan berkata: “Ya, kalau begitu lah adanya, saya lah mungkin orang yang berdosa besar itu.”

Hal-hal semacam ini menjadi pendorong bangkitnya lagi semangat saya ketika itu.

ebenezersiadari: Barangkali memang diperlukan kehadiran tokoh-tokoh pemimpin diantara mereka untuk menjadi panutan dalam mengungkapkan penerimaan atas Terang itu…..

agustheis1903
: Saya selalu mengusahakan hubungan yang baik dengan para raja dan penghulu. Saya sedikit banyak mengerti pengaruh besar dari raja kepada rakyatnya. Itu sebabnya, saya sangat senang ketika Raja Raya datang bertamu ke rumah kami pada hari Natal 24 Desember 1905. Saya senang karena saya berharap kunjungannya ini akan membawa perubahan besar bagi sikap rakyat terhadap misi yang saya lakukan.

Setelah kunjungan raja itu, saya memang makin sering mendengar orang-orang bertanya sesama mereka sendiri: “Apakah kamu masuk Kristen juga?” Atau, “Sudahkah kamu masuk Kristen?” Buat saya hal semacam ini adalah berita bagus. Sebab, sesungguhnya Raja Raya sangat kooperatif dalam mendorong para orang tua menyekolahkan anaknya. Jadi saya sebenarnya sangat berharap agar ia melakukan dorongan yang sama dalam menerima Terang itu.

Sayangnya, setelah kunjungan itu, raja tak pernah berkunjung lagi dalam tempo yang sangat lama. Rakyat tentu sangat menanti sinyal yang ditunjukkan raja. Sebab ada juga celetukan yang saya dengar, “Kalau raja kita sendiri tak kunjung datang, bagaimana pula kita bisa hadir.” Maksud mereka barangkali kalau raja sendiri tidak ikut menghadiri ibadah, menjadi Kristen, untuk apa pula rakyat ikut-ikutan.

ebenezersiadari: Agak rumit ya Om?

agustheis1903
: Saya kira memang kerumitan semacam itu sangat wajar di periode-periode awal. Tapi saya tetap optimistis karena saya melihat, sebenarnya anak-anak sekolah yang kami didik, sangat ingin menerima Terang itu. Mereka sangat ingin dibaptis. Namun, orang tua mereka kebanyakan tidak mengizinkan. Ini juga jadi persoalan tersendiri. Dan ini saya sampaikan dalam sebuah rapat rutin mingguan di Pematang Raya, yang dihadiri oleh para penghulu. Dan rapat itu akhirnya memutuskan bahwa orang tua tidak berhak melarang anaknya yang ingin dibaptis.

Setelah itu, makin bertambah lah anak-anak yang dibaptis, walau pun orangtuanya belum mau ikut beribadah Minggu. Saya sering berbincang-bincang dengan para orang tua itu karena mereka sering datang ke rumah saya berobat. Kebetulan saya mempunyai pengetahuan secukupnya tentang pengobatan dan di rumah saya tersedia sejumlah obat untuk penyakit yang umum di Negara sedang berkembang.

Seingat saya, mereka menganggap Terang itu merupakan hal baru. Dan hal baru itu hanya cocok bagi anak-anak dan kaum muda. Tidak cocok untuk para orang tua. Saya tentu tak bisa segera membantahnya. Saya kira itu hak mereka berpendapat demikian. Tetapi saya juga tak ingin menyerah. Walau pun sampai enam tahun saya tinggal di Pamatang Raya belum juga ada yang sudi dibaptis. Saya tetap bekerja sungguh-sungguh.

Eh, sorry Eben. Saya kira kita sudah terlalu lama berbincang-bincang. Mata saya sudah agak pedih. Bolehkah kita sudahi dulu?

ebenezersiadari: Silakan Om. Tapi saya sesungguhnya masih mempunyai banyak yang ingin ditanyakan. Bisa kita sambung besok lagi? Di jam yang sama?

agustheis1903: Dengan senang hati. Sampai besok.



Link

Empat Hari bersama Agus Theis (3)

(Percakapan Imajiner dengan Missionaris Pertama di Simalungun)

Chating dengan Agus Theis:
Hari Ketiga



ebenezersiadari: Selamat malam Om. Tetap sehat kan?

agustheis1903: Puji Tuhan, Ben. Semuanya beres. Eben bagaimana? Eben seharusnya cerita juga dong, tentang cucu saya di rumah. Sudah bisa apa dia? Apa Eben membawanya juga ke sekolah minggu?

ebenezersiadari: Sehat semua Om. Ia setiap Minggu saya antarkan ke sekolah minggu. Mudah-mudahan ia juga kelak bisa menyelami apa yang Om sudah lakukan di Simalungun. Saya juga berharap kelak ia mengerti serba sedikit sejarah Terang masuk ke Simalungun, biar dia juga tahu bagaimana ayahnya dulu digembleng di sekolah minggu kampung . Tapi Om, kita nggak sedang bicara tentang anak saya kan? Saya masih banyak pertanyaan tentang Om dan pekerjaan Om waktu dulu.

Ny Theis (Mrs Henriette) sedang memberi makan ternak mereka, disaksikan putra-putrinya. Sumber: Riwayat Hidup Pandita August Theis, 1987, Kolportase GKPS, A. Munthe

agustheis1903
: Apa itu?

ebenezersiadari: Om sudah cerita bagian paling awal dari pekerjaan Om di Simalungun. Dalam enam tahun pertama, keadaan serba sulit kedengarannya. Belum ada yang dibaptis. Saya ingin dengar juga dong cerita Om yang lebih menyenangkan, yang menggembirakan.

agustheis1903:
Wah, Eben jangan terlalu mendramatisir. Tidak usah bayangkan semua yang suram-suram. Walau pekerjaan zending membutuhkan perhatian penuh saya, dan walau pun saya ada kesan jalan yang saya tempuh seperti buntu, bukan berarti saya dan keluarga tidak punya waktu senggang. Kami juga menikmati hidup.

ebenezersiadari: Misalnya?

agustheis1903:
Saya dan istri beserta keempat orang anak saya acap juga bepergian. Kami dulu mempunyai kereta kuda. Saya sering mengajak keluarga berkeliling kampung. Juga mengunjungi kampung-kampung tetangga. Anak-anak saya bisa menyaksikan hal-hal baru yang mungkin tidak mereka temukan di Pematang Raya. Pada pagi dan sore hari, istri saya menyempatkan juga memberi makan ayam peliharaan kami. Anak-anak saya menikmati hidup di kampung.

ebenezersiadari: Asyik tuh Om. Putri saya juga kalau pulang kampung senang sekali bermain-main dengan si Piggy di belakang rumah orang tua saya….

agustheis1903:
Memang begitu lah Eben. Saya juga di Jerman lahir di kampung dan dibesarkan sebagai anak kampung. Jadi masih ada pertautan lah dengan keadaan di Pematang Raya. Beternak dan bertani bukan hal yang aneh bagi saya. Sama halnya juga dengan bertukang. Jadi saya sangat menikmati pekerjaan membawa Terang itu Eben. Walau pun begitu, ada juga yang selalu membuat saya sedih, tiap kali ingat Pematang Raya….

ebenezersiadari: Apa itu Om?

agustheis1903
: Henriette dipanggil Tuhan pada tanggal 12 Juni 1909, hanya sembilan hari setelah melahirkan putri bungsu kami.

Ebenezersiadari: Henriette?
Agustheis1903:
Itu nama istri saya. Kalau Eben memanggil saya Om atau Tulang, dia bisa lah Eben sebut sebagai Tante atau Atturang. Setahun setelah saya berada di Pematang Raya saya memutuskan menikah. Saya dulu memang sudah berpacaran dengan dia kala masih di Jerman. Nama lengkapnya, Henriette Bannier. Dan saya senang ketika dia mau saya ajak ‘merantau’ ke Raya ini, sehingga ia datang menyusul saya. Dia sangat cantik lho. Perkawinan kami dianugerahi empat orang anak, Ernst, Paul, Johanna dan Maria…Tapi kami hanya sempat bersama selama enam tahun.

ebenezersiadari: Oh, sorry Om. Turut berdukacita.

agustheis1903
: Henriette sampai hari ini dimakamkan di Pematang Raya. Itu adalah salah satu kegetiran hidup yang saya alami, selama membawa Terang itu di Simalungun. Dan sebenarnya, banyak juga kepahitan-kepahitan lain. Misalnya, penyakit menular seperti Malaria dan Campak, sering berkecamuk kala itu. Di tahun 1907 kami sekeluarga pernah menderita penyakit kolera. Lama sekali baru sembuh karena obatnya susah. Saya kala itu sampai mengirimkan orang menemui Pdt Guillame di Purba Saribu. Pdt itu lah yang mengirimkan obat kepada kami, melalui seorang pendeta yang bertugas di Tigaras. Bahkan Dr. Schreiber yang bertugas di Toba akhirnya menyempatkan diri datang memeriksa kami, setelah berminggu-minggu kami sekeluarga dalam penderitaan.

ebenezersiadari: Sekali lagi, maafkan saya Om, mengingatkan Om akan masa yang pahit itu.

agustheis1903
: Tidak apa-apa, Eben. Karena dengan mengingat itu pula, saya merasakan bahwa Tuhan memberi kekuatan kepada saya. Dan, Puji TUhan setelah itu, kerja pelayanan saya dalam membawa Terang ke Simalungun justru bertambah baik.

ebenezersiadari: Maksud Om?

agustheis1903:Saya merasa saya seperti dibukakan jalan. Atau lebih tepatnya, tuaian itu bukan hanya sudah siap untuk dipanen tetapi kami malah sudah memulai panen. Pada hari Natal di tahun dimana istri saya dipanggil Bapa di Surga, akhirnya penghiburan tak ternilai datang kepada saya. Sebanyak 24 orang akhirnya mau menerima Terang itu dan mereka dibaptis. Saya menganggapnya merupakan jalan awal menuju panen yang lebih besar. Panen yang tak berkesudahan. Tanda-tandanya sangat banyak. Diantaranya, saya makin bisa melihat misi zendiring makin diterima, walau pun terutama masih dalam soal penyediaan sekolah.Dari berbagai tempat, datang permintaan agar dibangun sekolah di kampung mereka. Semua itu menambah semangat saya melayani.

ebenezersiadari: Itukah pembaptisan yang pertama yang Om lakukan?

agustheis1903
: Ya. Persis tanggal 26-12-1909. Mudah-mudahan Eben tak terpana pada tanggalnya dengan memakai kacamata Hong Sui. Melainkan karena itu adalah hari Natal.:-))

ebenezersiadari: Masih ingat siapa saja mereka Om?

agustheis1903:
Diantaranya Musa Damanik dan nyonya, Marianna Saragih, Sanna Damanik, Marinus Damanik, Hulda Damanik, Nonna Damanik, Petrus Damanik….

ebenezersiadari: Wah kelihatannya tulang dan pariban saya semua itu, Om. Ibu saya kan Damanik….:-))

agustheis1903:
Jangan ge-er dulu, Ben. Ada juga yang datang dari Raya Tongah dan bukan dari keluarga Damanik melainkan Sinaga. Yakni Salomo Sinaga, Abina Saragih, Hormainim Sinaga, Marthe Sinaga, Lamina Sinaga, Andreas Sinaga….ah, masih ada lagi yang lainnya. Nanti bisa saya kirim lewat email.

ebenezersiadari: Oke Om.

agustheis1903:
Selain itu, pada saat itu sudah ada 11 guru yang digaji zending kala itu. Mereka melayani di Pematang Raya, Bulu Raya, Huta Dolog, Raya Usang, Dolog Huluan, Sipoldas, Hite Urat, Dolog Saribu, Raya Tongah, Kariahan dan Janji Mauli. Gajinya berkisar f10 sampai f15.

ebenezersiadari: Om mungkin makin sibuk setelah tuaian pertama itu. Tapi pada saat yang sama, saya tidak bisa membayangkan, Anda sendirian mengasuh empat orang anak, termasuk si bungsu yang masih bayi. Sementara Anda juga harus bekerja….

agustheis1903:
Banyak yang ikut membantu. Baik kolega sesama misionaris, para tetangga dan juga kawan-kawan sekampung. Dan Puji Tuhan.

ebenezersiadari: Tetap saja saya merasa agak kurang lengkap jika seorang ayah mengasuh anak-anak yang masih sangat kecil itu, sendirian. Pendeta lagi.

agustheis1903
: Saya juga memikirkan itu Eben. Dan jalan juga terbuka pada saya. Sebab dua tahun kemudian, saya menemukan pengganti Henriette. Namanya Marie Sophie Langemann. Ia dulunya adalah zuster di Rumah Sakit Laguboti. Dia enam tahun lebih muda dari saya. Ia berasal dari Hildesheim.

ebenezersiadari: Oh, baru saya mengerti. Atturang (Tante) yang baru itu pasti memberikan sumbangan yang besar bagi pekerjaan Om sesudahnya.

agustheis1903
: Tentu saja. Saya merasa menjadi sebuah keluarga yang lengkap kembali. Apalagi beberapa tahun kemudian ia pun kemudian melahirkan seorang putri yang kami namai Emma. Dan kali ini ia melahirkan bukan lagi di Pematang Raya tetapi di P. Siantar.

Tambah tahun saya merasa makin dikuatkan. Saya melihat Terang Tuhan itu makin diterima masyarakat. Setiap tahun ada saja anak yang dibaptis.Bukan hanya di Pematang Raya, tetapi juga di desa lainnya.

Faktor lain yang perlu dicatat adalah seseorang harus sudah mendapat baptis baru bisa melanjutkan sekolahnya ke seminari. Bahkan seorang calon guru harus sudah dibaptis dulu baru bisa menjadi guru. Jika tidak, ia belum diizinkan mengajar. Ini tampaknya turut menjadi pendorong makin banyaknya yang bersedia dibaptis. Apalagi permintaan agar sekolah makin banyak di buka di desa-desa lain, mendorong pertambahan permintaan guru.

Maka Eben tak usah heran bila mengetahui bahwa J. Wismar Saragih baru dibaptis pada 11-9-1910, setahun sebelum ia kami kirimkan ke Narumonda untuk bersekolah di seminari. Juga Jason Saragih yang kami kirimkan ke Depok bersamaan dengan Wismar Saragih, dibaptis pada tanggal 4-6-1911.

ebenezersiadari: Bagaimana dengan para keluarga mereka. Apakah ada yang tergerak untuk dibaptis juga?

agustheis1903:
Ada satu peristiwa yang saya tak bisa lupa. Pada hari Natal 1911, setahun setelah saya membaptis J. Wismar Saragih, saya membaptis pula Djaudin Saragih. Dia ini adalah pangulu balei, yakni jabatan pemerintahan di Raya kala itu. Djaudin adalah kakak dari J. Wismar Saragih. Ia dibaptis bersama Jonatan Sinaga. Djaudin lah orang Pemerintahan Kerajaan pertama yang mau menerima Kristus. Saya sangat senang dan berharap langkahnya itu akan memberikan dorongan bagi orang lain yang masih ragu.

ebenezersiadari: Apa yang mendorong para tokoh ini bersedia dibaptis?

agustheis1903
: Saya kira banyak pendorongnya. Antara lain barangkali mereka melihat manfaat pendidikan pada anak-anak Simalungun. Juga anak-anak itu mungkin menceritakan apa yang didengarkannya dari para guru dan misionaris, yang turut pula meyakinkan para tokoh itu. J. Wismar Saragih adik Djaudin yang telah lebih dulu dibaptis merupakan murid saya paling senior dan paling awal. Seperti saya katakan sebelumnya, setelah menyelesaikan pendidikannya di Pematang Raya, saya mengirimkannya melanjutkan sekolah seminari ke Narumonda bersama kawan seangkatannya, Paulus Purba. Murid lain, Jason Saragih, kami kirimkan ke Depok. Saya kira, J. Wismar Saragih banyak memberi pengaruh kepada lingkungan keluarganya tentang apa Terang itu dan mengapa Terang itu perlu diterima sebagai jalan keselamatan.

ebenezersiadari: Nama J. Wismar Saragih memang terkenal di kemudian hari dalam kepeloporannya membangun gereja orang Simalungun, GKPS.

agustheis1903:
Saya sudah melihat bakat kepemimpinannya itu sejak ia menjadi murid saya. Maka saya sangat gembira melihat kiprahnya di kemudian hari.

Dan setelah baptisan yang diterima penghulu balei yang merupakan kakak dari Wismar Saragih, itu, beberapa penghulu lainnya juga menyediakan dirinya untuk dibaptis. Sebentar, saya kira saya masih punya catatannya. Jangan kemana-mana ya Eben? Saya akan ambilkan. Brb (be right back).

Ebenezersiadari: Oke, Om. Saya tunggu.

Agustheis1903
: Nah, ini dia. Pada tanggal 2-11-1913, kami membaptis penghulu Dolok Saribu yang bernama R. Daut Saragih. Pada 7-12-1913 kami membaptis pula penghulu Urung Panei, Johan Purba. Kedua penghulu itu dibaptis bersama dengan keluarganya. Mereka bahkan menyelenggarakan pesta atas pembaptisan itu dan saya ikut hadir atas undangan mereka. Saya merasa pembaptisan atas mereka itu merupakan sebuah ‘hadiah’ yang tidak ternilai kepada saya, terutama karena tahun itu saya genap 10 tahun berada di Pematang Raya.

Sebelumnya, dalam catatan saya, telah makin banyak orang yang bersedia dibaptis. Selama tahun 1912, ada lima kali pembaptisan. Yang paling banyak adalah pada tanggal 26 Mei, saya membaptis 13 orang. Pada Natal hari pertama, saya membaptis tujuh orang. Sedangkan keesokan harinya ada 12 orang. Jadi pada tahun 1912 ada 34 orang yang menerima baptisan. Bandingkan dengan tahun 1911 yang hanya 15 orang.

ebenezersiadari: Dengan kemajuan yang Anda capai itu, bagaimana pandangan RMG atas pekerjaan Anda di Simalungun?

agustheis1903
: Sebetulnya, belum banyak yang bisa saya laporkan. Sebab, dibandingkan di daerah Toba misalnya, perkembangan penginjilan yang saya jalankan mungkin terasa lebih lambat. Tetapi dibandingkan periode awal, tentu saya bisa merasa gembira karena hari-demi hari kami menuai lebih banyak hasil. Dan saya sangat senang ketika pada 10 November 1911 Pak Spieker, direktur RMG dari Barmen, datang berkunjung ke Pamatang Raya. Buat saya ini adalah sebuah kehormatan dan gambaran dari kepedulian RMG pada Simalungun. Pak Spieker memang hanya dua hari berada di Pematang Raya. Ia mengendarai mobil dari P. Siantar ke tempat kami. Tapi itu sudah merupakan apresiasi yang tak terduga bagi saya. Dan memotivasi saya supaya bekerja lebih giat.

Saya mencatat, setelah 10 tahun saya berada di Simalungun, sudah ada 11 jemaat dan juga sekolah. Ada 90 orang menerima Terang dan terangkat dari kegelapan. Pada tahun itu pula saya berkirim surat ke kantor pusat RMG di Barmen agar mengirimkan lonceng gereja (giring-giring). Soalnya giring-giring baru ada satu di daerah Raya, padahal ada 11 jemaat yang memerlukannya. Pada tahun itu pula, saya mendapatkan alat yang sangat membantu pekerjaan saya, yakni mesin tik. Sejak itu saya mencoba meninggalkan kebiasaan membuat laporan dan surat tulis tangan, baik kepada RMG di Barmen mau pun kepada Nommensen.

Dalam laporan saya untuk tahun 1913, saya mengutip sebuah lagu sebagai penutupnya. Bunyinya dalam Bahasa Simalungun:
Jesus Kristus in do Raja
Ipabangkit Naibatanta
Manggomgomi hajojor (2x)
Janah ganup hajolmaon
Ningon Bani do mar Tuhan
Iakuhon in botul (2x).


Buat saya, ini adalah semacam kesimpulan untuk meneruskan pekerjaan pelayanan untuk menghadirkan Terang itu sekaligus untuk menunjukkan pengharapan kepada sang Terang itu sendiri.

ebenezersiadari: Sangat menarik Om. Setelah sebegitu lama bekerja, dengan pengalaman yang pahit begitu, apa tidak terpikir mengambil cuti pulang kampung?

Agustheis1903
: Tentu terpikir juga, Eben. Tetapi itu kita ajukan hanya dengan harapan dikabulkan oleh RMG. Jika tidak dikabulkan, kita harus sabar. Sebab, mungkin saja mereka melihat tenaga kita memang masih diperlukan. Dan saya kira hal itu wajar.

ebenezersiadari: Jadi Om tak pernah cuti selama ditugaskan di Simalungun?

agustheis1903:
Selama 18 tahun saya bertugas di Simalungun, ada beberapa kali saya mengirimkan surat permintaan cuti. Tetapi saya tetap sabar walau pun keinginan saya itu tidak dikabulkan.

ebenezersiadari: Saya membayangkan pasti banyak juga hal yang Om pikirkan, terutama mengenai keluarga. Pendidikan anak-anak Om, misalnya. Apakah mungkin mereka dididik di sekolah yang Om dirikan di Simalungun? Saya duga akan banyak hambatan psikologis.

agustheis1903
: Ya, itu jadi pertimbangan saya. Maka pada tahun 1912, ketika Ernst berumur tujuh tahun dan Paul enam tahun, saya memberanikan diri mengirimkan mereka pulang ke Belanda untuk sekolah di sana. Saya kira mereka perlu mendapat pendidikan yang baik, yang juga pernah diterima oleh ayahnya. Dan usia mereka sudah pas untuk itu. Saya sendiri merasa berat berpisah dengan mereka. Tetapi menurut saya itu lah pilihan terbaik.

ebenezersiadari: Saya kira, saya pun akan berbuat serupa seandainya saya jadi Om kala itu.

agustheis1903
: Ya. Itu saya kira adalah pertimbangan yang sangat manusiawi. By the way, bolehkah kita sudahi perbincangan ini? Saya agak lelah.

ebenezersiadari: Masih bolehkah saya meminta waktu Om besok, di jam yang sama?

agustheis1903:
Tidak ada masalah. Sampai jumpa besok, Eben. Di jam yang sama. Ada hal spesifik yang sudah Eben pikirkan untuk ditanyakan?

ebenezersiadari: Tidak Om. Saya masih ingin menggali apa saja yang Om lakukan selama di Simalungun.

agustheis1903:
Baik. Sampai besok.

Empat Hari bersama Agus Theis (4)

((Percakapan Imajiner dengan Missionaris Pertama di Simalungun)
Chating dengan Agus Theis:
Hari Keempat (Terakhir)


ebenezersiadari: Hi Om. Jumpa lagi. Ini hari keempat kita berbincang.

agustheis1903: Hi Eben. Saya baru saja mendengar kabar di Indonesia orang sedang membicarakan tentang peraturan pemerintah yang mengatur soal pembangunan rumah ibadah. Saya hanya mendengarnya sepintas. Tapi mengingatkan saya pada zaman ketika saya masih di Simalungun. Tetapi keadaan yang saya hadapi justru sebaliknya. Kami kala itu justru kewalahan mengabulkan permintaan orang-orang agar di kampung mereka dibangun sekolah, yang tentu saja dapat juga dipergunakan jadi gereja.
Agus Theis dan nyonya dalam sebuah pertemuan santai dengan sesama misionaris. Mungkin di Pematang Raya. Sumber foto: Buku Riwayat Hidup Pandita August Theis, 1987, Kolportase GKPS, A. Munthe

ebenezersiadari: Oh ya?

agustheis1903: Saya jadi ingat, pada tahun 1914, setelah 11 tahun saya di Simalungun, saya mengikuti rapat para missionaris di Sipoholon. Tidak banyak memang yang bisa saya laporkan karena sebelumnya saya sakit keras dan lama. Tetapi ada beberapa hal menggembirakan yang saya kemukakan di rapat itu. Antusiasme orang untuk mendirikan gereja dan sekolah terus tumbuh. Misalnya penduduk Bah Tonang dengan swadaya, mereka mendirikan sekolah sekaligus tempat peribadatan mereka. Sejumlah orang sudah pula menunggu untuk dibaptis. Sementara itu sekolah dan gereja baru tengah disiapkan pula akan berdiri di Dolok Silau dan di Sirpang Raya.

Saya juga melaporkan bahwa orang benar-benar mempunyai antusiasme yang tinggi menjalankan ibadah. Sudah dua kali kami mengadakan Perjamuan Kudus dan diikuti 134 orang. Bayangkan. Orang yang sudah dibaptis saja baru 185 orang, termasuk anak-anak. Padahal yang mengikuti Perjamuan Kudus rata-rata 67 orang pada setiap kali diadakan. Bukankah ini berarti kurang lebih 100% orang yang layak mengikuti Perjamuan itu sudah mengikutinya?

Jadi dalam hal ini, keadaan yang saya hadapi dalam soal pendirian rumah ibadah, lebih ringan daripada yang dihadapi para pemuka gereja di Indonesia, sekarang ini.  Bercanda.

ebenezersiadari: Tiap zaman dan tempat punya tantangannya sendiri kan Om? (Saya Cuma sok jadi intelektual saja mengatakan kata-kata klise ini.)

agustheis1903: Kalau itu sih memang benar. Tantangan di masa saya bukan datang dari Pemerintah tapi dari keadaan sosial budaya kala itu. Sebab memang dibutuhkan kesabaran dan pengharapan. Coba bayangkan. Jangankan orang Belanda seperti saya. Ada beberapa orang guru yang kami datangkan dari Silindung dan daerah Toba lainnya, meminta dipulangkan. Mungkin karena anggota keluarga mereka merasa tidak betah. Ada yang karena kangen kepada kampung halaman mereka. Ada juga yang karena merasa kesepian, tidak punya sanak saudara di tempat yang baru ini. Belum lagi kejadian yang mungkin menghadirkan trauma, seperti rumah guru yang terbakar di Huta Dolok padahal rumah itu baru didirikan.

Maka saya bisa memahami bila ada juga satu-dua guru yang tidak betah. Apalagi ada diantara istri mereka yang sampai sakit-sakitan. Saya gembira karena setelah mereka tiba di kampung halaman mereka, mereka mengabari saya bahwa keluarga mereka sudah sehat kembali. Hal-hal seperti ini memang tantangan yang berat.

ebenezersiadari: Sementara itu, guru dari orang Simalungun sendiri mungkin belum cukup banyak, ya Om?

agustheis1903: Betul. Kemarin saya sudah menceritakan tentang guru J. Wismar Saragih dan Jason Saragih yang kami kirimkan ke Narumonda dan Depok. Ketika mereka kembali ke Simalungun, kami langsung tempatkan di daerah Simalungun. Wismar Saragih ke Raya Usang lalu kemudian ke Raya Tongah. Sementara Jason di Pematang Raya. Demikian juga guru-guru lainnya.

Kami juga mendidik agar murid-murid sekolah kami bisa disiapkan menjadi guru penolong. Saya masih ingat, suatu hari di tahun 1915, setelah pulang dari Medan segera saya berangkat ke Siantar beserta murid-murid kami yang akan mengikuti ujian menjadi guru penolong. Tujuannya ke Siantar. Ada 24 orang murid yang saya dampingi itu. Tetapi hanya 14 orang saja yang lulus. Dua diantaranya langsung bekerja karena ada dua orang guru dari Silindung yang kembali ke kampung halamannya.

Namun permintaan terhadap tenaga guru terus bertambah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh masyarakat membutuhkannya tapi tetap tak terkabulkan. Sementara orang yang ingin masuk sekolah pun seringkalai melebihi daya tampung yang terpaksa saya membuatkan semacam daftar tunggu (waiting list).

Seiring dengan perjalanan waktu, kami pun mulai memikirkan bagaimana mengangkat harhat kaum wanita. Bagaimana agar kaum wanita ini juga mengenal Terang itu. Sebab, pengalaman saya menunjukkan justru kerap kali wanita lah yang lebih lambat menerima Terang itu, walau pun suaminya sudah.

Lalu kami pun mencoba membuka sekolah malam untuk wanita. Ada 30 orang muridnya. Di dalam sekolah itu diajarkan berbagai keterampilan, seperti menjahit. Istri saya ikut menjadi guru menjahit. Guru Jason Saragih pun aktif di sekolah ini. Jika awalnya sekolah malam untuk putri itu dibuka di Pematang Raya, tak lama kemudian menyusul pula kami buka sekolah putri di Raya Tongah. Istri saya pun aktif di sini.

Tahun 1916 saya juga mencoba mengadakan Penelaahan Alkitab (PA) beberapa kali. Saya memaksudkan ini untuk memperdalam pemahaman jemaat.

Pada tahun yang sama pula, kami mengadakan Pesta Sending yang diikuti oleh seluruh jemaat di seluruh Raya. Kami mengadakannya di pekan Pemaang Raya menggunakan dua balairung di sana. Di tengah balairung itu dibuatkan podium dan masing-masing guru berbicara memberikan kesaksian lima menit. Disela-selanya, koor sekolah minggu. Jemaat membawa oleh-oleh (siluah)nya masing-masing dan dari hasil lelang atas siluah itu, terkumpul fl260.

ebenezersiadari: Itu berarti pesta sending yang pertama ya Om? Semacam pertemuan raya (Pesta Olob-olob)?

agustheis1903: Mungkin. Saat itu sudah 13 tahun Terang menyinari Simalungun.

ebenezersiadari: Apa yang bisa Anda syukuri dalam saat yang istimewa itu?

agustheis1903: Sebentar, saya juga ada mencatat beberapa hal dalam buku harian saya. Yang jelas, perkembangan jumlah orang yang menerima Terang itu tidak bisa disebut spektakuler. Masih dalam jumlah yang begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Tetapi dari sudut kedalaman penetrasi Trang itu, saya bersyukur karena terus meningkat. Sebentar ya? Saya ambilkan catatan saya. Brb (be right back).

ebenezersiadari: Oke Om.

agustheis1903: Pada tahun 1915, ada yang saya anggap menonjol, ani dua kali saya pergi ke Bah Tonang Kami mengadakan evangelisasi di sana. Dan malam sebelum kami melakukan pembaptisan keesokan harinya, saya mencoba menguji para calon peserta baptis. Ada 20 orang mereka yang akan dibaptis pada 12-12-1915. Salah seorang diantara pesertanya adalah datu (dukun) yang dulu pernah menyela khotbah Pdt Simon tentang sembilan orang yang tidak berterimakasih. Saya sungguh merasa bersukacita karena ia akhirnya menerima Terang itu.

Salah seorang peserta lainnya adalah seorang yang sudah sangat tua. Ia dibaptis bersama anaknya, mantunya, cucu dan cicitnya. Bayangkan, empat generasi ikut dibaptis sekaligus.

Di Bah Tonang kami mempunyai seorang guru penolong bernama Augustin Sinaga. Ia mengikuti baptis tiga tahun sebelumnya. Ia adalah anak dari penghulu Bah Tonang.

Catatan saya yang istimewa juga adalah pertemuan dengan Tuan Amborokan. Ketika saya berkunjung ke sana, Tuan itu membawa sebuah buku tata bahasa Belanda. Ia meminta saya mengajarkan Bahasa Belanda kepadanya. Menurut dia, usianya kala itu 30 tahun. Seandainya diperlukan 20 tahun untuk bisa mempelajari Bahasa itu, ia masih cukup umur untuk bisa menggunakannya.

Sayang sekali saya tidak bisa mengabulkan permohonannya karena jarak tempat kami cukup jauh. Meskipun demikian, saya sungguh senang melihat semangatnya.

Tahun itu pula Tuan Bulu Raya meninggal karena dibunuh. Semula kami dan rombongan ingin bermalam di Bulu Raya dalam perjalanan dari Bah Tonang ke Pematang Raya. Tapi karena peristiwa terbunuhnya Tuan itu, kami akhirnya meneruskan perjalanan. Saya sempat menjenguk dan melihat sendiri kepala Tuan Bulu Raya. Saya memberikan penghiburan ketika itu.

Beberapa pembaptisan saya lakukan pada tahun itu. Antara lain di Pematang Raya, Raya Tongah dan Bulu Raya. Jumlahnya selalu seperti biasa, tidak terlalu spektakuler. Di Pematang Raya 32 orang, di Raya Tongah 17 orang dan di Bulu Raya 13 orang. Salah seorang yang dibaptis di Pematang Raya adalah keponakan dari Raja Bandar. Kebetulan mereka berada di Pematang Raya karena terjadi kebakaran di Pematang Bandar.

Kesulitan ekonomi sampai tahun 1920 ikut melanda Simalungun. Namun di sisi lain, beberapa kemajuan pantas pula dicatat. Misalnya, jalan P. Siantar-Pematang Raya makin bagus yang menyebabkan surat-surat kepada saya tiba lebih cepat dari sebelumnya. Organ untuk mengiringi ibadah sudah pula ada yang kami dapatkan dari Jerman dan kami jemput dengan memakai kuda dari P. Siantar. Waktu perjalanan: tujuh hari.

Pada tahun 1919 mertua saya meninggal. Saya baru mendapatkan kabar itu setengah tahun sesudahnya. Sedih, terutama istri saya. Itu pun saya mendengarnya dari surat yang dikirimkan oleh anak saya dari Belanda. Ini sebenarnya hal-hal yang sangat pribadi. Namun, sedikit banyak memberi pengaruh kepada pekerjaan.

Yang menggembirakan saya, beberapa kader sudah bisa menggantikan tugas-tugas yang sebelumnya biasa saya lakukan. Guru J. Wismar Saragih, makin lama makin piawai dalam pelayanan. Hidupnya juga makin mapan, setelah ia menikah dan saya sendiri yang memberkatinya.

Saya juga akhirnya memindahkan Wismar Saragih dari Raya Usang ke Raya Tongah. Di tempat terakhir ini jemaat memang lebih banyak. Tak lama setelah saya pindahkan itu lah Wismar menikah. Dan selain Wismar, Tuan Anggi, salah seorang saudara dari Raja Raya, menikah pula dan menerima pemberkatan secara kristiani. Ini sangat menyenangkan buat saya.

ebenezersiadari: Tampaknya di masa-masa ini Om sudah mempersiapkan diri ‘pensiun’ dari Simalungun

agustheis1903: Pensiun sih tidak. Tapi saya memang merasa perlu beristirahat. Dan untungnya, mulai tahun 1920 keadaan ekonomi membaik. Setahun sebelumnya, saya sudah mengirimkan dua putri saya dari istri pertama ke Belanda, karena usia mereka sudah layak untuk sekolah. Dan ini menjadi pemikiran saya terus.,

Tahun berikutnya, permohonan cuti saya untuk pulang kampung dikabulkan. Pada tanggal 4 April 1921, diadakan perpisahan untuk keluarga saya di Pematang Raya. Saya gembira karena Wismar Saragih sudah makin cekatan dalam memimpin. Dial ah yang mempersiapkan malam perpisahan itu. Ia bahkan mengarang sebuah lagu perpisahan yang indah, bunyinya dalam Bahasa Toba:
Sai hipas di pardalanan
Tuan I nang Nyonya i
Lao tu tano hagodangan
Didongani Tuhan i
Sahat tu Debata
Ma langka ni tuan i

Saya sangat terharu ketika seluruh jemaat ikut menyanyikan lagu itu. Saya kira Wismar Saragih memang seorang pemimpin yang baik. Saya tak heran bila dikemudian hari ia bisa memimpin umat Kristiani di Simalungun mendapatkan kemandiriannya sebagai sebuah gereja dalam bentuk GKPS seperti yang kita saksikan sekarang ini.

ebenezersiadari: Setelah cuti itu, apakah Anda masih kembali ke Indonesia?

agustheis1903: Ya, masih kembali. Tapi saya sudah ditempatkan di daerah lain yakni di Dolok Sanggul. Sementara pekerjaan saya di Pematang Raya dilanjutkan oleh Pdt Guillaume yang sebelumnya berada di Saribudolok. Saya mendengar bahwa tak lama kemudian Wismar Saragih masuk sekolah pendeta. Saya gembira karena ia memang layak menjadi gembala.

Ketika saya bertugas di Medan, Wismar Saragih pula yang datang menemui saya. Kala itu ia masih menempuh pendidikan kependetaannya di Sipoholon. Ia mewawancarai saya untuk menanyakan sejarah jemaat Raya. Wismar kala itu mencatatnya dengan teliti. Dan saya mendengar ia menjadikannya sebuah buku, atas biayanya sendiri.

ebenezersiadari: Dari sekian panjang pengalaman dan masa perintisan Om di Simalungun, apa kesan Anda setelah melihat orang Simalungun, terutama GKPS, telah tumbuh seperti sekarang ini?

agustheis1903: Saya selalu optimistis, Eben. Saya tak pernah sedetik pun meragukan kemajuan orang Simalungun. Saya seperti ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Pematang Raya, dan melihat bahwa tuaian itu sudah saatnya dipanen, sampai sekarang juga saya merasa masih banyak lagi yang bisa kita lakukan di Simalungun.

Saya bangga bahwa orang Simalungun telah membangun gerejanya sendiri, GKPS. Dan tetap langgeng di usianya yang lebih dari 100 tahun saat ini. Tidak terpecah, berkonflik seperti kebanyakan gereja suku. Ini suatu hal yang dapat kita syukuri dan banggakan.

Tetapi jangan lupa, GKPS juga harus melihat sekelilingnya. Orang Simalungun juga harus siap menerima tantangan zaman. Mawas diri dan terus berpikir bahwa tuaian sudah matang dan saatnya untuk dipanen. Di sekeliling kita banyak sekali yang dapat kita lakukan. Sudah saatnya, menurut saya, GKPS menunjukkan jatidirinya ke dunia luar. Bahwa ia adalah sebuah gereja yang telah berjalan sedemikian panjang, bergumul dengan hidup orang-orangnya. Dan kini saatnya ia juga bisa menyumbangkan kemampuannya kepada sesamanya, di luar dirinya.

ebenezersiadari: Maaf Om, saya pernah mendengar dari beberapa orang, pada zaman Om, jumlah orang Simalungun yang menerima Terang itu baru 900 orang. Pertumbuhannya justru makin cepat setelah Om tinggalkan. Apa betul?

agustheis1903: Ya, saya menyadari itu. Dan saya kira kalau kita mau mencari ‘kambing hitam’ kita bisa mengatakan bahwa barangkali penyebabnya adalah faktor bahasa. Bahasa yang kami gunakan dalam mengajar dan berkhotbah adalah Bahasa Toba. Saya sendiri dibekali Bahasa Toba. Jadi saya tidak punya pilihan. Bahkan ada syarat, seorang misionaris baru bisa menikah setelah dia bisa berbahasa Toba.

Barangkali, kalau boleh saya jujur, yang tidak saya sadari sekian lama adalah ternyata Bahasa Simalungun dan Bahasa Toba itu mengandung perbedaan yang banyak dan tajam. Ada yang artinya sangat halus dalam Bahasa Toba tetapi di telinga orang Simalungun itu sangat kasar dan pantang diucapkan. Hal-hal semacam ini saya kira ikut mempengaruhi.

Lagi-lagi kalau ingin menyalahkan siapa-siapa, barangkali kami dan lembaga zending lah yang salah karena kami mengira bahwa dengan menggunakan Bahasa Toba semuanya akan bisa beres.

Saya turut bergembira karena pada akhirnya putra-putri Simalungun berinisiatif menyebarkan Terang itu ke sesama mereka. Saya tentu ikut bangga bila salah seorang murid saya, J. Wismar Saragih menjadi pelopor bagi berdirinya GKPS yang kini sudah berkembang sedemikian rupa. Saya kira saya juga ikut belajar. Semua ikut belajar dari perjalanan Terang di Simalungun. Tetapi perjalanan itu, menurut saya, harus lah dilihat dengan kacamata ucapan syukur. Bahwa Terang itu telah menyinari Simalungun. Dan kegelapan Simalungun berangsur kita tinggalkan. Bukan begitu, Eben?

ebenezersiadari: Ke depan, apa yang Anda harapkan dari GKPS?

agustheis1903: Saya percaya bahwa dengan mengasah kemampuan kita terus-menerus, dengan melihat ke dunia luar. Kekuatan akan muncul jika kita bisa bertukar informasi dengan tetangga bahkan lawan kita. Saya kira itu juga yang menjadi pelajaran bagi saya selama membawa Terang ke tanah Simalungun. Seandainya orang Simalungun dibiarkan membantu dirinya sendiri pada masa itu, saya kira masih akan lama Terang itu datang menghampiri. Tetapi Tuhan telah bekerja. Melalui RMG. Melalui kami para misionaris. Yang kemudian menjenguk dan menyapa manusia Simalungun. Bahwa Terang itu menyebar dengan lambat, itu bagi saya, adalah sebuah pelajaran yang berharga. Tetapi tidak perlu disesali. Ia begitu karena mungkin diharuskan zaman dan masuk dalam rencanaNya. Sama seperti Bangsa Israel yang harus menempuh perjalanan 40 tahun ke Tanah Kanaan. Kita tak perlu menyesali, tetapi tentu kita belajar untuk mencari jalan yang lebih baik dari yang sudah kita lakukan itu.

ebenezersiadari: Terimakasih Om. Saya banyak mendapat pelajaran berharga dari perbincangan ini. Pertanyaan terakhir dan sifatnya pribadi, Om. Boleh dijawab, boleh tidak. Kenapa sih Om mau jadi misionaris?


agustheis1903: Ceritanya panjang. Tapi akan saya buat jadi pendek. Saya ini terlahir sebagai orang kampung. Di Haiger, kira-kira 120 km dari Barmen. Saya lahir tanggal 16 Februari 1874. Saya merupakan anak sulung dari tiga bersaudara.

Saya lahir dari keluarga biasa, dengan ekonomi yang pas-pasan. Setelah tamat SD saya melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan. Dengan bekal sekolah kejuruan itu pula saya bekerja untuk membiayai sekolah saya.

Sejak kecil saya sudah rajin ke gereja, bersekolah minggu. Setamat saya sekolah, saya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Tugas saya mengangkat pasir. Tapi walau pun saya bekerja, saya tetap tak pernah lupa ke gereja.

Sejak kecil saya sudah menyadari bahwa beban dosa yang ditanggung manusia sangat berat. Ia sangat mempengaruhi cara hidup manusia. Namun pada saat yang sama, saya tahu bahwa Tuhan tak menginginkan kematian orang-orang berdosa. Dalam hal ini lah batin saya selalu bergumul. Di satu sisi saya merasa cengkeraman dosa itu begitu besar. Tapi di sisi lain saya yakin Tuhan adalah pengasih. Bertahun-tahun saya gelisah, mencari kedamaian dengan berusaha memperbaiki tingkah lakunya. Dan pada akhirnya saya menyadari bukan usaha saya yang membuat saya selamat. Tetapi kasih Tuhan saja lah.

Itu saya dapatkan ketika saya membaca sebuah buku berjudul An der Pforte. Sungguh saya merasa dibukakan mata saya dan saya merasa betapa dosa saya telah diampuni oleh Yesus.

ebenezersiadari:Jadi karena itu Om jadi misionaris?

agustheis1903: Saya makin rajin memahami ajaran Kristen. Saya rajin mendengarkan khotbah. Dan saya makin lama tak bisa menyembunyikan keinginan untuk menjadi misionaris. Terutama setelah saya mendengar bahwa zending mempunyai misi yang besar untuk membawa Terang kepada orang-orang yang dalam kegelapan. Itu lah awalnya saya mendaftar di Seminari Zending di Barmen. Waktu itu umur saya 21 tahun. Saya mendapat panggilan dari direktur RMG. Tujuh tahun saya belajar di sana hingga menerima berkat kependetaan pada tanggal 6 Agustus 1902. Dan tak berapa lama kemudian, saya pergi ke tanah Anda, Simalungun.

ebenezersiadari: Sebuah perjalanan hidup yang sangat berarti Om. Terimakasih telah berbagi dengan saya.

agustheis1903: Terimakasih juga telah mau mendengar, sejarah yang menurut saya biasa saja ini. Dan sudah berulangkali ditulis orang.

ebenezersiadari: Terimakasih Om.


2 April 2006
© Eben Ezer Siadari.
Catatan: Hampir seluruh isi wawancara ini didasarkan pada buku, Pandita August Theis, Missionar Voller Hffnung, oleh A. Munthe, Kolportase GKPS, 1987. Tetapi bila ada kesalahan mau pun kenekadan penafsiran, itu adalah tanggung jawab penulis. Mohon dimaafkan.

Thursday

Martin Sinaga: Si Manusia Pasca (1)

Martin Sinaga: Si Manusia Pasca


Pertama kali dengar namanya adalah dari seorang sahabat. Seorang Jawa kelahiran Malang, bekas wartawan yang kemudian mencemplungkan diri kepada dunia 'pelayanan.' Lantas ia mengambil program magister di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.

Katanya bertanya kepada saya: "Eh, lu kan orang Simalungun. Kenal nggak Martin Sinaga, pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) yang ngajar di STT Jakarta? Dia dosen gue."

Pertanyaan ini sulit saya jawab. Ada dua hal penyebabnya.

Pertama, orang (Batak) Simalungun mungkin tak mengakui saya orang Simalungun karena marga saya Siadari. Dan benar, ayah saya memang orang (Batak) Toba dan Siadari adalah marga orang Toba. Ibu saya lah yang orang Simalungun, bermarga Damanik. Tapi betul. Saya selalu merasa sebagai orang Simalungun. Dan pada saat yang sama orang Toba juga. Saya tumbuh di Sarimatondang, wilayah Simalungun. Dan sejak kecil iman saya ditempa oleh GKPS, yang 'menyapa' jemaatnya dengan Bahasa Simalungun. Dan teman saya tahu itu. Dan karena itu ia selalu menganggap saya orang Batak. Dan orang Simalungun. Apalagi ketika suatu saat kawan saya itu meresensi buku tentang panduan wisata dan menyinggung-nyinggung tentang wisata kebun teh di Sumatera Utara, saya bersikeras kepadanya agar memasukkan nama desa saya, Sarimatondang Sidamanik yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun dalam resensinya itu. Dan ia memasukkannya. Dan mungkin karena itu lah ia bertambah kuat menduga saya orang Simalungun.

Kedua, pertanyaan si kawan sulit saya jawab karena saya memang tak mengenal Martin Sinaga. Saya memang selalu merasa dekat dan tersentuh setiap kali orang menyinggung GKPS, tempat saya dibaptis, angkat sidi dan menikah. Dan karena itu pula saya merasa kecewa karena saya tak mengenal Martin Sinaga yang dia katakan itu.

Itu sebabnya saya menjawabnya dengan pertanyaan pula. "Emang kenapa Martin Sinaga?"

"Hebat dia Jack," kata dia, menyapa saya dengan Jack, panggilan akrab kami satu sama lain. "Teologianya hebat."

Pujian itu sungguh memancing rasa penasaran saya. Dan saya pun mencoba-coba mencari tahu, siapa sih Martin Sinaga? Apalagi dari teman itu saya tahu bahwa Martin sudah menyandang gelar doktor teologia, sesuatu yang langka di lingkungan GKPS, kendati gereja itu sudah berusia 100 tahun.

Belakangan dari seorang kerabat, saya akhirnya tahu bahwa Martin adalah salah seorang putra dari Ny. Deborah Sinaga. Nah, nama ini memang akrab di telinga saya. Sebab, dulu ketika saya Sekolah Minggu, Bu Deborah adalah pendeta pembina Sekolah Minggu GKPS. Saya hanya sekali saja ketemu beliau, ketika ada pesta Sekolah Minggu di Sibuntuon, sebuah desa sejauh satu jam perjalanan dari kampung saya. Tetapi pertemuan itu sungguh mengesankan. Karena Bu Deborah Sinaga menghadiahi saya sebuah katekhismus karena saya berhasil menjawab sebuah pertanyaan kuis. (Tulisan saya tentang beliau, saya turunkan dalam judul Deborah yang Memukau).

Akhirnya saya tahu lebih lengkap lagi. Bahwa Martin dilahirkan dari sebuah keluarga pendeta. Ayahnya pendeta. Ibunya juga pendeta. Dan Martin Sinaga itu, yang nama lengkapnya adalah Martin Lukito Sinaga (MLS), bukan hanya pendeta. Tetapi juga intelektual teologia yang mengabdikan diri di Sekolah Teologia. Kelak saya tahu, ia tak lagi bisa dikandangkan dalam status apa pun sebab pikirannya jauh melanglang buana pengkotak-kotakan. Ia melibatkan diri dalam dunia yang berjumpa dengan banyak pemahaman sehingga ia bukan lagi bisa saya bayangkan sebagai pendeta yang berkhotbah di tengah jemaatnya. Tapi justru sebagai orang yang terus ingin menguji khotbah-khotbahnya hingga jauh dari jemaat-jemaatnya sendiri.

Dan, waktu memberikan kesempatan kepada saya bertemu dengan dia. Sebuah keberuntungan atau takdir?

Dimana Kampung Kita?
Suatu waktu, karena saya melibatkan diri pada sebuah milis, dimana MLS juga turut serta sebagai anggotanya, saya berkesempatan berkenalan dengannya. Ketika itu para anggota milis itu mengadakan pertemuan. Dan kami berkenalan ala kadarnya.

Saya masih ingat sedikit rincian pertemuan itu. Saya menjemputnya di rumahnya, di kawasan kampus STT Jakarta bersama seorang kawan. Sang kawan menyapanya dengan Bahasa Simalungun yang fasih, yang selalu membuat saya minder dan malu. Lalu saya juga memperkenalkan diri dengan Bahasa Simalungun saya yang, bila dianalogikan dengan Bahasa Jawa, adalah Bahasa Simalungun ngapak.

Dan rupanya, ia mencium Bahasa Simalungun saya yang ngapak itu. Sebab kemudian ia bertanya: "Ija do hutanta?" yang artinya, dimana kampung mu.

Saya tahu arah pertanyaan ini sebab inilah biasanya cara orang Batak pada umumnya untuk mengukur kadar 'keBatakannya.' Setelah saya menjawab sejujurnya, bahwa saya dari Sarimatondang, sebuah desa yang orang Simalungun dan orang dari suku lain sudah berbaur demikian dalamnya, ia menjawab, bahwa pantas saja Bahasa Simalungun saya rada ngapak. Tidak paten. Tidak kental.

Saya tersenyum kecut.

Awalnya saya menganggap pertanyaan itu sebuah pagar, untuk menunjukkan dimana posisi saya sebagai orang yang setengah Simalungun. Ternyata saya salah. Setelah makin lama kami berdiskusi dalam pertemuan itu, saya makin tahu, Martin rupanya bukan orang yang dengan mudah mengacaukan pandangannya pada identitas-identitas semacam itu. Yang ia selalu lihat adalah ide, pikiran-pikiran.

Dan dalam pertemuan itu, saya akhirnya tahu sebuah pantun Simalungun yang benar-benar memberikan harapan pada saya bahwa dalam Simalungun juga ada keterbukaan, ada kesadaran akan pentingnya keragaman. Semacam keramahan terhadap siapa pun asal niat dan pikirannya baik. Begini bunyinya:

Sin Raya Sin Purba
Sin Dolog Sin Panei
Na ija pe lang muba
Asalma marholong ni atei.


(Secara ringkas, pesan pantun itu, adalah:
'Siapa pun tak ada bedanya
Sepanjang ia pengasih').

Saya pun senang. Dan catatan saya tentang pertemuan yang populer dnegan sebutan Kopdar (Kopi darat), saya buatkan sebagai berikut:

THE MASTER OF THE KOPDAR

….Diskusi itu panas. Diskusi itu
berisik. Tapi beruntunglah saya, yang sudah gelisah
karena waktu terus berjalan dan lapo akan tutup persis
pukul 21:00, mempunyai Om yang dapat diandalkan yakni
Om Martin yang bukan hanya memandu tetapi juga
mengarahkan diskusi dengan baik. Ada satu pepatah
yang diucapkannya, yang begitu berkesan bagi saya,
yang bunyinya begini:

Buat saya itu bukan hanya menunjukkan bahwa orang
Simalungun adalah orang yang terbuka. Tetapi lebih
jauh, orang Simalungun adalah orang yang bisa menerima
perbedaan bukan sekadar basa-basi tetapi karena
esensi. Perbedaan, keanekaragaman latarbelakang adalah
baik sepanjang sifatnya dan substansinya adalah baik,
yakni kasih. Hebat, bukan?

Om Martin memandu diskusi dengan kepiawaian seorang
Empu sekaligus Diplomat ulung. Saya tak pernah menduga
bahwa diskusi antarorang yang baru saja saling kenal
dapat demikian hidup. Seorang Om saya pernah berkata
begini. Orang yang paling tidak menarik sebagai lawan
bicara adalah Guru, dokter dan pendeta. Mengapa?
Karena mereka terbiasa berbicara one way, apakah
ketika mengajar, memberi advis kepada pasien dan
ketika berkhotbah.

Pendapat itu tidak berlaku pada Om Martin. Ia sama
sabarnya ketika mendengar mau pun ketika melontarkan
pemikirannya. Ia memberikan kesempatan yang sama
kepada semua orang. Ia juga dengan cepat mendeteksi
seseorang sedang benar-benar menjabarkan pemikiran
atau sekadar memamerkan pengetahuan dan keahlian.

Karena itu pula diskusi sore itu dengan cepat
mengerucut kepada upaya untuk merumuskan
langkah-langkah. Salah satu pertanyaan Om Martin yang
benar-benar menggelitik saya di kopdar itu adalah,
bila kita-kita peserta kopdar ingin berbuat sesuatu
untuk GKPS dan Simalungun, dimanakah kita duduk, dan
dimana alamat yang kita tuju. (Benar begitu, Om
Martin?)

Saya kira pertanyaan itu tidak hanya akan bisa dibahas
dalam satu kopdar. Tetapi dalam satu kopdar itu pun
sebetulnya orang sudah mulai berpikir dan menemukan
jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin jawabannya tidak
tunggal, Mungkin pula tidak semua orang kelak harus
berada dalam satu biduk untuk mewujudkannya. Tetapi
buat saya pribadi, Om Martin telah menakhodai diskusi
itu dengan baik. Terimakasih Om Martin.


Setelah itu saya beberapa kali masih saling bertukar sapa lewat SMS dengan beliau. Sebuah kado Tahun barunya yang tak pernah saya lupa, adalah sebuah pesan SMS mengucapkan Selamat Tahun Baru dengan imbuhan, agar sudilah saya membaca tulisannya di Harian Kompas. Dan saya benar-benar membacanya. Tentang Natal sebagai awal melakukan langkah-langkah sederhana, yang kecil, untuk tujuan-tujuan yang besar.

Makin pula saya ingin tahu tentang dia. Makin saya ingin mencari apa yang bisa dibanggakan orang Simalungun darinya, kalau memang ada. Dan makin pula saya ingin menemukan apa yang dapat saya pelajari dari dia. MLS, Si Manusia Pasca.

Si Manusia Pasca?

(Lanjut ke bagian 2)
Catatan; Sebagian besar tulisan ini diambil dari bahan-bahan sekunder di internet, termasuk dari barita-simalungun@yahoogroups.com yang di owner-moderated-i oleh JRS

Foto: Suara Pembaruan

Martin Sinaga: Si Manusia Pasca (2)



Mengapa saya menyebut MLS sebagai manusia pasca?

Awalnya mungkin karena alasan yang sangat subjektif. Barangkali karena rasa minder saya akan latarbelakang pribadi saya, yang dalam beberapa hal, kerap dia bela. Sebagai orang yang berdarah campuran Toba dan Simalungun, dalam hati kecil saya selalu ingin diakui sebagai orang Simalungun. Pengalaman saya 'Marsimalungun,' istilah untuk menggambarkan proses 'menjadi dan sebagai orang Simalungun' karena dibesarkan oleh seorang Ibu yang Simalungun, lingkungan gereja yang Simalungun dan sedikit banyak lingkungan domisili di Sarimatondang yang masih diwarnai Simalungun, saya anggap terlalu berharga untuk saya tanggalkan begitu saja.

Tetapi rupanya itu tidak gampang. Siadari di belakang nama saya sudah jelas-jelas menunjukkan saya bukan Simalungun. Bahasa saya, adat istiadat saya, jelas-jelas bukan Simalungun dan itu beban yang berat untuk mendesak-desakkan diri saya menjadi orang Simalungun.

Pada suatu hari, dalam sebuah perdebatan tentang siapa sesungguhnya yang layak disebut orang Simalungun itu di milis tempat saya sering berdiskusi, saya merasa terdesak dan sedih karena akhirnya saya terpaksa menyadari saya mungkin hanya di lapis keempat dalam strata organisasi, bila Simalungun dianalogikan sebagai organisasi. Kadar Simalungun saya berada di tingkat simpatisan, yang selalu mengingatkan status saya ketika bergereja di sebuah gereja di Bandung tempo hari. Boleh ikut kebaktian, tapi tetap tidak terdaftar. Tidak punya hak suara.

Sampai saya pulang dari kantor dan tiba di rumah malam hari, saya tak bisa menyembunyikan rasa sedih saya. Sampai istri saya di rumah bertanya, kok saya begitu jengkelnya tak diakui sebagai Simalungun. Istri saya yang orang JAwa itu bahkan secara bersenda gurau berkata, ia beruntung jadi orang Jawa yang diperistri oleh saya dan dimargakan jadi Damanik. Karena dengan begitu ia telah otomatis menjadi orang Simalungun.

Keesokan harinya, di tengah kesedihan itu, saya mencoba mengirimkan SMS kepada MLS semacam curhat. Dan saya mengatakan saya sudah lelah berusaha menjadi orang Simalungun. Saya katakan juga saya bingung melihat begitu berlapisnya strata orang Simalungun dalam hemat sejumlah orang Simalungun. MLS membalasnya dengan SMS pula, yang dugaan saya dimaksudkan untuk menghibur. Tapi harus jujur saya akui, saya jadi merasa digugah, disemangati lagi untuk berjuang menjadi Simalungun. "Tapi Eben belum putus asa, bukan?" begitu bunyi SMSnya.

Lalu dalam hati saya kemudian bersorak-sorai, ketika suatu ketika ia mengirimkan komentar di milis itu, yang bukan saja menghibur tetapi memberikan pencerahan kepada saya.

Kepada Eben, Kepada kita: Generasi Pasca-Simalungun
Salam,
mungkin tulisan saya ini tidak langsung masuk (tapi
juga tidak harus menjadi 'galir") ke isu pemekaran
Simalungun; tetapi lebih sebagai pengalaman "kita"
marsimalungun, yang tampaknya tidak bisa lari dari
Toba. Namun Eben misalnya punya istri boru Jawa, saya
sendiri ibu saya Cina-peranakan, dan istri saya br
PurbaPakpak dengan ibunya orang Dayak NGaju.

Rupanya
bukan hanya Toba persoalan kita.
Pernah kami bicara dengan Salomo Simanungkalit
(wartwan senior kompas), Jansen Sinamo, Pdt Jan
Artonang, tampaknya kesimpulannya ialah: tidak bisa
lagi kita memurnikan diri menjadi "asli Simalungun
atau asli Toba"; dan tidak ada gunanya kita kembali ke
situ. Kita adalah generasi pasca-Simalungun,
pasca-Toba.

Mengapa tidak perlu kembali murni? Karena selain tidak
ada yang murni di belakang kita, juga menurut saya
Simalungun per se tidak memadai untuk hidup masa kini.
Dulu cukup dengan marga Sinaga, saya sudah akan hidup
"terjamin". Artinya marga berarti tanah, berarti
punya boru, punya Tondong, dst. Marga adalah titik
jaminan ekonomis tradisional. Kini dengan mengaku
Sinaga dan Simalungun, jawaban orang ialah: "so what
gitu lho...".

Jadi saya harus melampaui kesimalungunan
itu (pasca-Simalungun, seperti pasca-sarjana, tetap
sarjana tetapi punya daya melampauai atas-batas
sarjana). Kesimalungunan juga tidak memadai untuk
bertahan hidup-- malah nenek moyang kita sadar betul
itu, makanya mereka belajar dari FEODALISME Melayu
(rupanya harus pula dibuang pelajaran menjadi feodal
itu, namun sayang kita dipaksa membuangnya/revolusi
sosial 1946an). Ompung kita juga BELAJAR dari orang
Toba mengelola wet-rice (padisawah), yang rupanya
lebih berproduksi massal. Mungkin kita perlu beljar
sekarang dengan orang Karo (GBKP), yang mempunya BPR
beromzet Rp16 miliar (duh GKPS, where are you?). Kita
perlu belajar mengembangkan hidup tekun, ekonomis dan
entrepenurship orang Karo-- dan membuang jauh-jauh
mimpi jadi pegawai Kabupaten yang akan dimekarkan itu.
Dengan belajar kita berubah, dan melampauai warisan
nenek moyang kita.

(cut)

Jadi isu kita sekarang ialah: ke Karo. Bagaimanana
ekonomi gerejawi mereka bergairah, dan sudah mengelola
banyak produk-produk kesejahteraan masyarakat. Pernah
di Karo, sebelum kebaktian, mereka mediskusikan
komoditi sayur di Singapur! Bayangkan. Saya melakukan
studi yang intens ttg teologi kontekstual di KAro (dan
malah lebih sering marminggu ke GBKP akhir-akhir ini).
dan tampaknya mereka adalah orang Belanda di tanah
Batak. Gereja KAro selalu mendoakan apa yang
berlangsung konkret, dan merinci apa-apa yang harus
dikerjakan selanjutnya. Kalau ke Toba, percakapan
menjadi politis, lebih baik ke Karo, agar Simalungun
tidak jatuh miskin lebih dalam lagi.



Maaf kepada Anda yang bukan orang Batak yang mungkin tidak akrab dengan konteks perdebatan itu. Komentar ini mungkin akan membingungkan. Tetap intinya, yang saya tangkap, MLS ingin mengatakan agar jangan mau diperangkap oleh keinginan untuk memurnikan identitas diri. Sebab di masa depan identitas itu tidak cukup sebab yang dituntut oleh zaman adalah kapasitas untuk berbuat. Dan, itulah yang menurut Martin manusia pasca. Manusia pasca Simalungun. Manusia pasca Toba. Manusia pasca suku apa pun. Manusia pasca Indonesia. Apalagi, menurut dia, di belakang kita, memang tidak ada yang murni.

Bukan berarti Martin alergi pada pencarian tentang kemurnian identitas itu. Ia sendiri sangat aktif dan paham bagaimana latarbelakang sejarah Simalungun. Bahkan ia termasuk orang yang ingin, agar sebelum ada rekonsiliasi atas kemungkinan adanya 'konflik antasuku' di masa lalu, diperlukan semacam pembeberan sejarah. Yang pahit. Yang traumatik. Dan setelah itu baru ada rekonsiliasi.

Tapi yang tampaknya ingin ia katakan adalah pembeberan sejarah itu jangan dengan semangat pencarian 'kambing hitam.' Bukan dengan dengan keinginan untuk memuja masa lalu yang terang benderang dengan menunjuk sisi kelam pada bagian yang lain. Melainkan pembeberan sejarah yang menggugah, menjadikannya pelajaran sekaligus mendudukkan komplesitas masa lalu yang tidak serba hitam-putih.

Saya bertanya dalam hati, darimana kah ia mendapat pemikiran yang demikian itu? Apakah latarbelakang dirinya, yang lahir dari sebuah keluarga campuran, ayah Simalungun dan ibu peranakan Tionghoa, yang menyebabkannya demikian? Saya benar-benar tidak bisa menduga-duga. Tapi sebuah komentarnya dalam dialog dengan salah seorang peserta milis itu, bernama Alfared Damanik, Martin menulis begini:

Ibu saya -inang Debora Sinaga, seorang pembimbing umum Sek Minggu dan Wanita GKPS- sejak tahun 1968 sampai 1986 keluar masuk Simalungun -dan saya kerap kali ikut- dan memperkenalkan kesetaraan jender dan martabat anak Sekolah Minggu, dan terkadang sambil kelelahan dia mengatakan, "aku nggak ngerti orang Simalungun ini...". Menurut saya itu indikator, betapa menjadi begitu kompleksnya psikologi sosial Simalungun, mungkin campuran ketertutupan dan sedikit rasa rendah diri. Sehingga, memang mesti ada gerakan memintal tali temali Simaluungun lagi, membangun harga diri, membangun -istilah Alfared- social value. Yang saya tidak setuju ialah kita melakukan pengkambinghitaman atas orang Toba. Saya sering sekali diundang berkotbah dan berceramah di HKBP jalan Jambu-Menteng (dan HKBPlainnya), dan mereka mengatakan, ini jemaat intelek pandita, jadi jangan segan-segan berteologia. Toba bagi saya adalah simbol intelektualitas, walau kadang nekad dan tergesa-gesa, sehingga kita yang secara psikologis belum siap, merasa tergerus. Saat anak keluarga SAE Nababan manaksihon/malua, diundanglah semua kerabat, dan acara khususnya ialah mengundang prof Pantur Silaban dari ITB untuk menceritakan fisika modern! (gila... anak baru mengaku percaya, langsung diberondong teori chaos dan sistem fraktal; dan hati saya menerawang tak tentu arah mendengar cerita itu). Kalau kita melihat Toba seperti ini, tentu tidak perlu lagi mengkambinghitamkan Toba. Tentu sejarah bahwa Toba (dalam hal ini, HKBP) pernah membungkam Simalungun, itu sudah dikoreksi, tahun 1963 itu. So, tali-temali Simalungun memang kta harus rajut lagi, demi social value, mungkin dengan keliman enterpreneurship Karo, agar tampak survive di era yang serba ekonomis ini.

horasma, martin sinaga


Apakah kelelahan yang dialami sang Ibu, meresap dalam kedirian seorang MLS sehingga ia memutuskan akan menjadi manusia pasca, manusia pasca Simalungun, bahkan kelak, seperti yang akan kita lihat dalam kiprahnya dalam dialog antaragama, ia juga menjadi manusia pascanasrani?

Jawaban dari pertanyaan itu mungkin tak akan berhenti dalam satu titik. Bahkan jawabannya mungkin tidak akan pernah selesai. MLS tak jemu dan tak henti melakukan pencariannya sehingga ia tak mungkin menjadi manusia dalam satu kandang. Ia mencari terus, untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan baru. Pencerahan baru.Bukan hanya untuk dirinya tetapi demi untuk orang lain. Mungkin jemaatnya, jika ia kita tempatkan sebagai pendeta. Tetapi mungkin juga untuk manusia dan kemanusiaan, jika ia kita tempatkan sebagai intelektual.

Saya akan terlalu sombong, dan kemudian akan kelihatan dungu bila berpretensi untuk menjelaskan MLS dengan aneka kerangka berpikir. Sehebat apakah diri saya sehingga saya bisa memenjarakan dia dalam satu gambaran yang kaku? Lebih bodoh lagi bila saya mengatakan saya sepemikiran dengan dia. Sebab seringkali saya juga menduga ia tidak sepaham dengan saya. Lebih tepatnya, saya tak bisa mengikuti dan memahami pikiran-pikirannya. Dengan pengetahuan saya yang sangat terbatas, tentang teologi, tentang sejarah Simalungun, tentang ilmu perubahan sosial, tentang ilmu agama-agama, saya tak kan mampu bahkan untuk sekadar mencerna sejumlah istilah yang ia kemukakan. Seperti seorang pengikut yang sangat tertatih-tatih. Ketinggalan kereta. Kalah cepat dan kalah kapasitas.

Yang mungkin dapat saya katakan adalah saya akan banyak belajar dari dia. Belajar bagaimana menjadi manusia pasca. Jangan lagi terpaku untuk mendesak-desakkan diri untuk menjadi orang Simalungun. Tapi jadilah orang yang pasca Simalungun. Pasca Indonesia. Bahkan menjadi Pasca Nasrani.

Manusia Pasca Nasrani?

(Bersambung ke bagian 3)

(C) Eben Ezer Siadari

Catatan: Sebagian besar sumber tulisan ini dari sumber-sumber sekunder di internet, termasuk dari milis barita-simalungun@yahoogroups.com yang di own-moderated oleh JRS

Foto: Suara Pembaruan

Martin Sinaga: Si Manusia Pasca (3)



Apa itu manusia pasca Nasrani?

Sebelum para ahli menyelidik saya atas istilah yang rada dimaut-mautkan ini, terlebih dahulu saya akan membela diri untuk mengatakan istilah ini untuk diri saya sendiri belaka. Ini hanya akan saya gunakan untuk diri saya sendiri, dalam menggambarkan sebisa saya, MLS yang saya kenali pikiran-pikirannya dari berbagai sumber terbatas.

Seandainya saya hanya mengenal MLS sebagai seorang pendeta GKPS, seorang yang dilahirkan dalam keluarga Simalungun, Doktor teologia yang menjadi pengajar ilmu agama-agama di STT Jakarta, saya mungkin tak akan menyebutnya sebagai manusia pascaNasrani. Seandainya aktivitasnya hanya diembel-embeli lagi dengan menjadi (pernah) anggota tim Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengajar di STF Driyarkara, itu juga tak akan menggugah saya mencari kepascaannya.

Tapi lihatlah apa saja yang ia gumuli. Buku-buku yang ia tulis mau pun yang ia terjemahkan selalu merupakan buku yang agak kontroversial bagi kaum nasrani konservatif. Ia kelihatannya selalu tergoda untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru. 'Apa setelah apa.' Jika dalam hal Simalungun, ia menggelitik saya dengan pertanyaan, 'so what' bila Anda sudah Simalungun, dalam hal agama, ia juga sepertinya selalu menyodorkan pertanyaan bahwa kalau Anda sudah nasrani, so what. Apa setelah itu?

ADa banyak buku yang sudah ia tulis, sunting dan terjemahkan. Hampir semuanya merupakan 'penelaahan' hubungan antara apa yang selama ini dianggap orang 'berseberangan.' Salah satu yang bisa dijadikan contoh, adalah buku karya John D. Caputo, yang judul aslinya adalah On Religion tetapi kemudian is terjemahkan menjadi Agama Cinta, Agama Masa Depan. Saya belum sempat membacanya. Tetapi beberapa kalimat dari tinjauan buku itu yang ditulis oleh Trisno S. Sutanto, mungkin sudah bisa menggambarkan isinya serba sedikit.

“AGAMA TANPA AGAMA”
Mungkinkah beragama tanpa agama? Atau lebih tepat: beriman tanpa agama? Pertanyaan-pertanyaan itu segera mencuat bagi siapapun yang pernah membaca buku John D. Caputo, On Religion, yang sudah dialihbahasakan dan diterbitkan oleh Mizan dengan judul berbeda: Agama Cinta, Agama Masa Depan.(1) Esai ini mau memberi jawaban positif pada pertanyaan di atas. Malah lebih jauh lagi mau menandaskan, gagasan Caputo (yang diambil alih dari Jacques Derrida) tentang “agama tanpa agama” (religion without religion), menurut saya, seyogianya dipertimbangkan secara serius bagi siapapun yang secara serius dan jujur mau bergumul dengan “agama” pada jaman sekarang, dan mau “berteologi”, mau berusaha “berbicara tentang Allah” (theos-logos).


Saya selalu percaya, seorang intelektual tidak netral ketika diminta melakukan sesuatu. Intelektual, sebagaimana di tahun 1966 pernah menjadi perdebatan di kalangan akademis dalam merumuskan strategi pembangunan ekonomi pasca Soekarno, sering digolongkan menjadi intelektual sejati dan intelektual tukang. Yang disebut pertama menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa intelektualitasnya harus berguna dan demi kebaikan. Sementara intelektual jenis kedua, adalah intelektual yang menggunakan kemampuannya tidak lebih 'memenuhi pesanan' si pemesan. Bahwa bagaimana akibat dari tindakan-tindakannya itu, sang intelektual hanya bertanggung jawab kepada kaidah intelektualitasnya. Tidak pada akibat yang ditimbulkannya.

Dengan pola pikir begitu, saya percaya MLS ketika diminta menerjemahkan buku itu, ia tidak dalam posisi netral. Saya sangat yakin ia sedikit banyak bersimpati kepada isi buku itu. Bahkan mungkin itulah pemikiran-pemikiran yang juga ia ingin sebarkan.


Itu makin nyata bila saya membac sebuah tulisannya yang selalu dielu-elukan seorang sahabat saya. Tulisan itu juga mungkin akan kedengaran kontroversial bagi orang seperti saya, yang hanya mengandalkan pemahaman nasraninya pada kenangan semasa Sekolah Minggu. Tetapi kesimpulan yang ia torehkan sebenarnya memberi kesempatan kepada saya menyegarkan iman saya tanpa kehilangan iman yang dulu. Kesadaran sebagai manusia pasca nasrani. Nasrani yang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru.

Tulisannya di Suara Pembaruan, dengan judul Paskah di Hadapan Kubur Kosong, yang akan kedengaran mengguncang, ia mulai dengan ceritanya tentang bagaimana kegamangan murid-murid Yesus ketika menemukan kubur kosong.

Tulisnya: BERBEDA dengan kitab-kitab Injil lainnya, Injil menurut Markus menutup tuturannya dengan mengejutkan sekali: "Lalu mereka (para murid Yesus) keluar dan lari meninggalkan kubur (Yesus) itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka.

Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut" (Mrk 16:8). Karena sedemikian mengejutkannya, sampai-sampai penyunting dan penyalin Injil Markus itu kemudian menambah ending sampai 12 setengah ayat lagi; namun para ahli Biblika bersepakat, Markus (kitab Injil tertua itu) menutup narasi hidup Yesus dengan kisah Kubur Kosong!


Menurut MLS, jika ending cerita itu adalah kubur kosong, bukan sebuah kesaksian bahwa murid-murid itu melihat Yesus bangkit, apakah nanti kisah kebangkitan itu tidak akan berkembang, sebagaimana dalam kata-kata Martin sendiri, menjadi " gosip, kabar angin, dan produk sikap subjektif?"

MLS memberi penjelasannya sendiri dengan meneropong situasi Markus. Menurut dia, Markus adalah bagian dari generasi kedua Kekristenan yang terkejut dengan deraan hidup, yang dikira semula akan usai kalau Kristus yang bangkit datang mengangkat mereka keluar dari beban sehari-hari. Sehingga, suatu iman yang mengira bisa secara penuh mengubah realitas, bagi Markus, malah akan membahayakan Kekristenan.

MLS menambahkan, bagi Markus, kebangkitan bukanlah triumfalismetotal atas kesusahan sehari-hari. Paskah bukanlah kemenangan akhir. Baginya, Paskah berarti bahwa jalan masih terbuka ("sekarang pergilah ... ke Galilea") untuk bertemu Kristus Sang Anak Manusia itu, di setiap perkara hidup.

Dan, jalan terbuka itu harus dijalani terus, apalagi semua tahu, Kristus Sang Anak Manusia baru saja berjalan dengan kepala yang berdarah. Jangan sampai mahkota duri terlupakan, sebab melalui ketekunan menghadapi kesulitan hidup sehari-harilah Yesus dinyatakan sebagai kekasih Allah.

Dalam tulisan itu MLS menuliskan pesan yang sangat klasik tapi sering terlupakan. Bahwa dengan menjadi nasrani seseorang tidaklah akan selalu dikelilingi oleh kolam surga (istilah ini saya dapatkan dari seorang rekan berinisial JRS), melainkan juga perjuangan:

Hal itu perlu dicatat, sebab sejak semula para murid Yesus saat itu hanya mau melihat Yesus selaku Mesias-Penebus, yang memberi mereka makan (melalui mukjizat penggandaan lima roti dan dua ikan).

Akan tetapi, mereka buta mengenai Yesus Sang Hamba Allah yang menderita, yang memberi nyawa-Nya bagi sesama (Mrk 10:35-45).

Makanya, makin tambah penjelasan mengapa Markus menutup kisah Injil-nya dengan mendadak dalam lakon para murid yang takut, hal itu dilakukan agar kita kini -pembaca kontemporer Injil Markus- masuk dan menggantikan para murid yang tersekap dalam gentar dan kecut itu.

Kini, kita pun berdiri di hadapan kubur kosong, dan dipesankan bahwa Yesus sudah bangkit, dan malah telah mendahului kita melanjutkan lagi perjalanan memasuki setiap kelok perkara hidup sehari-hari. Dan, jalan terus terbuka, sekalipun berita kebangkitan itu lebih sebagai produk sikap subjektif iman, bukan suatu ihwal objektif yang beku.

Kita yang berdiri di hadapan jalan yang terbuka itu -sambil menemukan inspirasi dari kisah Paskah menurut Injil Markus - perlu juga terus ikut mengambil langkah menemukan makna kisah Paskah ini bagi kita. Paskah-Kebangkitan tampaknya serentak adalah suatu tindakan Allah dan juga langkah manusia.

"Kebangkitan Yesus Anak Manusia yang mati di salib" itu kini menjadi suatu metafora rohani, suatu pesan akan keserbamungkinan untuk tetap melangkah dan tidak tersekap dalam fatigue (kelelahan buntu) hidup sehari-hari di negeri yang mencoba bertransisi ini.


Kepascanasranian MLS kemudian makin terlihat bukan saja dalam hal bagaimana ia memahami dirinya dalam hubungannya dengan imannya sendiri. Tetapi juga bagaimana dirinya sebagai orang nasrani, berhubungan dengan lingkungannya dan juga dengan sesama penganut agama lain.

Ia selalu berusaha menjadi manusia pasca dalam hal ini. Ia selalu hadir di tengah berbagai konflik, sebagai manusia pasca, manusia pengubung tetapi bukan sekadar menghubungkan melainkan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Ia dengan aktif melibatkan diri pada isu-isu kesetaraan jender. Melibatkan diri dalam pemikiran, tetapi seringkali ikut aktif dalam berbagai aksi.

Dalam sebuah seminar bertajuk Perempuan dan Fundamentalisme ia tak ragu membedah kesadaran kita bahwa dalam agama mana pun terdapat kemungkina paham dan tindakan fundamentalis. Seperti kemudian dikutip sebuah laporan dalam seminar itu MLS mengatakan, bahwa fundamentalisme dalam Kristen bisa dilihat antara lain dari tindakan meledakkan klinik-klinik aborsi di AS. "Perilaku fundamentalis salah satunya adalah pelarangan perempuan menjadi imam dalam agama Protestan," ujar MLS. Karena di negara maju demokratisasi, HAM, ketertiban sosial, sudah berjalan baik, maka problem fundamentalisme kemudian bermuara di rumah."Bentuknya adalah kekerasan dalam rumah tangga."

Tidak mengherankan bila dalam pencarian dan pengukuhannya sebagai manusia pasca, ia tidak terlihat canggung bergaul dengan beragam orang dari berbagai latarbelakang. Ia akrab dengan kalangan Muslim dari golongan mana pun. Ia kerap dipanggil dalam berbagai forum dialog antar Agama. Dan dia terlibat sangat aktif dalam Masyarakat Dialog Antar Agama).

Ia selalu muncul sebagai manusia yang mencoba mencari jalan 'mendamaikan' bila terjadi konflik bernuansa agama, lewat aneka lembaga yang peduli akan hal itu. Di dalam dan di luar negeri. Bahkan dugaan saya, ia mungkin sudah lebih 'kandung' sebagai saudara dengan orang-orang dari kalangan agama lain, dibanding dengan lingkungan darimana Martin berada. Ulil A. Abdala, salah seorang manusia pasca dari kalangan Muslim konon termasuk kawan dekatnya yang sudah dalam taraf saling bercanda tentang absurditas kaumnya masing-masing. Di kalangan NU, seperti pernah saya baca dalam sebuah rangkuman diskusi di lingkungan intern mereka, menyebut nama MLS sudah seperti menyebut nama seseorang yang sudah mereka kenali sampai kepada lipatan terkecil pikiran-pikirannya.

Dan dugaan saya, ini semua ia lakukan karena ia tahu, masih banyak yang harus dikerjakan manusia, agar tidak selalu hanya 'memperalat' agama dan juga memperalat Tuhan. Sebab, seperti ia katakan,
Dan, tampaknya memang hari-hari kita sudah lelah pasca-tumbangnya rezim Soeharto: mulai dari kerusuhan, konflik horizontal, kekerasan konspiratif aparat negara, sampai kegalauan menghadapi kebijakan kenaikan BBM yang tampak angkuh dan tak perduli dengan hidup sehari-hari rakyat kecil.

Tetapi, justru kita tidak boleh berlindung pada agama di tengah-tengah semua itu, tidak juga kita boleh mengungsi kepada Tuhan. Paskah bukan tentang jaminan bahwa semua hal akan dibereskan oleh Tuhan, bukan pula semua kesulitan akan lenyap. Paskah, bagaimanapun, bukan perayaan akhir zaman. Namun, Paskah adalah undangan bagi manusia -yang kalau mau memakai mata hati imannya - untuk terus melangkah, bekerja dengan mata yang terarah ke depan. Ia kiranya sudi bekerja dalam detail-detail keseharian, dan mencoba memantapkan kakinya, walau tahu bahwa arah hidup bersama di Indonesia ini serba tidak menentu.


(Bersambung ke bagian 4)

(C) Eben Ezer Siadari

Catatan; Sebagian besar sumber tulisan ini dari bahan sekunder, termasuk dari milis barita-simalungun@yahoogroups.com yang di owner-moderated oleh JRS

Foto: Suara Pembaruan